Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Alasan Penting Korban KDRT Sulit Lepas

ilustrasi korban KDRT (pexels.com/MART PRODUCTION)
Intinya sih...
  • Korban KDRT sulit melepaskan diri karena faktor finansial, ancaman keselamatan, dan rasa cinta terhadap pelaku.
  • Trauma fisik, emosional, dan psikologis membuat korban membutuhkan dukungan, bukan hujatan.
  • Ancaman fisik, tekanan sosial, dan kurangnya dukungan membuat korban sulit mencari bantuan dan meninggalkan situasi berbahaya.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah serius yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, namun sering kali korban menghadapi stigma dan tuduhan yang tidak adil. Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung melakukan victim blaming, yaitu menyalahkan korban atas situasi yang mereka alami, alih-alih memahami kompleksitas dan dinamika kekerasan tersebut.

Artikel ini akan membahas 6 alasan mendalam mengapa korban KDRT sulit untuk melepaskan diri dari siklus kekerasan, serta pentingnya memberikan dukungan dan pemahaman yang tepat kepada mereka.

Dengan mengedukasi diri kita tentang tantangan yang dihadapi oleh korban, kita dapat berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih positif dan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua. Mari kita hentikan victim blaming dan mulai mendengarkan suara korban.

1. KDRT bukan sekadar masalah "pergi saja"

ilustrasi korban KDRT (pexels.com/MART PRODUCTION)

Salah satu kesalahpahaman terbesar tentang KDRT adalah anggapan bahwa korban dapat dengan mudah meninggalkan hubungan yang berbahaya. Kenyataannya, situasi ini jauh lebih rumit daripada sekadar "pergi saja".

Banyak faktor yang membuat korban merasa terjebak, termasuk ketergantungan finansial yang ekstrem, tanggung jawab terhadap anak-anak, ancaman keselamatan diri dan anak-anak, rasa takut akan pembalasan dari pelaku, dan bahkan rasa cinta atau keterikatan emosional yang masih ada, meskipun telah terluka parah.

Menghujat korban hanya akan menambah beban emosional yang sudah mereka rasakan, memperburuk perasaan bersalah dan memperlambat proses penyembuhan.

2. Trauma dan manipulasi psikologis

ilustrasi korban KDRT (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Korban KDRT sering kali mengalami trauma yang mendalam dan berkepanjangan akibat kekerasan yang mereka alami. Ini bukan hanya trauma fisik, tetapi juga trauma emosional dan psikologis yang dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental mereka.

Manipulasi psikologis dari pelaku, seperti gaslighting, penghinaan, dan kontrol yang ketat, dapat membuat korban merasa tidak berharga, kehilangan kepercayaan diri, dan bahkan meragukan ingatan dan persepsinya sendiri.

Menghujat mereka hanya akan memperburuk kondisi mental mereka dan membuat proses pemulihan semakin sulit dan panjang. Mereka membutuhkan dukungan, bukan penghukuman.

3. Ancaman dan ketakutan akan konsekuensi

ilustrasi korban KDRT yang ketakutan (pexels.com/MART PRODUCTION)

Banyak korban KDRT yang merasa terancam jika mereka mencoba untuk pergi atau melaporkan pelaku. Ancaman fisik atau emosional dari pelaku, serta ancaman terhadap keluarga dan orang-orang terdekat, dapat membuat mereka merasa tidak aman dan terjebak dalam lingkaran kekerasan.

Pelaku seringkali menggunakan taktik intimidasi dan kontrol untuk mempertahankan kekuasaannya. Menghujat korban dalam situasi ini hanya akan menambah rasa takut dan ketidakpastian yang mereka alami, membuat mereka semakin enggan untuk mencari bantuan. Ketakutan akan konsekuensi, baik dari pelaku maupun dari sistem hukum yang mungkin tidak memihak, adalah penghalang besar bagi korban untuk keluar dari situasi tersebut.

4. Tekanan sosial, keluarga, dan budaya

ilustrasi korban KDRT (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Tekanan dari lingkungan sosial, keluarga, dan budaya juga berperan besar dalam keputusan korban untuk tetap bertahan dalam hubungan yang berbahaya. Banyak korban merasa tertekan untuk menjaga citra keluarga, mematuhi norma-norma budaya yang menganggap perceraian sebagai aib, atau takut akan stigma sosial yang akan mereka terima jika melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Beberapa keluarga bahkan mungkin secara tidak sadar mendukung pelaku, menyalahkan korban, atau meminimalisir tingkat kekerasan yang terjadi. Menghujat mereka hanya akan memperburuk stigma yang sudah ada dan membuat mereka semakin terisolasi.

5. Minimnya dukungan dan pilihan

ilustrasi korban KDRT yang tertekan (pexels.com/Liza Summer)

Banyak korban KDRT merasa bahwa mereka tidak memiliki dukungan yang cukup untuk meninggalkan situasi berbahaya. Layanan dukungan sering kali terbatas, mahal, atau sulit diakses, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak yang tidak tahu ke mana harus mencari bantuan, atau merasa takut untuk meminta bantuan karena takut akan konsekuensi lebih lanjut.

Kurangnya informasi, sumber daya, dan tempat berlindung yang aman membuat korban merasa semakin terisolasi dan tidak berdaya. Menghujat korban hanya akan membuat mereka merasa lebih terisolasi dan tidak berdaya.

6. Menghujat justru memperburuk situasi

ilustrasi korban KDRT (pexels.com/MART PRODUCTION)

Menghujat korban KDRT tidak membantu apapun dan juga dapat memperburuk situasi secara signifikan. Korban yang sudah merasa tertekan, tidak berdaya, dan terluka secara emosional akan semakin merasa terasing dan kehilangan harapan jika mereka dihujat.

Hujatan dapat memperkuat perasaan bersalah, memperburuk kesehatan mental mereka, dan menghambat proses penyembuhan. Sebaliknya, memberikan dukungan, pemahaman, dan empati dapat membantu mereka merasa lebih kuat dan berdaya untuk mengambil langkah menuju pemulihan dan kehidupan yang lebih baik.

Dalam menghadapi isu kekerasan dalam rumah tangga, penting bagi kita untuk menyadari bahwa korban KDRT tidak hanya berjuang melawan fisik dan emosional, tetapi juga stigma dan kesalahpahaman yang mengelilingi mereka. Dengan memahami 6 alasan mendalam yang telah dibahas, kita dapat lebih empatik dan mendukung mereka dalam proses pemulihan. Menghentikan victim blaming adalah langkah krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban.

Mari kita berkomitmen untuk mendengarkan, memahami, dan memberikan dukungan yang diperlukan, serta berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih besar. Hanya dengan cara ini kita dapat membantu korban KDRT untuk melepaskan diri dari siklus kekerasan dan membangun masa depan yang lebih baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nurul Agustin
EditorNurul Agustin
Follow Us