Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dengan Satu Ginjal, Potret Kelam Pengabdian Kader TBC Tanpa Sentuhan Negara

Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Kader TBC seperti Ike Minah tidak mendapatkan gaji, upah, atau dukungan dari pemerintah
  • Meski sudah kehilangan satu ginjal, Ike tetap melayani pasien TBC tanpa henti selama 13 tahun
  • Sebagian besar kader TBC di Indonesia masih berpenghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR)
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah menargetkan Indonesia bebas tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030. Di atas kertas, target itu terdengar ambisiusdan sekaligus mulia. Namun di lapangan, perjuangan menuju eliminasi penyakit menular itu masih bergantung pada segelintir orang yang jarang disebut dalam berita: para kader TBC.

Mereka bukan dokter, bukan pegawai negeri, tetapi wajah terdepan dari upaya penanggulangan TBC di lingkungan paling bawah. Tanpa seragam resmi, tanpa gaji tetap, berjalan dari satu gang sempit ke gang lain, mereka mengetuk pintu-pintu rumah pasien, mendata, mengedukasi, dan memastikan rantai penularan bisa diputus. Salah satunya adalah Ike Minah.

Pukul sebelas siang, matahari di Warakas terasa menyengat. Jalan gang sempit di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tampak lengang. Hanya suara knalpot motor yang sedikit berisik memecah keheningan siang itu, Senin ( 13/10/2025).

"Ayo mbak kita jemput pasien," ucap Ike Nimah pada IDN Times meminta untuk duduk di belakang di atas sepeda motor tuanya.

Di atas motor merah-hitamnya, Ike Nimah melaju perlahan, menembus panas dan sempitnya gang, menuju rumah pasien TB yang sudah menunggunya. Dengan masker hijau menutupi wajah dan tas kain putih bergambar hati merah di bahunya, Ike tak pernah lelah menapaki jalan yang mungkin dihindari banyak orang.

“Jam segini panasnya luar biasa, tapi saya harus jalan. Ada pasien yang belum saya tengok dan ambil dahaknya” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi.

Ike berhenti di sebuah rumah bercat hijau. Sambil membawa selembar kertas di tangan berisi alamat pasien TBC. Nafasnya sedikit terengah, tapi matanya tetap ramah di balik masker hijau yang menutupi wajahnya.

“Assalamualaikum, Bu…” sapanya lembut.

Seorang perempuan keluar, tampak kaget melihat kedatangannya. Ia tak menyangka rumahnya didatangi petugas kesehatan, padahal belum pernah melapor ke puskesmas.

“Iya, saya dapat datanya, Bu. Meski Ibu belum lapor, suaminya tercatat sebagai pasien TBC. Saya ke sini mau ambil dahak, ya. Di rumah ini ada berapa orang, Bu?” katanya pelan, menjaga agar suaranya tetap menenangkan.

Ike mengeluarkan lima toples kecil untuk diberikan pada perempuan tersebut. Dan meminta untuk memberikan dahaknya esok hari.

"Besok saya ambil ya Bu mau dites semua," katanya.

Perjalanan Ike belum berakhir. Ia kembali menyalakan motornya dan menyusuri gang-gang sempit di Warakas, yang hanya cukup dilewati satu motor. Udara panas bercampur debu menyambutnya.

1. Tak ada gaji, upah atau sekadar vitamin dari pemerintah

IMG_20251015_112415.jpg
Kader TBC dari Jakarta Utara, Ike Nimah saat jemput pasien TBC/ (IDN Times Dini Suciatiningrum)

Sekitar lima belas menit kemudian, Ike berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan pintu terbuka setengah. Dari dalam terdengar suara batuk berat. Seorang pemuda yang tadinya tiduran di ruang tamu kemudian duduk dengan tubuh tampak kurus, bahunya menurun, dan wajahnya pucat.

Ike menatapnya dengan iba, namun tetap tegas. Ia mengeluarkan buku catatan dari tas putihnya dan mencatat kondisi pasien itu.

“Kamu jangan lupa minum obat, ya. Harus tiap hari, nggak boleh putus. Kalau lupa, nanti kuman TBC nya bisa kebal,” katanya pelan tapi mantap.

