5 Bukti Memang Bukan Dia Orangnya, Bukan Kamu yang Avoidant

- Membalas tapi tidak terlibat lebih jauh dalam percakapan
 - Kamu tidak menantikan interaksi dengannya
 - Tidak merasa tersentuh saat dia berbagi cerita
 
Belakangan kata avoidant makin sering digunakan untuk menjelaskan kenapa seseorang terlihat dingin atau sulit membuka diri. Masalahnya, istilah ini jadi seperti cap atau label yang mudah ditempelkan kapan pun seseorang tidak antusias merespons orang lain. Padahal tidak semua bentuk jarak berarti trauma atau ketakutan dekat dengan orang lain. Kadang, ya, sesederhana kamu tidak merasa tertarik saja.
Situasi ini sering dialami banyak orang. Misalnya, saat dia mengajak ngobrol soal makanan favorit, kamu menjawab datar, “ayam pop,” lalu percakapan berhenti begitu saja. Bukan karena kamu avoidant, tapi karena hatimu memang tidak untuk orang tersebut. Berikut beberapa tanda yang bisa membantu kamu mengenali bukti memang bukan dia orangnya.
1. Membalas tapi tidak terlibat lebih jauh dalam percakapan

Terkadang kamu tetap merespons pesannya, tapi tanpa benar-benar masuk ke percakapan. Setiap kali dia bercerita panjang, kamu memberi reaksi seperlunya, bukan dingin, hanya tidak punya dorongan untuk memperpanjang topik. Kamu tahu kapan seseorang sedang mencari empati, tapi rasanya sulit memunculkan ketertarikan. Bukan karena kamu tidak peduli, hanya saja koneksinya tidak terbentuk.
Banyak orang akan langsung bilang, “kamu avoidant, susah dekat dengan orang.” Padahal kamu tahu perasaanmu masih berfungsi dengan baik. Kamu bisa hangat pada orang lain, kamu bisa terbuka ketika merasa cocok. Tapi untuk orang ini, energinya berhenti di situ saja. Membalas pesan bukan bentuk keterikatan melainkan sekadar sopan santun agar percakapan tidak terasa janggal.
2. Kamu tidak menantikan interaksi dengannya

Hubungan yang berpotensi untuk ke arah lebih lanjut biasanya memberi sedikit rasa antusias setiap kali pesan baru muncul. Tapi kali ini, setiap notifikasi dari dia justru terasa seperti tugas kuliah atau revisi kerjaan yang menuntut harus diselesaikan. Kamu membaca, menimbang sebentar, lalu membalas sekenanya. Tidak ada dorongan ingin tahu, tidak ada rasa penasaran terhadap hidupnya. Semuanya terasa datar.
Kamu sempat berpikir mungkin kamu avoidant karena mudah merasa bosan. Namun, kalau dipikir ulang, kamu tidak merasakan hal yang sama dengan orang lain. Kamu masih bisa antusias jika topiknya dari seseorang yang memang kamu sukai. Jadi masalahnya bukan pada avoidant, melainkan pada rasa yang memang tidak muncul. Kadang diam bukan karena takut dekat, tapi karena kamu tahu tidak ada yang ingin didekati.
3. Tidak merasa tersentuh saat dia berbagi cerita

Dia bisa saja bercerita panjang lebar tentang hal-hal pribadinya, tapi reaksi di kepalamu cenderung datar. Saat dia bilang sedang kesal dengan atasannya, kamu tahu seharusnya kamu bersimpati, tapi yang keluar hanya “ya ampun, kasihan.” Tidak ada dorongan untuk menenangkan atau menanyakan lebih lanjut. Kamu mendengarnya, tapi tidak benar-benar terhubung.
Orang lain mungkin menilai kamu terlalu dingin atau susah membuka diri. Padahal perasaan itu tetap ada, hanya tidak untuk dia. Kamu tidak bisa memaksakan empati muncul di tempat yang memang bukan pada tempatnya. Ada perbedaan besar antara tidak mampu berempati dan tidak memiliki koneksi emosional dengan seseorang. Ketika kamu sadar hal itu, kamu tahu bahwa ini bukan masalah karakter, tapi tentang rasa yang memang tidak tumbuh.
4. Kamu merasa diri sendiri jadi versi yang tidak otentik

Di hadapannya, kamu sering merasa canggung tanpa alasan jelas. Setiap kali ingin cerita, rasanya ragu apakah dia akan benar-benar mengerti. Kamu menimbang kata-kata sebelum mengetik, memastikan tidak salah nada. Hasilnya, obrolan jadi kaku, seolah kamu harus tampil dalam versi yang sudah kamu sesuaikan. Kamu jadi berhati-hati bukan karena takut dekat, tapi karena memang tidak merasa aman untuk jadi diri sendiri.
Koneksi yang baik akan membuat seseorang bisa bicara tanpa harus menyusun kalimat terlalu lama. Tapi kalau kamu harus berpikir dulu hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana, bisa jadi sebenarnya itu bukan rasa nyaman, melainkan usaha menyesuaikan diri. Kamu tahu kamu bisa hangat, bisa spontan, bisa lucu tapi entah kenapa hanya dengan dia, semua terasa sulit. Itu bukan tandanya kamu tipe avoidant, melainkan itu tanda kamu tidak klik dengan dia.
5. Tidak ingin memperdalam hubungan, tapi juga tidak ingin menyakiti

Ada momen ketika kamu sadar kamu tidak ingin melanjutkan hubungan, tapi masih terus memberi respons agar tidak terkesan kasar atau menyakiti perasaan. Kamu tidak ingin membuatnya berpikir kalau dia tidak cukup menarik, meski dalam hati tahu perasaanmu tidak ke arah sana. Jadi kamu tetap membalas pesan dengan nada sopan, tapi tanpa usaha berarti. Kamu bukan menghindar, kamu menjaga jarak dengan cara halus.
Banyak orang keliru memahami ini sebagai bentuk avoidant, seolah kamu takut terlibat lebih dalam. Padahal sebenarnya kamu hanya tidak ingin memberi harapan palsu. Kamu tahu rasa tidak bisa dipaksa dan tidak semua orang pantas dijadikan tempat belajar agar kamu bisa jadi lebih terbuka. Kadang, tidak ingin melanjutkan bukan berarti kamu tertutup, melainkan sadar bahwa perasaan sepihak tidak akan bertumbuh jadi apa-apa.
Gak semua hal yang seseorang tidak tertarik itu berarti avoidant. Kadang kamu hanya butuh untuk jujur pada dirimu sendiri bahwa hubungan itu tidak menggerakkan apa pun di dalam hati kamu. Itu bukti memang bukan dia orangnya. Tidak ada salahnya gak merespons berlebihan pada sesuatu yang tak membuatmu antusias. Karena pada akhirnya, lebih baik jujur daripada sibuk mencari alasan untuk hal yang sebenarnya kamu memang tak cocok.


















