Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bincang Mantan: Soal Persiapan Pernikahan, Ekspektasi Vs Realita

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Oleh: Adelia Putri dan Bisma Aditya

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma: Buatlah acara yang sesuai dengan kapasitasmu

Dulu waktu saya kecil saya pernah kepikiran untuk menutup Monas dan adain pesta kebun pernikahan saya di sana, sebelum akhirnya saya bertanya pada diri sendiri “Lu siapa mau nutup Monas? Anaknya Patih Gajah Mada?” 

Semakin dewasa cita-citanya agak berkurang tuh level “muluk”nya, saya jadi kepikiran untuk adain pernikahan di hotel aja karena saya pikir akan jauh lebih simpel. Katering, parkir, dekor, semua biasanya udah ada paketnya dari hotel. Saya tinggal bayar aja.

Eh, setelah saya semakin menyadari realita kehidupan, ternyata yang namanya “bayar” tidak pernah bisa disandingkan dengan kata “tinggal” dan “saja”. MAHAL JUGA YA TERNYATA KAWINAN DI HOTEL. Niatan saya pun kembali urung.

Akhirnya sekarang saya jauh lebih realistis, berkaca pada pernikahan sahabat saya yang waktu itu diadakan di suatu restoran di Bandung, dengan tamu tidak terlalu banyak tapi suasana sangat intim dengan mayoritas tamu adalah orang yang dapat seragam (betul-betul inner circle semua tamunya) saya pun terpikir, sebetulnya pernikahan model ini yang paling ideal untuk dilakukan.

Coba deh lihat di negara tetangga yang lebih maju dari kita, contohnya Singapura. Di sana tuh katanya tamu harus bayar kalau mau hadir di suatu pesta pernikahan, padahal mereka diundang lho. Budaya yang kayak gini selain ekonomis, menurut saya akan membuat orang yang betul-betul merasa dekat aja yang hadir. Iritnya dapat, suasana intimnya dapat. Budaya mereka sangat amat realistis.

Itu di Singapura, negara yang GDP per kapitanya di tahun 2016 sebesar US$ 52,960.71. Sedangkan di Indonesia, negara yang pada periode sama punya GDP per kapita “cuma” US$ 3,570.29 (sekitar seperlima belas Singapore) malah budayanya “pesta nikahan itu harus gede-gedean, kalau perlu tujuh hari tujuh malam dan undang semua orang. Jual tanah atau hutang kalau perlu”.

Ironis…

Kalau kamu memang orang yang serba berkecukupan, yang istilahnya buat makan beberapa tahun ke depan aja udah enggak mikir, go for it kalau memang mau menikah dengan besar-besaran dan undang semua kerabat. Kalau memang mampu ya silahkan.

Tapi kalau hidup aja udah pas-pasan, yang kalau harga bensin atau tol naik Rp 2,000 aja kamu udah tersulut, realistis sedikit lah. Toh dengan kamu pesta dengan sederhana, kamu tidak lebih enggak bahagia dibanding yang pestanya mewah (kalau ini tergantung pasangannya). Jangan berpikir semakin ramai undangan semakin banyak angpao dan berharap biayanya ketutup dari sana. Itu cuma mitos!

Kalau kamu undangnya banyak tapi isinya saudagar semua, oke lah mungkin balik modal. Kalau ramai tapi yang diundang cuma teman seangkatan dari TK, SD, SMP, SMA, Kulliah sampai teman les Bahasa Inggris dan les ngaji sih boro-boro balik modal. Yang ada kamu udahlah tekor, capek juga disuruh “gaya bebas” setiap masing-masing peer foto di pelaminan.

Saya pun akhirnya berpikir bahwa sebuah rumah tangga akan dijalankan selama puluhan tahun. Setelah hari pernikahan masih banyak hari-hari yang akan dilewati dengan berbagai kebutuhannya. Jadi daripada uang segitu banyak dipakai untuk bayarin orang yang enggak kenal-kenal amat atau bahkan yang enggak  kenal, mendingan uangnya dipakai untuk kebutuhan yang lebih pokok. Untuk DP rumah mungkin? Atau kalo memang mau sesuatu yang sifatnya selebrasi, mana yang lebih berkesan, jalan-jalan keliling dunia atau bayarin orang lain makan?

Sekali lagi ini ditulis berdasarkan kondisi saya saat ini, di mana saya masih termasuk ke golongan yang kalau harga tol naik kadang masih merasa sebal, makanya saya realistis dengan keadaan saya. Argumen ini tidak berlaku untuk semua orang ya.

Oh iya, ini pun ditulis berdasarkan kondisi saya saat ini di mana saya belum dibuat bias oleh pandangan calon pasangan saya yang barangkali punya referensi atau mimpinya sendiri. Jadi ini adalah pandangan objektif saya.

Mungkin semuanya akan beda kalau saya udah dapat pasangan, karena kalau calon pasangan saya punya mimpi tentang hari pernikahannya, saya pasti akan coba sebisa mungkin untuk wujudkan mimpinya dan abaikan semua idealisme diatas.

