Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bangun Pibo, Aisha Habir Buka Akses Literasi Anak dari Teknologi

Kegiatan literasi digital interaktif berbasis ilmu kelautan bertajuk Panggilan dari Timur kali .jpg
Aisha Habir (instagram.com/ulangalik)
Intinya sih...
  • Awal mula Pibo dari industri kreatif yang berujung ke literasi
  • Pibo hadir untuk membukakan akses literasi
  • Ekosistem literasi gak cuma di dalam keluarga, tapi juga sekolah
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Angka Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan kualitas belajar siswa yang menurun tajam, terlebih sejak pandemik. Mayoritas siswa belum mencapai kemampuan dasar yang baik dalam hal matematika, membaca, dan sains.

Lebih rendah dari skor PISA 2018, hanya 25 persen siswa Indonesia telah mencapai level dua dalam urusan kemahiran membaca dan mengolah informasi. Dengan kata lain, kemampuan literasi anak-anak Indonesia cukup memprihatinkan. Nyatanya, gak semua anak di Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap buku-buku bacaan.

Berawal dari keprihatinan terhadap akses buku anak yang sulit dijangkau dan mahalnya biaya pengiriman, Aisha bersama rekannya Mayumi Haryoto, menjadikan kreativitas dan empati mereka sebagai fondasi gerakan literasi digital. Bagi Aisha, isu literasi bukan soal rendahnya minat membaca saja, melainkan keterbatasan anak-anak Indonesia untuk memiliki akses terbuka pada buku-buku yang mereka sukai. 

1. Awal mula Pibo dari industri kreatif yang berujung ke literasi

Puji syukur, PiBo telah melangsungkan acara konferensi pers tanggal 20-09-17 dalam rangka melunc.jpg
Launching Pibo di tahun 2017 (instagram.com/bacapibo)

Aisha Habir dan Mayumi Haryoto terjun di bidang industri kreatif. Aisha dengan background desain grafis dan Mayumi sebagai ilustrator. Meski begitu, latar belakang keluarga yang bergerak di bidang pendidikan, membuat Aisha punya perhatian khusus pada anak-anak.

“Cerita untuk anak-anak itu harus sesuai dengan sudut pandang anak-anak,” kata Aisha kepada IDN Times pada Jumat (10/10/2025) ketika mengenang awal mula ide platform literasi digital itu muncul.

Aisha menyadari pentingnya kaidah dalam membuat buku anak. Bukan tentang alur cerita saja, tapi visualisasi gambar dan ukuran teks pun menyesuaikan kemampuan membaca anak. Hal itu membuat Aisha dan rekannya memutuskan menerbitkan dua judul dan dijual secara online

Namun, mereka menemukan kendala biaya kirim (ongkos kirim) yang lebih mahal daripada harga buku itu sendiri. Hal ini memunculkan keprihatinan tentang akses, terutama bagi anak-anak di luar Jawa. Mereka lantas mulai mempertanyakan data literasi Indonesia yang mengkhawatirkan.

“Padahal, mungkin anak-anak yang ada di Sumatera punya hak atau boleh banget mendapatkan buku cerita ini. Kenapa jadi harus membayar lebih mahal? Jadi, dari situ kita mulai ide, mungkin kita bisa membuka akses melalui teknologi,” terangnya.

Data UNESCO menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi. Minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau hanya 1 dari 1000 yang rajin membaca. Sedangkan, data PISA menyebut ada 75 persen anak Indonesia yang bisa membaca, tapi tidak bisa memahami isi dari apa yang ia baca.

“Kita mulai dengan pertanyaan, apakah sebenarnya bukan masalah minat, tapi akses?,” sebutnya.

Satu pertanyaan itulah yang akhirnya menggeser fokus mereka dengan memutuskan membangun platform digital yang disebut Pibo pada tahun 2017. Pibo merupakan platform perpustakaan digital khusus anak pertama di Indonesia untuk anak usia 4-12 tahun. Di usia TK-SD inilah, masa-masa emas anak untuk belajar meningkatkan kemampuan literasi mereka.

2. Pibo hadir untuk membukakan akses literasi

learning from each other.jpg
Aisha Habir (instagram.com/ahabir)

Pibo yang merupakan singkatan dari Picture Book, menjadi platform perpustakaan digital yang bisa diakses secara online. Dari menerbitkan buku anak secara mandiri, lalu berganti fokus mengembangkan Pibo yang menyediakan akses luas ke buku-buku anak berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.

