Imparsial: Data Tahun 2023, Ada 2.500 TNI Aktif Isi Jabatan Sipil

- Peneliti senior Imparsial Al Araf mengungkapkan data Lemhanas tahun 2023: 2.500 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil.
- Al Araf menegaskan bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan sipil jelas melanggar UU TNI, dan mengingatkan agar tidak menormalisasi militer dalam kehidupan sipil.
Jakarta, IDN Times - Peneliti senior Imparsial Al Araf, mengungkapkan, berdasarkan data Lemhanas tahun 2023 setidaknya ada 2.500 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil.
Ia pun menyoroti penempatan Sekretaris Kabinet (Seskab) Mayor Teddy. Menurut dia, penempatan Mayor Teddy ini sudah sangat jelas negara menabrak UU TNI.
Hal tersebut disampaikan Al Araf dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi I DPR RI membahas RUU TNI, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
"Data Babinkum TNI menyebutkan ini ketika saya di Lemhanas 2023 ada 2.500 prajurit duduk di jabatan sipil. Ini tolong croscheck kembali karena saya pakai data waktu saya presentasi pada masa tersebut," kata dia.
Al Araf menegaskan, fenomena ini jelas menabrak UU TNI. Di sisi lain, dia mengingatkan UU TNI membatasi jumlah kementerian/lembaga yang dapat di sisi oleh jabatan sipil.
"Apa implikasinya, ada pelanggaran terhadap UU TNI. Karena di dalam pasal 47 hanya terbatas untuk a b c dan d," kata dia.
1. Jangan normalisasi TNI di wilayah sipil

Ia pun mengingatkan agar jangan menormalisasi militer dalam kehidupan sipil khususnya di negara demokrasi karena mengarah ke otoritarianisme.
"Jangan lakukan normalisasi militer di dalam kehidupan sipil di negara demokrasi, karena kalau itu kita akan mengarah ke sekuiritisasi dan sekuiritisasi mengarah ke otoritarianisme," kata dia.
Al Araf menegaskan, bila militer aktif dibutuhkan dalam jabatan sipil, maka mereka harus pensiun dini. Dia mengatakan, keberadaan militer aktif dan polisi aktif mengganggu birokrasi dan merit sistem.
Selain melanggar UU TNI, penempatan prajurit aktif juga akan melemahkan profesionalisme mereka. Dia mengingatkan, negara jangan kembali menarik dan menggoda militer ke dalam jabatan sipil karena akan merusak tata kelola kenegaraan di Indonesia.
"Jika dan kalau ingin masuk, pensiun dini supaya tidak ada loyalitas ganda. Kalau masih aktif, loyalitas mereka ke mana? Ke Pak Menteri? Apa ke Panglima atau Kapolri--nya? Saya pastikan ke Panglima dan Kapolrin-ya bukan ke menterinya. Ini menimbulkan dualisme loyalitas," kata dia.
2. Tak relevan dikaitkan ke dwifungsi ABRI

Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menilai, penempatan prajurit di wilayah sipil tidak relevan lagi bila dikaitkan dengan dwifungsi ABRI.
"Dengan ditempatkannya para perwira di lembaga atau kementerian, menurut hemat saya tidak relevan lagi kalau dihubungkan akan kembalinya kepada dwifungsi," kata dia.
Kendati demikian, menurut dia, prajurit TNI yang akan ditempatkan di wilayah sipil ini harus sesuai keahliannya. Misalnya, prajurit TNI lulusan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) bisa ditempatkan di Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia.
Di sisi lain, penempatan TNI untuk mengisi jabatan sipil ini juga harus didasari dengan permintaan menterinya.
"Saya sepakat, misalnya dia memang sangat dibutuhkan dan sesuai permintaan menterinya juga harus kapabel. Oh, dia lulusan IPB tempatkan di Kementan," kata dia.
3. Penempatan TNI di wilayah sipil harus selektif

TB Hasanuddin juga menilai, penempatan prajurit ke wilayah sipil itu harus dilakukan secara selektif.
Namun, kata dia, yang harus dipikirkan dari penempatan TNI ke wilayah sipil ini adalah keberadaan ASN, meskipun dalam UU ASN dimungkinkan bahwa jabatan tertentu dapat diisi oleh TNI.
"Justru menurut saya pribadi kasihan adalah kajian kepada PNS-nya. Walaupun dari ASN itu boleh saja sebuah jabatan diisi oleh militer, ada dalam pasal berapa UU ASN, tetapi harus selektif," kata dia.