Perwakilan Aliansi Suara Ibu Diterima Humas BGN, Tagih Tindak Lanjut
- Respon normatif BGN terhadap aspirasi perempuan dan ibu
- Aliansi Ibu Indonesia siap adu data soal korban keracunan massal
- Program MBG ikut caplok anggaran pendidikan
Jakarta, IDN Times - Perwakilan dari puluhan perempuan yang melakukan aksi akhirnya diterima Badan Gizi Nasional (BGN) untuk beraudiensi, dan menyampaikan aspirasinya, Rabu (15/10/2025). Namun, perwakilan dari Aliansi Ibu Indonesia itu hanya ditemui bagian humas BGN. Semula, mereka berharap bisa ditemui kepala atau wakil kepala BGN.
"Jadi, kami masuk (ke kantor BGN). Kami terdiri dari empat orang. Jadi, di dalam kami menyampaikan tuntutan besar kami yakni setop MBG (Makan Bergizi Gratis)," ujar perwakilan dari Aliansi Ibu Indonesia, Annette Mau, ketika dihubungi IDN Times melalui telepon hari ini.
Annette menjelaskan program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu harus dihentikan secara total, dan sifatnya dari atas ke bawah. Namun, kata Annette, penghentian total itu bersifat sementara dan dilakukan pengkajian ulang program tersebut.
"Kaji ulang (program MBG) ada beberapa poin. Pertama, kami memohon (kepada BGN) agar SPPG yang sudah terbukti berulang kali menyebabkan keracunan atau kegagalan dalam memenuhi standar sanitasi, gizi berimbang dan higienis, harus dilarang mengelola (MBG)," katanya.
Annette menambahkan terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bermasalah itu, harus dilakukan audit menyeluruh dan terjadi perbaikan yang total dari sistem kerja. Bila ada perbaikan, SPPG tersebut baru dibolehkan beroperasi kembali.
"Itu pun harus ada konsekuensi tegas karena sudah menyebabkan keracunan. Baik dari kompensasi yang dibayarkan, proses hukum atau penghentian sementara," imbuhnya.
Kedua, aliansi Ibu Indonesia menilai ada pelanggaran HAM yang terjadi dari peristiwa keracunan massal MBG. "Kesejahteraan dan nyawa anak terancam. Belum lagi menimbulkan trauma dan represif kepada sekolah yang sesungguhnya punya kantin-kantin mandiri. Kami menuntut ada audit menyeluruh dan transparansi mengenai penunjukkan SPPG," tutur Annette.
1. Aspirasi perempuan dan ibu hanya mendapat respons normatif

Annette mengatakan respons dari BGN terhadap aspirasi mereka terkesan normatif dan kaku. Sebab, kewenangan pihak yang menerima adalah di bagian humas.
"Jadi, tameng aja. Meski begitu, kami mengucapkan terima kasih sudah diterima dan berharap aspirasi kami diteruskan kepada Kepala BGN," kata dia.
Annette mendengar akan ada proses tata kelola baru di BGN. Seandainya itu terealisasi, aliansi Ibu Indonesia mendesak agar warga sipil ikut dilibatkan.
"Jadi, tidak cukup melibatkan ahli di BGN. Tapi, dalam pandangan kami, keahlian di BGN ini tidak berjalan dan berfungsi. Ahli seharusnya sedih dong melihat kandungan gizi begitu (di menu MBG) dan tata laksananya seperti itu," tutur dia.
Annette menjanjikan bakal ada aksi lanjutan bila aspirasi mereka tidak ditindak lanjuti oleh BGN. IDN Times sudah mengontak Wakil Kepala BGN Nanik S. Deyang untuk meminta tanggapan dari aksi protes dengan piknik di depan kantor BGN, namun hingga artikel ini tayang, belum ada respons.
2. Aliansi Ibu Indonesia siap adu data soal korban keracunan massal
Annette pun mengetahui sejumlah relawan Prabowo dan Gibran pada Selasa kemarin mendatangi kantor BGN. Relawan yang menamakan diri Aliansi Indonesia Raya itu ditemui langsung oleh Kepala BGN, Dadan Hindayana.
Juru Bicara Jaringan '98, Ricky Tamba mengaku sudah sepakat akan bersatu padu untuk melawan fitnah dan kebencian yang dilakukan oleh segelintir orang terhadap program MBG. Annette pun merespons tuduhan angka keracunan massal sekedar fitnah. Ia mengaku siap adu data.
"Kami menjawab (tuduhan keracunan massal sekedar fitnah) dengan santai dan chill. Mari kita bandingkan data kita. Kan data tidak bisa bohong. Mau data di-mark up atau disembunyikan siapapun, kami juga punya data. Apalagi kan sudah diluncurkan program MBG watch dan semua ada datanya,"katanya.
Bahkan, warga ikut urun tangan dan membantu menjadi pengawas kinerja SPPG di lingkungannya.
3. Program MBG ikut caplok anggaran pendidikan
Annette juga menyoroti anggaran MBG pada 2025 senilai Rp71 triliun ternyata berasal dari sektor pendidikan. Padahal, dana pendidikan itu bisa dimanfaatkan untuk membenahi infrastruktur sekolah 3T (tertinggal, terluar dan terpencil), dan membangun kantin sehat berbasis komunitas yang dikelola sekolah, guru dan orang tua. Bahan-bahan pangan yang digunakan pun tergolong segar dari petani lokal.
"Program MBG telah gagal memenuhi prinsip inklusivitas dan hak anak atas kesehatan. Banyak anak yang alergi dengan makanan, intoleransi laktosa atau kondisi medis tertentu tidak dapat mengonsumsi makanan yang disediakan oleh BGN. Mereka justru tetap dipaksa ikut (konsumsi MBG) tanpa opsi pengganti," katanya.