Melalui Pibo, anak-anak Indonesia bisa mengakses ribuan buku digital yang sudah dikurasi sesuai dengan usia. Pibo pun juga bisa digunakan oleh guru untuk sistem pembelajaran di sekolah.

Aisha menerangkan, “Kita pengen menjadi pintu untuk anak-anak Indonesia agar bisa menemukan buku kegemarannya. Kita percaya bahwa awalnya mungkin bukan karena minat, tetapi akses.”

Meskipun demikian, Aisha dihadapkan dengan tantangan di Indonesia, seperti sinyal internet dan literasi digital yang belum merata. Selain itu, muncul pula stigma bahwa buku digital membuat anak terlalu sering menggunakan gadget.

“Perpustakaan digital ini hanya komplementari. Ada buku-buku fisik, tapi kita juga punya banyak sekali pilihan. Kalau misalnya buku fisik sudah selesai dibaca atau bosan, ada banyak pilihan buku lagi di Pibo,” ucapnya menanggapi hal itu.

Sebenarnya, kehadiran Pibo sangat dekat dengan generasi Alpha. Generasi ini terbiasa mencari informasi dan mendapatkan suatu hal dengan mudah. Untuk itu, Pibo sengaja memberikan banyak pilihan sesuai dengan minat masing-masing anak.

“Ini juga menjadi salah satu karakter generasi Alpha. Mereka maunya membaca yang memang diminati. Jadi, akhirnya tema yang kita berikan harus beragam. Bentuk dan formatnya juga beragam. Kita ingin setiap anak di Indonesia bisa menemukan buku kegemaran mereka masing-masing,” tuturnya.

Saat ini, Pibo menerapkan sistem subscription atau langganan per bulan, 6 bulan, atau setahun. Pengguna bisa memilih paket gratis dengan 200 buku atau berlangganan premium dengan akses penuh ke lebih dari 1.200 judul.

3. Ekosistem literasi gak cuma di dalam keluarga, tapi juga sekolah

#Repost @bacapibo ・・・Storydate = FUN!Part 1 ..“Ada yang tahu ini apa namanya” tanya kak Hendra m.jpg
Salah satu kegiatan Baca Pibo (instagram.com/bacapibo)

Lebih dari sekadar membaca, Pibo menghadirkan fitur edukatif yang membantu guru dan orangtua memantau perkembangan membaca anak. Guru dapat menugaskan bacaan dan langsung melihat perkembanga siswa tanpa perlu menegur, “Kamu udah baca atau belum?”

Sementara itu, orangtua bisa melihat minat anak dari jenis buku yang sering dibuka. Menurut Aisha, cara ini bisa menjembatani komunikasi antar guru-siswa atau orangtua-anak dalam mendukung perkembangan anak.

Di tahun 2024, Pibo baru meluncurkan Fitur Belajar yang memungkinkan anak-anak gak cuma membaca, tapi juga belajar. Fitur ini menjawab masalah yang disebutkan dalam data PISA, di mana banyak anak bisa membaca, tetapi tidak memahami isinya.

Aisha mengatakan bahwa ia menggunakan lima dimensi LidSTEM yang terdiri dari kosakata, pemahaman, menulis, berpikir matematis, dan proses ilmiah. Menurutnya, kelima aspek tersebut merupakan keterampilan kunci individu bisa mempelajari hal-hal baru.

“Yang paling penting adalah kemampuan orang untuk unlearn dan relearn. Relearn utamanya.Jadi, untuk belajar hal baru. Selalu akan ada keterampilan atau skill baru yang harus kita kuasai. Nah, untuk kita belajar hal itu, kemampuan literasi itu fondasi buat anak,” ucapnya.

Bagi Aisha, kemampuan membaca hanyalah awal. Literasi sejati adalah kemampuan untuk belajar dari apa yang dibaca. Dari fitur tersebut, ia membantu orangtua dan guru untuk bisa melihat apa yang menjadi kekuatan maupun kelemahan anak, dan membantu mereka tumbuh sesuai potensinya.

“Anak itu belajar untuk membaca, sampai terus akhirnya dia fasih membaca. Lalu, dia bertransformasi dengan membaca untuk belajar” ujarnya.

