Insentif Rp100 Ribu untuk Guru Jaga MBG, P2G: Di luar Kewajiban

- Guru diwacanakan jadi penanggung jawab distribusi MBG dengan pemberian insentif Rp100 ribu per hari oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen).
- Posko Pengaduan P2G menerima 518 guru honorer yang 97 persen belum menerima program bantuan insentif sebesar Rp300 ribu perbulan atau Rp10 ribu perhari yang dijanjikan Presiden, Prabowo Subianto.
- Pelibatan guru dalam distribusi MBG di sekolah sangat mengganggu proses belajar mengajar dan bertentangan dengan UU Guru dan Dosen, menambah beban kerja guru, serta tidak sesuai dengan tugas dan kewajiban guru yang diatur Undang-Undang.
Jakarta, IDN Times - Di tengah berbagai kasus keracunan yang ada, guru diwacanakan jadi penanggung jawan distribusi MBG dengan pemberian instensif Rp100 ribu. Skema ini sudah dibicarakan oleh pihak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen).
Namun Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai hal ini tak sebanding dengan tanggung jawab keracunan siswa yang semestinya bisa dicegah.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan kekhawatiran ke depan guru yang akan disalahkan jika terjadi keracunan karena berstatus penaggung jawab. Selain itu, insentif 100 ribu rupiah perhari menjadi fakta paradoks bagi para guru honorer.
“Dengan memberikan tugas tambahan yaitu sebagai penanggung jawab MBG, tentu ini akan keluar dari rel utama kewajiban guru," kata dia dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).
1. Pertanyakan program bantuan insentif guru honorer

Posko Pengaduan P2G menerima 518 guru honorer yang 97 persen belum menerima program bantuan insentif sebesar Rp300 ribu perbulan atau Rp10 ribu perhari yang dijanjikan Presiden, Prabowo Subianto.
Menurut Iman sangat aneh jika Rp300 ribu perbulan sulit dicairkan untuk guru honorer tapi Rp100 ribu perhari bisa dilaksanakan secepat kilat.
“Jika BGN bisa memberikan insentif 100 ribu perhari untuk guru penanggungjawab MBG, bukankah mudah saja bagi pemerintah jika menggaji guru honorer sebulan 3 juta rupiah? Kenapa malah sulit menambah gizi gurunya?," katanya.
2. Sangat mengganggu proses belajar mengajar

Dia mengungkapkan, pelibatan guru secara teknis dalam distribusi MBG di sekolah sangat mengganggu proses belajar mengajar. Kebijakan alih tanggung jawab MBG menambah beban kerja guru.
Dalam pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebut Beban Kerja Guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan seperti menjadi wakil kepala sekolah, koordinator kokurikuler, dan kepala laboratorium. Mengelola MBG bukan beban kerja guru yang diatur Undang-Undang.
“Bayangkan, pertama MBG datang, guru harus menalikan ulang agar bisa diangkut ke tiap kelas, kemudian guru-guru harus mencicipinya terlebih dahulu, mengawasi agar langsung dimakan murid, dan membereskannya kembali. Jika wadahnya hilang, sekolah justru harus mengganti,” kata Iman.
3. Pengalihan tanggung jawab MBG kepada guru dianggap salahi aturan

Menurutnya pengalihan tanggung jawab MBG kepada guru di sekolah bertentangan dengan UU Guru dan Dosen. Terutama dari segi kewajiban, tugas dan Tanggung Jawab. Menurutnya, tugas dan kewajiban guru adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, hal ini termuat dalam pasal 7 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1.
Begitupun tanggung jawab guru adalah melaksanakan tugas keprofesionalan sebagaimana disebut Pasal 7 dan Pasal 20. Jadi menuurtnya bukan jadinya mengawasi program MBG.