Ia kemudian mengingatkan hal-hal penting lain: makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan selalu memakai masker agar tidak menulari orang lain. “Dan satu lagi, jangan merokok lagi. Rokok bikin paru-paru kamu makin rusak,” ujarnya.

Namun, di balik senyumnya yang sabar dan suaranya yang lembut, tersimpan perjuangan besar yang jarang terlihat. Selama puluhan tahun, Ike bekerja dengan satu ginjal.

Meski jadi ujung tombak, kehadiran kader TBC seperti Ike sering kali tidak dianggap oleh pemerintah. Padahal, merekalah yang menjadi tangan pertama saat pasien membutuhkan pertolongan, saat obat harus diminum, dan saat harapan mulai pudar.

Ike merupakan satu dari puluhan kader TBC yang tidak lelah mengedukasi dan melayani pasien TBC. Selama 13 tahun, Ike mendampingi pasien TBC di wilayah Warakas, Jakarta Utara.

Mirisnya, kader TBC nampaknya tidak dianggap oleh Pemerintah. Ike terkadang harus merogoh uang pribadi untuk operasional sehari-hari.

"Tidak ada gaji dar pemerintah atau setidaknya vitamin atau pendukung. Padahal kamu merupakan garda terdepan dalam penanganan TBC," ucapnya.

Selama ini, Ike hanya mendapat bantuan operasional dari NGO (Non-Governmental Organization) sebesar Rp900 ribu per bulan jumlah yang jauh dari cukup dengan risiko.

"Namanya di jalan butuh bensin, makan, kadang ban bocor, beli susu, vitamin. Bahkan seringkali pasien TBC juga berutang karena mereka anggap kami seperti keluarga. Jadi ya kalau kami dampingi biasanya kami pakai uang transport kami sendiri. Bukan berarti kami banyak uang tapi kami merasa sudah panggilan dari hati," ucapnya lirih.

Namun, saat program berhenti maka dia tidak mendapatkan fee. Meski demikian, Ike masih melayani pasien TBC.

"Tetap jemput dahak bagi pasien, siapa yang mau periksa dahak tetap saya jemput. Saya antar ke Puskesmas. Saya tetap memberikan edukasi, memberikan penyuruhan, memberikan screening ke masyarakat tetap jalan terus setiap hari. Jadi nggak melihat ada apa tidak tapi saya mohon si pemerintah coba tengoklah kami," ucapnya.

2. Ginjal sudah diangkat namun tetap layani pasien TBC

IMG_20251015_105444.jpg
Kader TBC dari Jakarta Utara, Ike Nimah saat jemput pasien TBC/ (IDN Times Dini Suciatiningrum)

Perjuangannya bukan tanpa pengorbanan. Di satu masa, tubuhnya sendiri nyaris tak sanggup berdiri. Ia baru saja menjalani operasi besar karena ginjalnya bermasalah. Namun, bahkan di tengah rasa sakit dan tubuh yang belum pulih, Ike tetap melangkah dengan selang yang membalut tubuhnya.

"Aku bawa-bawa selang ginjal itu, selang pasang masuk ke samping, nah itu cumanya jadi orang nggak ngeliat karena saya masuk ke dalam baju. Jadi nggak keliatan saya pakai selang ginjalku bermasalah, nah sekarang ginjalku udah diangkat, jadi tinggal satu ginjal saya. Tapi tetap semangat untuk pasien TBC itu, karena sudah panggilan hati saya, saya harus membantu pasien TBC," katanya

Bagi banyak pasien, kehadiran Ike bukan sekadar pendamping medis. Ia adalah sosok yang memberi semangat di saat mereka kehilangan daya. Setiap sapaan, setiap kunjungan, menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian.

Menurut Ike, tanpa kader TBC, banyak pasien yang bisa berhenti minum obat karena tidak ada yang mengingatkan secara langsung.

“Peran kader ini sebagai garda terdepan sudah sangat membantu pihak kesehatan, terutama puskesmas. Karena tidak semua puskesmas memiliki tenaga medis yang banyak untuk turun ke lapangan. Makanya dari PCTB itu selalu minta bantuan ke kami,” jelasnya.

Menjadi kader TBC bagi Ike bukan sekadar pekerjaan, melainkan jalan hidup. Meski tubuhnya kini bertahan dengan satu ginjal, semangatnya tak pernah berkurang. Ia percaya, setiap langkah yang diambil, setiap pasien yang disemangati, adalah bagian dari panggilan hati yang suci.

“Saya harus tetap berjuang untuk orang-orang di bawah. Walaupun saya tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah, tapi saya yakin ada tangan-tangan dari Allah,” ucapnya lirih, sambil menatap ke arah motor tuanya yang setia menemaninya selama bertahun-tahun.

Meski bekerja tanpa kepastian, Ike hanya berharap satu hal: perhatian.

“Kepada pemerintah, baik presiden, gubernur, wakil gubernur, semua tolonglah. Kami, kader TBC ini, biar ada reward sekadar susu atau vitamin untuk kami yang tiap hari berhadapan dengan pasien TBC,” pintanya.

3. Sebagian besar penghasilan kader TBC masih di bawah UMR

IMG-20251102-WA0019.jpg
Infografis survei penghasilan TBC/ IDN Times Dini Suciatiningrum

Ike hanyalah satu dari ribuan kader TBC yang butuh perhatian pemerintah. Berdasarkan Laporan Profil Kader TB di Indonesia (Bulu Foundation, 2023), jumlah kader TB terus mengalami peningkatan sejak tahun 2016. Berdasarkan data Yayasan Penabulu dan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) berkisar 9 ribu kader di Seluruh Indonesia.

Pada periode 2018–2023, jumlah responden kader TBC yang terdata mencapai 1.891 orang, dengan tren peningkatan signifikan terutama pada tahun 2021 sebanyak 323 kader 17,08 persen . Angka ini merupakan yang tertinggi selama periode survei. Tahun 2023 sendiri mencatat 222 kader 11,74 persen, menunjukkan stabilitas partisipasi kader dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan hasil survei rata-rata penghasilan Kader TBC di Indonesia masih berpenghasilan rendah. Dari total 1.891 responden, hanya 84 kader atau 4,44 persen yang memiliki penghasilan di atas upah minimum regional (UMR).

Sebanyak 1.803 kader 95,35 persen berpenghasilan di bawah UMR, sementara 4 orang 0,21 persen tidak memberikan keterangan terkait penghasilan.

Rendahnya penghasilan kader TBC disebabkan oleh status mereka yang bersifat informal dan sukarela. Umumnya, kader TBC memperoleh insentif dari lembaga nonpemerintah seperti Global Fund, sementara sebagian kecil mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah melalui skema APBD, terutama bagi kader yang ditugaskan dalam kegiatan surveillance di Puskesmas.

“Kader TBC mendapatkan insentif dari sistem integrasi oleh Global Fund. Sementara itu, kader TBC yang penghasilannya di atas UMR merupakan tenaga yang agak langka. Mereka ini di antaranya berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bangka Belitung.” Laporan Profil Kader TB di Indonesia, Bulu Foundation (2023)

Selain itu, di beberapa daerah seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, kader TBC telah memperoleh penghasilan tetap dari APBD, khususnya bagi mereka yang bertugas di surveillance kelurahan. Saat ini terdapat 45 petugas surveillance kelurahan yang dibentuk dan dilatih secara khusus untuk pengamatan penyakit menular.

4. Kader TBC merangkap kader jumantik

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati/ IDN Times Dini Suciatiningrum
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati/ IDN Times Dini Suciatiningrum

Ketiadaan anggaran untuk Kader TBC diakui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Ani Ruspitawati. Ani menjelaskan alasan mengapa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum memberikan insentif khusus bagi kader tuberkulosis (TBC) di wilayah ibu kota.

Menurut Ani, kader TBC di Jakarta umumnya juga merangkap sebagai kader lainnya seperti kader jumantik maupun dasawisma, sehingga peran mereka sudah terintegrasi dalam berbagai kegiatan kesehatan masyarakat.