Aisha percaya kemampuan literasi bisa meningkat asal didukung oleh lingkungan yang suportif. Aisha gak memungkiri ada banyak distraksi bagi anak-anak untuk membaca, terlebih membaca konten secara digital.

Namun, ia meyakini bahwa semuanya butuh proses. Buatnya, yang terpenting adalah anak-anak punya pengetahuan untuk memproses informasi. Setidaknya, mereka bisa tahu mana fakta dan hoax serta mampu berpikir secara kritis di tengah banjirnya informasi digital.

4. Soal perempuan berdaya di mata Aisha Habir

Kegiatan literasi digital interaktif berbasis ilmu kelautan bertajuk Panggilan dari Timur kali .jpg
Aisha Habir (instagram.com/ulangalik)

Terjun langsung ke dunia teknologi dan bisnis ini, memberikan tantangan tersendiri bagi Aisha Habir. Namun, apa yang dikerjakannya membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi penggerak perubahan. Ada semangat perempuan yang ingin menghadirkan ruang belajar eksklusif dan accessible untuk anak-anak di Indonesia. Meski begitu, ia gak terlepas dari stigma yang dilontarkan oleh seorang teman.

“Lu jadi perempuan gak usah ambi-ambi (ambisius) banget, lah!” komentar seseorang yang meninggalkan kesan mendalam untuknya.

Aisha merasa masih ada pandangan-pandangan yang kemudian membatasi perempuan untuk bermimpi lebih tinggi. Padahal, menurutnya, perempuan juga berhak menggapai apa yang menjadi mimpinya.

Menanggapi stigma tentang perempuan ambisius, Aisha mengaku sempat terdiam. “Aku sempat membatin, emang kenapa kalau perempuan punya mimpi besar?” ujarnya.

 Perempuan lulusan Whitecliffe College New Zealand ini merasa perempuan harus belajar untuk mengenal dan menghargai potensi dirinya. Terlepas dari stigma-stigma yang lekat pada perempuan, Aisha melihat perempuan yang berdaya itu bisa memberikan dampak positif untuk sekitar karena ia tahu apa yang bisa ia berikan.

“Naluri perempuan itu lebih mengayomi, menanam, menumbuhkan. Jadi, ketika dia punya nilai atau merasa dirinya berharga, dia akan share nilai itu dengan sekelilingnya,” jelasnya.


5. Harapan dan pesan Aisha Habir untuk generasi muda

Time reading a book is time well spent. Apalagi ditemani secangkir teh dan canai hangat made wi.jpg
Aisha Habir (instagram.com/ahabir)

Sebagai Co-Founder Pibo, Aisha berharap bisa terus membantu anak-anak mengembangkan kemampuan literasi mereka melalui buku-buku kegemaran mereka. Ini merupakan bagian kecil dari komitmennya dalam menumbuhkan kecintaan membaca sejak dini.

Harapannya, “Kalau orang-orang bilang mau baca buku dan gak nemu yang kamu suka, cari aja di Pibo.”

Aisha juga menekankan agar orangtua dan guru mau bersama-sama berusaha membangun budaya membaca pada anak sedari kecil. Kalau kesulitan, maka coba posisikan diri seperti anak kecil.

“Jangan hilangkan, tapi dengarkan (suara) anak kecil yang ada di dalam diri kita. Kita punya inner child. Ketika berkomunikasi dengan anak, gunakan inner child itu. Jadi, bagaimana kita bisa berkomunikasi di level yang sama dengan anak,” katanya.

Dengan cara itu, orangtua dan pendidik dapat berkomunikasi dengan anak-anak dari posisi yang sejajar, bukan dari atas. Itulah bentuk komunikasi yang setara sebagai kunci agar anak merasa aman dan nyaman mengeksplorasi potensi dirinya. Seraya menutup dialog hangat ini, Aisha berpesan untuk terus membaca buku dan temukan petualangan-petualangan yang tidak terbatas itu.

“Teruslah menjelajah, dan bertualang. Jangan pernah takut,” tuturnya sambil tersenyum.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriyanti Revitasari
EditorFebriyanti Revitasari
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Plus Minus Kamar Mandi di Dalam Kamar Tidur, Privat Tak Selalu Aman

31 Okt 2025, 21:42 WIBLife