Yah, namanya juga cinta, apa mau dikata...

Adelia: Bermimpi saja sepuasnya…..sampai Mama, Papa, dan calon mertua akhirnya bersabda

Take it from someone who’s been there, done that: jangan sok idealis sebelum mengalaminya sendiri.

Saya tumbuh dengan terlalu banyak novel chick-lit dan film drama komedi yang akhirnya membuat saya selalu bermimpi akan hal-hal klise: dilamar depan Eiffel (thanks, Adit dan Tita!), white wedding, garden party, cincin dari Tiffany & Co, dan lain-lain. I was a hopeless romantic growing up, and a part of getting older is realizing how absurd some of your dreams are — bahwa melamar dengan tenang di depan Eiffel, butuh keahlian khusus untuk mengusir penjual gantungan kunci, dan bahwa harga cincin merek tersebut tidak masuk akal kalau dibandingkan dengan merek lainnya (I did my research!).

Begitu juga dengan hari pernikahan. Saya selalu ingin pernikahan intim di mana saya tidak perlu menghabiskan tabungan hidup untuk memberi makan orang yang tidak dikenal, gaun putih Vera Wang, dan gedung klasik seperti Katedral Jakarta. Tapi, lagi-lagi, tidak semua mimpi bisa jadi kenyataan. Ternyata, menikah di Katedral Jakarta adalah mimpi bodoh karena: satu, saya Islam, dan dua, ternyata yang saya butuhkan bukanlah kemegahan gedung, melainkan kesakralan dan personal attachment dengan bangunan tersebut.

Ternyata, yang saya inginkan adalah menikah di rumah atau masjid yang sering saya datangi saat kecil. Saya juga baru tahu kalau gaun Vera Wang harganya bisa untuk saya kuliah lagi dan ternyata saya kucel sekali kalau pakai putih. Hal-hal seperti itu yang akhirnya membangunkan saya dari mimpi-mimpi masa kecil.

But nothing slaps you harder than family. And in this case, you have two of them.

Ketika mimpi-mimpi absurd sudah pergi, mungkin kamu sama seperti saya, hobi scrolling Instagram dan Bridestory untuk mencari inspirasi hari pernikahan, dari gaun idaman, tempat yang romantis, hingga katering. You want something simple and pretty, and it all seems to make sense…. until the families chime in.

Ada hal-hal yang baru kamu sadari keribetannya ketika kamu mengurusi persiapan pernikahan: rapat keluarga yang pasif agresif, perdebatan adat apa yang dipakai, "tanggal bagus" yang tidak jelas perhitungannya, hingga siapa yang harus ada di posisi kanan/kiri saat berdiri di pelaminan — karena ternyata, siapa yang disalami duluan ada artinya, bukan hanya sekadar angle kamu yang bagus ada di kanan atau kiri.

Belum lagi serenceng adat yang harus diikuti, dari pertunangan, tarian yang harus kamu bawakan (ngurus deadline aja pusing, sekarang disuruh belajar nari juga??), urusan gelar adat yang mengharuskan kamu punya nama baru, hingga potong kerbau di kampung (padahal kamu tinggal di kota).

Percaya deh, kamu pasti pusing. Bridezilla itu bukan sekedar mitos, tapi kamu tak sendiri, karena akan ada In-laws-zilla, Groomzilla, dan zilla-zilla lainnya. (tip: cari wedding organizer untuk membantumu! Saya beruntung WO saya adalah sahabat sejak SMA, sehingga mereka tahu apa yang saya inginkan, bagaimana cara mengomunikasikannya, dan yang paling penting, menenangkan saya ketika panik)

Akhirnya, persiapan pernikahan adalah masalah kompromi. Kamu mau koar-koar bilang "Duit segini mending buat DP rumah" juga enggak akan didengar dan kalah dengan "martabat keluarga" atau "Nanti orang bilang apa". Tak peduli sebenci apapun kamu dengan kawinan ramai, kalau orang tua sudah bilang "Biar mama yang bayarin", kamu akan terpaksa tutup mulut. In the end of the day, it’s not only your day, it’s also you family and your spouse’s family’s day — and nothing we can do about it. 

Tapi saya tidak bilang kamu harus pasrah. You still can make the most of what you can control. Kamu masih bisa punya hari pernikahan impianmu, kok, asal kamu berani bilang bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kamu kompromikan. Kalau saya, saya tidak mau diganggu gugat masalah warna baju (saya tidak mau pakai warna putih, misalnya), make-up artist pun saya yang pilih sendiri, begitu juga dengan fotografer, dan yang paling penting, lokasi akad nikah. Untuk hal lain, semua memang butuh kompromi— tidak mudah, tapi bisa dilakukan. 

It’s not easy, I promise you. But it’ll be worthwhile especially if you have the right person to go through it with. 

Makanya, kalau kamu ingin cepat-cepat menikah hanya karena wishlist Pinterest-mu sudah penuh atau karena kamu ingin punya foto Instagram cantik, mundur dulu deh. Ngurusin hari pernikahan enggak segampang nyanyi Akad-nya Payung Teduh.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us