“Jadi sebenarnya kader TBC itu biasanya terintegrasi, kader jumantik juga, kader TBC juga, dasawisma juga. Honor yang khusus untuk TBC saat ini masih dibiayai oleh NGO Global Fund. Nanti seperti apa kelanjutannya, kita sedang mengusulkan skemanya,” jelas Ani kepada IDN Times di Jakarta.

Ia menambahkan, pembahasan terkait skema insentif bagi kader TBC sudah dilakukan di internal pemerintah daerah. Meski begitu, mekanisme pemberian honor masih mengikuti pola dari Global Fund yang selama ini mendukung program penanggulangan TBC di Jakarta.

“Sudah dibahas, kita usulkan. Skemanya seperti apa nanti akan kita lihat lagi, karena sebagian besar kader TBC itu juga kader jumantik dan kader dasawisma,” ujarnya.

Menanggapi anggapan bahwa Pemprov DKI kurang memperhatikan kader TBC, Ani menegaskan bahwa pemerintah tetap memberikan perhatian kepada seluruh kader kesehatan di Jakarta, terutama dalam bentuk dukungan dan penghargaan.

“Ada lah, pokoknya terhadap semua kader kita sebenarnya berikan perhatian khusus, misalnya ketika sakit, ketika berobat, dan sebagainya. Kalau mekanisme honornya, karena ini masih mekanisme Global Fund, tapi prinsipnya kita sedang mengusulkan skema yang terbaik,” tegasnya.

5. Pemerintah dan NGO seharusnya duduk bersama

Yellow Red Illustration World Tuberculosis Day Instagram Post_20251102_075011_0000.png
Ilustrasi Kader TBC/ IDN Times Dini Suciatiningrum

Dewan Pengawas Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Erlina Burhan, mengingatkan bahwa pendanaan dari lembaga donor internasional atau NGO untuk program tuberkulosis (TBC), termasuk insentif kader TBC, bersifat sementara dan tidak dapat diandalkan secara terus-menerus.

Menurut Erlina, skema bantuan dana dari lembaga donor seperti USAID maupun Global Fund biasanya diberikan dalam periode tertentu, dan tidak selalu diperpanjang setiap tahun.

“Kalau dana dari NGO itu kan nggak terus-menerus ya. Kalau misalkan anggarannya habis, sudah selesai. Apalagi kan sekarang dana-dana dari USAID itu sudah dipangkas, sudah dikurangi, bahkan nggak ada sama sekali,” ujar Erlina kepada IDN Times, Sabtu (25/10/2025).

Ia menambahkan, beberapa NGO atau kemitraan internasional lainnya masih memberikan dukungan, namun sifatnya terbatas dan bergantung pada durasi proyek yang sedang berjalan.

“Kalau dari NGO lainnya, dari sebuah partnership, mungkin masih ada. Tapi itu juga kadang-kadang sudah selesai. Yang masalahnya kan anggaran itu per tahunnya. Jadi nanti kalau mau dapat lagi, STPI harus apply lagi,” jelasnya.

Erlina juga menyoroti bahwa tidak semua kader TBC di wilayah Jakarta mendapatkan dukungan insentif dari NGO, karena pendanaan tersebut tergantung pada lokasi proyek yang didanai.

“Pemprov juga harus tahu, nggak semua kader itu dapat, tergantung dari proyeknya ada di mana. Misalkan nggak semua provinsi, Jakarta juga nggak semua, mungkin kecamatan tertentu dapat,” katanya.

Ia menilai, penting bagi pemerintah daerah untuk memetakan wilayah mana saja yang mendapatkan dukungan dari NGO, agar tidak terjadi ketimpangan. Wilayah yang tidak mendapatkan dukungan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Jadi maksudnya dimapin dulu, lebih ditanyakan ke NGO-nya lokasi mana saja yang memang ada dananya. Sementara yang seharusnya nggak ada dananya, itu semestinya ditanggung pemerintah,” tegas Erlina.

Erlina pun menyarankan adanya koordinasi lebih intens antara pemerintah daerah dan NGO agar pembagian wilayah penerima dukungan menjadi lebih jelas dan tidak tumpang tindih.

“Menurut saya semestinya ngobrol antara NGO dengan pemerintah supaya ketemu, ini yang mana yang diberi, mana yang tidak. Jadi bisa diatur bersama,” katanya.

6. Kemenkes akan anggarkan insentif TBC tapi masih dihitung

Screen Shot 2025-10-29 at 12.21.30.png
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI Benyamin Paulus Octavianus dalam Program Ngobrol Seru. (Youtube.com/@Idntimes)

Nampaknya mereka yang mengetuk pintu rumah pasien TBC tanpa gaji atau insentif segera mendapatkan lampu hijau dari pemerintah.

Melalui wawancara khusus dengan IDN Times, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Benjamin Paulus Octavianus mengatakan pihaknya saat ini tengah menyiapkan skema pemberian insentif bagi kader tuberkulosis (TBC) yang menjadi ujung tombak dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia.

Benjamin mengakui, peran kader sangat penting terutama dalam penanganan TBC resisten obat (TBC RO) yang berisiko tinggi menular.

“Itu masalah, karena di TBC RO ya, TBC kan ada yang resisten sama yang sensitif obat. Untuk TBC resisten obat, ada anggaran untuk pasien yang tidak mampu untuk transportasi dan kader yang mengurusin dikasih insentif karena TB RO itu berbahaya sekali,” ujar pria yang akrab disapa Benny saat ditemui di Gedung Kemenkes, Jumat (24/10/2025).

Ia menjelaskan, sekitar 5 persen kasus TBC di Indonesia saat ini merupakan kasus TBC resisten obat. Kondisi ini muncul akibat pasien tidak teratur minum obat, sehingga kuman menjadi kebal dan bisa menulari orang sehat.

“Ini enggak gampang, karena akibat minum obatnya enggak teratur, juga dari pasien yang resisten nularin orang sehat, kena yang langsung resisten,” jelasnya.

Benjamin menegaskan, Kementerian Kesehatan tengah menghitung kebutuhan anggaran untuk memberikan insentif kepada kader TBC. Menurutnya, pekerjaan kader di lapangan tidak ringan dan layak mendapat penghargaan yang setimpal

“Saya setuju bahwa kader yang bekerja dalam program TBC ini karena ini pekerjaan yang berat, mereka juga harus dihargai. Itu sedang kita hitung, kita rancang,” ujarnya.

Saat ini, kata Benny, penyusunan anggaran penanganan TBC masih dilakukan lintas kementerian dan lembaga. Setidaknya ada 29 badan dan kementerian yang terlibat dalam penyusunan rencana percepatan eliminasi TBC nasional.

“Makanya hari ini saya belum bisa muncul angkanya, karena teman-teman sedang bekerja. Saya kan diperintahkan baru nih, baru dua minggu. Jadi kami sedang menghitung, ini kan lintas sektoral, 29 badan dan kementerian,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Wamenkes menyebut pihaknya juga tengah mempelajari model kader kesehatan di Kota Surabaya. Di sana, satu kader dipercaya menangani sekitar 20 rumah tangga dan tidak hanya fokus pada TBC, tetapi juga isu kesehatan lain seperti gizi dan imunisasi.

“Kita mau belajar, di Surabaya itu setiap kader memegang 20 rumah. Saya pingin tahu kok bisa satu kader memegang 20 rumah. Jadi bukan hanya mengurus TBC, tapi juga gizi, imunisasi, apapun,” tuturnya.

Benny menilai model seperti ini bisa diadaptasi di wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta dan Bandung, sementara strategi di daerah pedalaman mungkin akan disesuaikan dengan kondisi setempat.

“Kami lagi susun strategi. Jadi sebetulnya apa yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan kementerian lainnya sudah berjalan, hanya kami mau lakukan akselerasi,” kata Benny.

Share
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

Banjir Bandang Landa Kota Tua Hoi An Vietnam, Tewaskan 35 Orang

02 Nov 2025, 17:34 WIBNews