Amnesty: Kekerasan Aparat Mewarnai Aksi May Day di Sejumlah Kota

- Aksi demo May Day 2025 diwarnai kericuhan, aparat kepolisian melakukan taktik brutal dan tidak manusiawi terhadap peserta aksi damai.
- Amnesty mencatat pelanggaran HAM serius oleh polisi di beberapa kota seperti Jakarta dan Semarang, termasuk kekerasan fisik dan penangkapan semena-mena.
- Amnesty meminta Polri berhenti menggunakan taktik otoriter, membebaskan yang ditahan karena aksi damai, serta mengevaluasi kepemimpinan Kepolisian RI yang menjadi alat represi terhadap warga negara.
Jakarta, IDN Times - Aksi demo buruh atau May Day di sejumlah wilayah pada Kamis (1/5/2025) diwarnai kericuhan. Mahasiswa yang ikut aksi, jurnalis hingga petugas medis jadi korban kekerasan oleh aparat.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena mengatakan, aparat telah memperlihatkan taktik yang brutal, kejam dan tidak manusiawi terhadap peserta aksi damai Hari Buruh Internasional.
“Ini adalah bukti bahwa pemerintah Indonesia terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam membungkam kebebasan berekspresi dan berkumpul di Indonesia,” ujar Wirya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/5/2025).
1. Tidak ada penghukuman oleh Polri

Amnesty mencatat, terdapat pelanggaran HAM serius oleh polisi di beberapa kota seperti di Jakarta dan Semarang. Polisi diduga menggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan fisik serta penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Serta penangkapan semena-mena, intimidasi, pemeriksaan dan penggeledahan tidak sah, pengerahan polisi berpakaian sipil yang tidak sah, serta serangan terhadap jurnalis dan pekerja medis.
“Kekerasan polisi terus berlangsung karena tidak adanya penghukuman yang dilakukan oleh Polri terhadap pelaku maupun mereka-mereka yang berada di level komando dalam kejadian-kejadian sebelumnya. Ini membuat lingkaran impunitas terus mengakar kuat di tubuh Polri,” kata Wirya.
2. Amnesty minta Polri jangan pakai kekerasan

Amnesty meminta agar Polri berhenti menggunakan taktik-taktik otoriter dan melakukan investigasi menyeluruh atas semua tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya selama aksi damai hari Buruh Internasional berlangsung.
Mereka-mereka yang ditangkap dan ditahan hanya karena berpartisipasi dalam aksi damai kemarin diminta segera dibebaskan.
Selain itu, pemerintah, DPR, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan lembaga-lembaga pengawas lain harus segera mengevaluasi kepemimpinan Kepolisian RI yang berulang kali menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul warga negara.
“Berulangnya kasus-kasus kekerasan polisi seperti ini menjadi alarm bagi Komisi III DPR untuk segera menggunakan hak angket atau hak interpelasi untuk membuka tabir impunitas di tubuh Polri. Apalagi praktik yang dibiarkan menahun tanpa adanya upaya perbaikan dapat dianggap sebagai kebijakan yang perlu disikapi secara kritis oleh DPR RI,” ujarnya.
3. Mahasiswa dituduh sebagai kelompok Anarko

Sebelumnya, perayaan Hari Buruh Internasional tahun 2025 yang berlangsung serentak di beberapa kota di Indonesia diwarnai dengan penggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan aparat kepolisian terhadap para peserta aksi unjuk rasa dan jurnalis peliput.
Di Jakarta, polisi bertindak represif saat menghadapi aksi protes damai di depan kompleks DPR/MPR Senayan. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan bahwa aparat menghadang dan menggeledah perangkat aksi serta barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR pada pagi hari.
“Bahkan terdapat mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas,” ujar Wirya.
Di Semarang, aksi protes dalam rangka Hari Buruh Internasional dipukul mundur polisi dengan tembakan meriam air dan gas air mata, bahkan tembakan gas air mata dilaporkan sampai menyasar ke posko medis.
Aparat kepolisian juga melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap massa aksi. LBH Semarang mengungkapkan bahwa hingga Jumat siang, polisi masih menahan setidaknya 14 orang peserta aksi di Polrestabes Semarang.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mencatat, seorang jurnalis dari media Tempo, berinisial JAN, menerima dua kali serangan dari aparat saat meliput demonstrasi. Pertama, saat meliput aksi demonstrasi di depan pintu gerbang kantor Gubernur Jawa Tengah pada pukul 17.30 WIB.
Dia diintimidasi sekaligus mendapatkan kekerasan berupa leher dipiting lalu hendak dibanting oleh aparat.
Lalu serangan berikut terjadi saat korban meliput pengepungan aparat kepolisian dan preman di depan pintu gerbang utama kampus Undip Pleburan, sekira pukul 20.36 WIB.
Korban dan para jurnalis lainnya dituding melakukan perekaman oleh sekelompok orang berpakaian sipil yang diduga polisi. Korban lalu dipukul berkali-kali oleh beberapa orang berpakaian polisi yang diduga polisi kendati dia saat itu sudah dirangkul Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Jawa Tengah.