DPR Mau Kembali Revisi UU, KPK Mengaku Tak Pernah Diajak Bicara

Jakarta, IDN Times - Pagi ini, DPR akan menggelar rapat paripurna di kompleks parlemen Senayan. Dalam rapat tersebut, DPR akan meminta pandangan fraksi terhadap usul Badan Legislasi terkait Revisi UU nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkembangan ini membuat publik terkejut. Apalagi menurut anggota Komisi III dari fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu mengatakan diskusi mengenai RUU KPK sudah memasuki pembahasan kedua. Hal itu dilakukan secara diam-diam di saat publik tengah fokus pada proses seleksi capim KPK.
Masinton mengatakan anggota DPR menargetkan revisi terhadap UU KPK bisa rampung secepatnya. Tujuannya, supaya pimpinan KPK baru yang dilantik Desember mendatang bisa bekerja dengan UU yang telah direvisi.
Komentar pun datang dari juru bicara KPK, Febri Diansyah. Menurutnya, sejak awal, KPK tidak pernah diajak berdiskusi oleh DPR.
"KPK belum mengetahui dan juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut," kata Febri melalui keterangan tertulis pada Rabu malam (4/9).
Apalagi sebelumnya, Febri melanjutkan, berbagai upaya revisi UU cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi. Lalu, dari sudut pandang KPK, apakah mereka membutuhkan revisi terhadap UU tersebut?
1. KPK menilai hingga saat ini mereka tak butuh UU nya direvisi

Febri menjelaskan hingga saat ini KPK belum membutuhkan revisi terhadap UU nomor 30 tahun 2002. Justru dengan UU ini, KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk Operasi Tangkap Tangan (OTT) serta penyelamatan keuangan negara lainnya melalui tugas pencegahannya.
Dalam pandangan KPK, tutur Febri, akan menjadi janggal apabila revisi terhadap UU itu tidak mengajak diskusi pihak pemerintah atau Presiden.
"Sebab, tentu tidak akan bisa menjadi UU jika tanpa pembahasan dan persetujuan bersama dengan Presiden. Karena UU adalah produk DPR bersama Presiden," kata Febri lagi.
2. Empat kewenangan KPK yang akan dibatasi

Masinton menjelaskan ada empat hal yang akan direvisi menyangkut kewenangan KPK yaitu penyadapan, perlunya dibentuk dewan pengawas, status pegawai KPK dan kemampuan KPK untuk mengeluarkan surat pemberhentian penyidikan perkara alias SP3. Padahal, selama ini sesuai aturan UU yang berlaku kini, institusi antirasuah dilarang menghentikan penyidikan perkara korupsi.
Berdasarkan data revisi UU KPK yang diperoleh ICW tahun 2016 lalu, institusi antirasuah baru bisa melakukan penyadapan apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup dan mendapat izin dari dewan pengawas. Dewan pengawas berisi orang-orang yang nantinya dipilih oleh Presiden untuk mengawasi kinerja KPK.
"UU KPK itu kan sudah berusia 17 tahun sejak 2002 lalu. Maka, DPR bersama pemerintah memiliki kewenangan untuk meninjau, melakukan legislasi review terhadap seluruh produk perundang-undangan termasuk UU KPK," kata Masinton pada Rabu sore di DPR.
Sementara, salah satu alasan mengapa DPR mengusulkan agar kasus di KPK bisa dihentikan karena ada beberapa contoh kasus besar yang sulit untuk dipecahkan. Bahkan, ada individu yang sudah dijadikan tersangka, namun status hukumnya masih belum jelas. Kasusnya selama bertahun-tahun belum dilimpahkan ke pengadilan.
"Nah, dengan begini kan nantinya bisa memberikan suatu kepastian," tutur dia lagi.
3. Presiden Jokowi menjadi penentu apakah revisi UU KPK akan lolos

Kini bolanya ada di tangan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Menurut Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Oce Madril, RUU KPK masih menjadi keinginan sepihak dari DPR. Revisi terhadap UU KPK sempat ditolak oleh publik di tahun 2016 lalu. Hal itu lantaran banyak dari poin di RUU tersebut yang dinilai melemahkan KPK.
"Kita tunggu sikap Presiden, sebab jika Presiden tidak setuju dengan RUU itu, maka tidak akan disahkan. Tapi, jika ternyata Presiden sehati dengan gagasan DPR, maka lumpulah KPK. Bersoraklah koruptor dan hari-hari ke depan negara ini akan menjadi zona ramah korupsi," kata Oce yang dikutip melalui akun media sosialnya pada pagi ini.
IDN Times sudah meminta izin untuk mengutip pernyataan tersebut. Menurut Oce, janggal rasanya apabila KPK yang nantinya berkepentingan menggunakan UU tersebut malah tidak diajak berdiskusi.
Oleh sebab itu, ia mengajak publik untuk menolak perubahan di dalam UU KPK. Sebab, satu-satunya pihak yang ditakutkan oleh koruptor adalah KPK.
"Mereka tidak takut pada hal yang lain. Publik harus menjadi benteng yang terakhir untuk mempertahankan KPK," kata dia lagi.
Ia mengatakan berdasarkan sejarah di dalam Republik Indonesia, lembaga pemberantas korupsi selalu diberangus oleh dua aktor utama yakni politisi dan pemerintah.
"Kemudian disponsori oleh kekuatan ekonomi rente yang diuntungkan oleh sistem yang korup," tutur Oce.