Ini Alasan PKS Dorong RUU Perlindungan Tokoh Agama ke Prolegnas

Jakarta, IDN Times - Anggota Badan Legislatif DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Almuzzammil Yusuf mengatakan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama yang diusulkan fraksinya, dalam rangka program kampanye Pemilu 2019.
PKS berkomitmen memperjuangkan RUU Perlindungan Ulama, Tokoh, dan Simbol Agama. Setelah dibahas di Badan Legislasi DPR RI disepakati perubahan nama dari "RUU Perlindungan Ulama, Tokoh, dan Simbol Agama-agama" menjadi "RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama".
Dalam konteks Islam yang dimaksud, kata Yusuf, tokoh agama adalah ulama atau sebutan lain yang sejenis seperti ustaz, kiai, dan lainnya.
“Kami menyetujui perubahan tersebut selama substansinya sama, yaitu untuk melindungi dan memuliakan tokoh agama dan simbol agama,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/12).
1. PKS mengklaim RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama mendapat dukungan PKB dan PPP

PKS mengklaim RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama atas usulan bersama dua partai lain, yang mendorong adanya payung hukum bagi pemuka agama. Kedua partai politik tersebut adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Dalam Prolegnas Prioritas 2020 dengan mengakomodir substansi RUU Perlindungan Kiai dan Guru Ngaji yang diusulkan oleh PKB. Untuk itu, selain Fraksi PKS, pengusul RUU ini adalah Fraksi PKB dan PPP,” kata dia.
RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama, menurut Yusuf, berangkat dari filosofi sila pertama Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28E, Pasal 29 ayat 1-2 dan 31 ayat 3.
Dalam pasal-pasal tersebut mengatur dan memberikan jaminan atas hak asasi setiap orang untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak setiap orang untuk beragama, negara, berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa, dan hak atas perlindungan diri dari ancaman ketakutan, penyiksaan, untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.
“Serta pemerintah mengusahakan pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia serta dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Yusuf.
2. Peran tokoh agama harus mendapat perlindungan hukum

Yusuf menjelaskan sosiologis historis peran tokoh agama yang menurutnya sangat penting dalam mewujudkan harapan landasan filosofis tersebut, harus mendapat fasilitas perlindungan hukum negara. Mereka tidak boleh mengalami persekusi, pengadangan, intimidasi oleh siapa pun di lapangan, agar peran mereka maksimal.
“Pendidikan formal saja tidak akan cukup untuk mengisi tuntutan filosofi tadi. Justu tokoh agama yang memiliki pengaruh dan karisma di publik yang kuat, untuk bisa memberi muatan pendidikan moralitas tersebut lebih efektif,” ucap dia.
Lebih lanjut, Yusuf menyebut, RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama dibuat untuk melindungi tokoh agama secara khusus, karena mereka adalah orang yang rentan mendapatkan ancaman, baik fisik maupun non fisik maupun kriminalisasi, intimidasi karena ketidaksetujuan orang lain atas dakwah atau ajaran yang mereka sampaikan.
“Jadi penegak hukum punya dasar hukum dan keberpihakan yang jelas, mana pihak yang harus mereka lindungi jika ada penolakan,” kata dia.
3. RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama agar ada upaya hukum, ketika tokoh dan simbol agama mengalami penghinaan

Yusuf menjelaskan perlindungan tokoh agama yang dimaksud dalam RUU ini adalah harus ada aturan hukum yang mencegah pengadangan, intimidasi, dan persekusi kepada ulama, serta tokoh agama di Indonesia.
Tokoh agama yang dimaksud adalah setiap pemuka agama di Indonesia yang mengajarkan nilai-nilai agama dan berceramah di hadapan masyarakat luas. Jadi tokoh agama di sini tak hanya pendakwah yang beragama Islam, tapi juga pemuka agama yang diakui di Indonesia.
Sedangkan perlindungan simbol agama-agama yang dimaksud adalah setiap bentuk kitab suci, citra, gambar, atau tulisan yang berisi kalimat tauhid, salib, lambang lambang agama yang ada di Indonesia, gambar atau tulisan yang bermakna Tuhan, dan juga seluruh rumah-rumah ibadah.
“Selama ini simbol semua agama belum terdefinisikan dengan jelas dan tegas, sehingga ada upaya stigmatisasi negatif bagi yang mengenakannya dan pembiaran ketika simbol agama tersebut dihinakan, hingga dibakar,” tutur Yusuf.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb