Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU Ciptaker

DPR mempercepat pengesahan UU Ciptaker

Jakarta, IDN Times - DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU Ciptakerja hari ini, Senin (5/10/2020) sore. UU ini disahkan lebih cepat dari rencana awal, yaitu Kamis 8 Oktober 2020.

Walaupun sudah sah menjadi UU, namun masih banyak pihak yang menolak UU tersebut, serikat buruh dan pekerja misalnya. Mereka seperti tak kenal lelah menyuarakan keberatan terhadap kehadiran UU Ciptaker, yang pertama kali diusulkan oleh pemerintah itu.

Sebelumnya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, membeberkan tujuh hal yang ditolak oleh serikat buruh dan pekerja di dalam UU Ciptaker. Ketujuh poin itu adalah upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah atas cuti, serta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.

Bagaimana sebenarnya UU Ciptaker mengatur tujuh hal yang ditolak oleh buruh tersebut? Berikut cek faktanya.

Baca Juga: RUU Cipta Kerja Segera Disahkan, Buruh Masih Tolak Keras 7 Hal Ini

1. Peraturan tentang upah minimum untuk pekerja atau buruh dalam Pasal 88

Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU CiptakerIlustrasi uang. (IDN Times/Istimewa)

Pertama, soal Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Buruh dan pekerja menolak keras rencana penghapusan dua poin itu. Said Iqbal mengatakan, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada, karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.

Bagaimana UU Ciptaker mengatur dua poin ini? Berikut penjabarannya:

Dalam Pasal 88 tertulis:

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;

b. struktur dan skala upah;

c. upah kerja lembur;

d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;

e. bentuk dan cara pembayaran upah;

f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan

g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 88B

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 88C

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 88D

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.

(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 88E

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.

(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

 

Ketentuan Pasal 89 dihapus.

 

Ketentuan Pasal 90 dihapus.

 

Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90A

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 90B

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.

(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Peraturan tentang jumlah pesangon di Pasal 156

Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU CiptakerIlustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)

Poin kedua yang ditolak buruh yakni pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Kesepakatan ini menurut Said, bisa berakibat BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut. Berikut penjabaran soal pesangon di UU Ciptaker:

Pasal 46A

(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.

(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 46B

(1) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.

(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.

 

Pasal 46C

Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran.

 

Pasal 46D

(1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.

(2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 46E

(1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:

a. modal awal pemerintah;

b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau

c. dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

3. Peraturan tentang PKWT dan outsourcing di Pasal 59 dan 66

Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU CiptakerIlustrasi pekerja. IDN Times/Lia Hutasoit

Ketiga, buruh menolak soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup, tidak ada batas waktu kontrak. Keempat, buruh juga menolak outsorching pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan.

Menurut Said Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh. Berikut penjabaran soal PKWT dan outsourcing di UU Ciptaker:

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;

c. pekerjaan yang bersifat musiman;

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 66

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan terkait hak cuti dan libur di Pasal 79

Buruh Tolak 7 Poin, Begini Aturan yang Ditetapkan dalam UU CiptakerIlustrasi pekerja pabrik. ANTARA FOTO/Siswowidodo

Kelima, Said Iqbal juga menyatakan menolak jam kerja yang eksploitatif. Keenam, buruh menolak hak cuti dan hak upah atas cuti dihapus. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.

Ketujuh, karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka KSPI menilai jaminan pensiun dan kesehatan bagi buruh hilang.

Berikut penjabaran tentang hak cuti dan libur untuk pekerja atau buruh dalam UU Ciptaker:

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Ada pun untuk cuti haid dan cuti hamil atau cuti melahirkan, Omnibus Law Cipta Kerja tidak mengubah Pasal 80-87 pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga tetap mengacu pada UU tersebut. 

Baca Juga: Tuai Kritik Keras, Ini Manfaat RUU Cipta Kerja versi Pemerintah

Topik:

  • Sunariyah
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya