Begini Mekanisme Pergantian Antarwaktu Anggota DPR

- Mekanisme PAW anggota DPR diatur dalam UU MD3
- Proses penggantian antarwaktu diusulkan partai politik, diverifikasi KPU, dan disahkan dalam rapat paripurna DPR
- Polemik istilah nonaktif untuk anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai politik
Jakarta, IDN Times - Mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pasal 239 ayat 1 UU MD3 menyebutkan bahwa anggota DPR berhenti antarwaktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian ini dapat dilakukan partai politik sesuai ketentuan perundang-undangan.
1. Diusulkan oleh partai politik dan diteruskan pimpinan DPR

Pasal 239 ayat (2) mengatur bahwa pemberhentian anggota DPR diusulkan oleh partai politik kepada pimpinan DPR. Dalam proses PAW tersebut, partai politik atau pihak terkait harus melampirkan dokumen pendukung mengikuti alasan pemberhentian. Misalnya seperti surat keterangan kematian, surat pengunduran diri bermaterai, dan surat putusan pengadilan, surat keputusan parpol jika memang diberhentikan oleh partai politik.
Usulan itu diteruskan pimpinan DPR kepada presiden untuk mendapatkan peresmian pemberhentian. Pimpinan DPR punya waktu tujuh hari sejak diterimanya usulan pemberhentian untuk menyampaikannya ke presiden.
Lalu, presiden punya waktu 14 hari untuk meresmikan pemberhentian anggota DPR tersebut.
Setelah pemberhentian diresmikan, Pasal 242 ayat (1) menyebutkan bahwa penggantian antarwaktu dilakukan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik dan daerah pemilihan yang sama.
2. Diverifikasi KPU dan disahkan dalam ditetapkan dalam rapat paripurna DPR

Setelah menerima usulan, DPR meneruskannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
KPU bertugas memverifikasi apakah calon pengganti sesuai dengan ketentuan perolehan suara dan daftar calon tetap. Selanjutnya, KPU menyampaikan nama calon pengganti anggota DPR paling lama lima hari sejak diterimanya surat dari DPR.
DPR lalu bersurat ke presiden. Kemudian presiden punya waktu 14 hari untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan anggota DPR pengganti antarwaktu yang ditindaklanjuti melalui keputusan presiden.
DPR lantas menjadwalkan rapat paripurna untuk menetapkan dan melantik anggota DPR baru. Pelantikan dilakukan oleh pimpinan DPR dengan pengucapan sumpah atau janji.
3. Polemik istilah lima Anggota DPR dinonaktifkan

Ahli Hukum Kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini menyoroti istilah yang dipakai pimpinan partai politik menonaktifkan sejumlah anggota DPR yang menuai kontroversi.
Adapun, ada lima Anggota DPR RI yang dinonaktifkan. Mereka ialah Sahroni dan Nafa Urbach yang dinonaktifkan oleh Ketua Umum NasDem, Surya Paloh. Kemudian, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan juga menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya. Lalu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar juga menonaktifkan Adies Kadir. Mereka dinonaktifkan karena pernyataannya mendapat kecaman keras publik di berbagai daerah.
Menurut Titi, istilah nonaktif yang dipakai bermuatan sangat politis. Sebab nonaktif bukan istilah hukum dan tidak diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
"Kalau kita lihat dan kita cermati Undang-Undang MD3, Undang-Undang nomor 17 tahun 2014. Maka sebenarnya istilah yang digunakan non-aktif itu istilah yang sangat politis, bukan istilah hukum begitu ya, sangat tricky," kata dia dalam sebuah acara forum diskusi.
Mengacu pada Pasal 239 UU MD3, hanya ada tiga istilah yang disebutkan yakni pemberhentian antar waktu, pergantian antar waktu, dan pemberhentian sementara. Apabila kelima anggota DPR yang bermasalah itu digantikan posisinya, maka istilah yang tepat dipakai ialah pemberhentian antar waktu (PAW), bukan nonaktif.
"Pemberhentian antar waktu itu akan diikuti oleh penggantian antar waktu. Pemberhentian antar waktu itu hanya bisa dilakukan kalau dia mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan. Nah diberhentikan itu banyak faktor, karena melanggar mode etik sumpah janji jabatan, tidak mengikuti tugas-tugas sebagai anggota DPR tiga bulan berturut-turut," jelas Titi.
Kemudian, istilah pemberhentian sementara hanya untuk anggota DPR yang melakukan tindak pidana, maka dilakukan pemberhentian sementara yang berstatus sebagai terdakwa.
Titi menuturkan, menurut UU MD3 istilah nonaktif secara spesifik hanya digunakan untuk pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
"Nonaktif itu hanya muncul satu kali di Undang-Undang MD3 kita, dan itu spesifik hanya untuk pimpinan MKD, yang diadukan ke MKD sehingga kemudian status pimpinannya itu di nonaktifkan sementara," tegasnya.
Oleh sebab itu, Titi meyakini, penggunaan istilah nonaktif lebih mengarah kepada konsep politis, ketimbang konsep hukum. Di mana parpol hanya berupaya menenangkan publik.
"Seolah-olah masih merupakan kompromi untuk menenangkan publik, tapi tidak menjadi solusi yang betul-betul legal dan konstitusional untuk memproses orang-orang bermasalah," imbuh dia.