Ini Alasan Boyamin Bikin Sayembara Berhadiah iPhone

Jakarta, IDN Times - Koodinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan dia prihatin dengan kinerja KPK dalam menangani tersangka kasus dugaan eks Sekjen Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrachman. Hal itu diungkapkan Boyamin dalam Diskusi Opini MNC Trijaya yang bertajuk 'Memburu Buron KPK'.
"Saya prihatin terhadap dua sisi, KPK maupun dari sisi Pak Nurhadi. KPK kelihatan tidak serius, dan terpaksa saya sindir dengan (sayembara) Iphone itu," katanya di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Jumat (6/3).
1. Sayembara merupakan sindirian untuk KPK

Boyamin mengatakan, sayembara itu sebenarnya untuk menyindir KPK. Dia pun heran, mengapa lembaga sekelas KPK tidak mampu menangkap seseorang yang terjerat sebuah kasus.
"Sayembara Iphone 11 itu kan gimmick. Karena pada tataran tertentu substansi hukum ini menjadi kacau balau. Menurut saya ini antitesis," kata dia.
Selain itu, penggeledahan yang dilakukan KPK di kediaman Nurhadi juga terbilang lambat. Padahal menurutnya, KPK memiliki izin penggeledahan yang lebih mudah ketimbang Kepolisian maupun Jaksa. Mereka tinggal minta izin kepada Dewan Pengawas (Dewas) yang sama-sama bekerja di dalam Gedung KPK.
"Baru kemudian setelah ramai hadiah itu (Iphone), (penggeledahan) dilakukan," katanya.
2. Sejak awal KPK dinilai tidak serius tangani kasus Nurhadi dan Harun Masiku

Boyamin melanjutkan, sejak awal KPK tak serius menangani kasus Nurhadi maupun kasus dugaan korupsi yang menjerat kader PDI Perjuangan, Harun Masiku. Masyarakat kata dia, dibuat jengkel dengan sandiwara yang dibuat oleh KPK.
"Misalnya pernyataan pak Firli (Ketua KPK) itu mengatakan 'ya saya kejar sampai tertangkap'.Nah, ini omongan apa menurut saya," katanya.
"Kalau penegak hukum yang berintegritas pasti ngomong, 'saya akan tangkap dalam jangka waktu maksimal enam bulan. Kalau gagal, saya akan mundur'. Itu baru pemimpin. Ini (malah) mengatakan sampai tertangkap. Kalau sampai kiamat gak ketangkap mau apa?" sambungnya.
Bentuk ketidakseriusan lainnya adalah ketika KPK menggeledah beberapa aset yang dimiliki Nurhadi di Jawa Timur. Menurutnya, KPK justru lebih memilih menggeledah ke wilayah yang lebih jauh seperti Tulungagung dan Surabaya.
"Baru geledah ke Hang Lekir sama ke Patal Senayan. Padahal itu kan dalam posisi di Jakarta, lebih dekat saja malah belakangan. Ini kan nampak dari sisi ini pun tidak ada keseriusan sebenarnya maunya apa," jelasnya.
3. KPK seharusnya mampu menangkap Nurhadi dan Masiku

Boyamin menuturkan, lembaga antirasuah seharusnya mampu menangkap orang sekelas Nurhadi maupun Harun Masiku. Apalagi, KPK memiliki penyidik dari Kepolisian. "Zaman orde baru apalagi, kita ini yang aktivis itu sembunyi di mana pun ketahuan. Gak mungkin keahlian polisi ini menurun," tuturnya.
"Mestinya ini lebih mudah. Kan gak mungkin dia (Nurhadi dan Harun) hidup di tengah hutan sendirian tanpa makan tanpa minum. Pasti di tempat-tempat tertentu," kata dia lagi.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Harun seharusnya menyerahkan diri. Boyamin mencontohkan, ketika dilaporkan atas suatu kasus, dia langsung mendatangi kantor polisi tanpa adanya surat pemanggilan. Boyamin kala itu datang, dan langsung minta diperiksa.
"Kemudian pernah dipanggil, dilaporkan pencemaran nama baik di Polres Jaksel. Saya tidak menerima panggilan melalui pos. Kemudian ada panggilan kedua, saya datang. Proses-proses itu yang harusnya kita berikan pengertian kepada masyarakat untuk taat hukum," katanya.
4. KPK menerapkan ilmu cocoklogi dalam menetapkan status buron

Sementara itu, Chairman SA Institute, Suparji Achmad, mengatakan, KPK masih menerapkan gaya lama dalam menetapkan status buron kepada Nurhadi dan Harun Masiku. "Masih adanya gaya KPK lama yang menetapkan tersangkanya itu cenderung lewat ilmu cocoklogi saja. Tidak ada bukti yang secara empiris," katanya.
Dia juga menilai KPK juga tidak memenuhi prosedur pemeriksaan. Nurhadi dan Harun belum pernah diperiksa saat statusnya dinaikkan menjadi tersangka. "Kemudian putusan hasil MK bahwa dalam konteks penetapan tersangkanya itu harus ada dalam waktu maksimal 7 hari SPDP. Tapi itu juga tidak dilakukan," kata Suparji.
Suparji menilai, ada kriiminalisasi yang dilakukan KPK. Dimana, kasus perdata yang menjerat Nurhadi bertransformasi ke perkara pidana hingga gratifikasi. Hal itulah yang membuat Nurhadi tidak mau memberikan keterangan ditambah lagi dengan statusnya yang menjadi buron.
"Kemudian secara khusus, kasus Harun ini satu indikasi yang nyata KPK tidak mampu mengalahkan aroma kekuasaan.
"Kasus Harun itu lebih terang benderang. Bagaimana kemudian ada penetapan tersangkanya tapi faktanya malah bias ke mana-mana. Dicopotnya (eks) Dirjen (Imigrasi Ronny Sompie) dan lain-lain dan itu suatu pengalihan isu yang pada akhirnya menghilangkan substansi itu," sambungnya.
Lantas, bisakah KPK menangkap Harun dan Nurhadi ?
"Saya kira akan lebih banyak ke lautnya. Terutama di kasus Harun Masikunya. Saya kira tidak terlalu susah menangkap Harun. Tapi mungkin karena ada pertimbangan lain yang bersangkutan tidak ditangkap juga," tutup dia.
Baca artikel menarik lainnya di IDN App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb