Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

CoP-29 Gagal Hasilkan Langkah Nyata Atasi Krisis Iklim

Foto udara kondisi Sungai Ciujung yang menghitam dan berbau di Kabupaten Serang (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Foto udara kondisi Sungai Ciujung yang menghitam dan berbau di Kabupaten Serang (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Jakarta, IDN Times - Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (CoP-29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, berakhir tanpa menghasilkan langkah signifikan untuk mengatasi krisis iklim.

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai konferensi tersebut gagal memenuhi harapan global dalam menekan laju emisi, merealisasikan pendanaan iklim, dan menciptakan kesepakatan yang berpihak pada negara berkembang. Kegagalan ini, menurut ARUKI, memperburuk dampak perubahan iklim, terutama bagi kelompok rentan di negara-negara pesisir dan pulau kecil.

“Hasil CoP-29 menunjukkan negara-negara maju telah gagal merevisi target pengurangan emisi. Tidak ada satu pun negara yang berani menjadi pionir dalam memimpin penurunan emisi yang lebih tajam. Kondisi ini meningkatkan risiko suhu bumi rata-rata melampaui 1,5 derajat celcius,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, dikutip dari siaran pers ARUKI, Senin (2/12/2024).

1. Minimnya komitmen negara maju

Bendera negara anggota ASEAN. (IDN Times/Sonya Michaella)
Bendera negara anggota ASEAN. (IDN Times/Sonya Michaella)

Negosiasi di CoP-29 menunjukkan lemahnya komitmen negara maju dalam mendanai aksi iklim untuk negara berkembang. Menurut laporan The Carbon Majors Database, sebagian besar emisi CO2 global dihasilkan segelintir perusahaan di negara produsen seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Timur Tengah. Namun, tanggung jawab ekologis mereka kerap diabaikan dalam pembahasan.

“Perundingan program kerja mitigasi di COP 29 mengalami kemunduran dibandingkan COP 28. Komitmen untuk 'beralih dari bahan bakar fosil' (move away from fuels) dihilangkan, sementara bahan bakar fosil justru mendapat tempat. Situasi ini membuka peluang bagi perkembangan teknologi solusi sesat, mengancam investasi dan pemborosan dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk transisi energi yang berkeadilan,” ujar Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani.

2. Kelompok rentan dan beban krisis Iklim

ilustrasi krisis iklim (pexels.com/kostolac)
ilustrasi krisis iklim (pexels.com/kostolac)

Syahrani mengungkapkan janji negara maju untuk menyediakan dana iklim 300 miliar dolar AS dari sumber publik masih jauh dari kebutuhan riil yang mencapai 2,5 triliun dolar AS. Bahkan, target 1,3 triliun dolar AS yang diharapkan tercapai pada 2035 berpotensi menambah beban utang bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Kondisi ini menambah beban fiskal dan sosial bagi negara-negara miskin dan berkembang, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.

Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan juga menyoroti proyek iklim sesat seperti geothermal dan PLTA di beberapa daerah, justru merusak ruang hidup masyarakat.

“Diperparah keterbatasan sumber daya, krisis iklim telah membebani perempuan dengan ancaman terhadap perampasan tanah, mata pencaharian, dan masa depan mereka. Parahnya, proyek iklim sesat--seperti geothermal di Poco Leok, Mataloko, dan Gunung Rajo Basa, serta PLTA di Poso--justru menimbulkan kerusakan signifikan pada ruang hidup dan penghidupan masyarakat, yang dampaknya paling terasa bagi perempuan," tutur Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi.

3. Kebutuhan mendesak akan keadilan iklim

ilustrasi perubahan iklim (pexels.com/ Aleksandr Slavich)
ilustrasi perubahan iklim (pexels.com/ Aleksandr Slavich)

Koordinator Climate Ranger Jakarta, Ginanjar Aryasuta, menuturkan dokumen IPCC Synthesis Report 2023 menunjukkan dalam berbagai skenario, penduduk kelahiran 1980-2020 dihadapkan dengan kenaikan suhu lebih tinggi 0,5-3°C dibandingkan penduduk kelahiran 1950-1980 semasa hidupnya. Artinya, ancaman krisis iklim semakin memperparah kehidupan orang muda.

Pada saat yang sama, penyandang disabilitas juga menghadapi risiko lebih besar, akibat kurangnya akses terhadap dukungan yang inklusif.

“Ketika bencana iklim melanda, penyandang disabilitas sering kali menjadi korban berlapis dengan tingkat kematian empat kali lebih tinggi akibat kurangnya akses dan dukungan yang inklusif,” ungkap Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), dikutip dari siaran pers ARUKI.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Via Marchellinda Gunanto
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us