Jimly: Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu karena Hawa Nafsu Peserta

- Diusulkan kewenangan DKPP diperluas untuk menangani etik peserta pemilu
- Harus diakomodir dalam UU dan nama DKPP diubah menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu
Jakarta, IDN Times - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode pertama, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, mayoritas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu disebabkan hawa nafsu peserta untuk memenangkan kontestasi pemungutan suara.
"Dalam setiap hampir semua kasus, pelanggaran etika dari si penyelenggara ini gara-gara hawa nafsunya peserta. Jadi trigger point-nya itu di peserta," kata Jimly dalam acara diskusi yang digelar DKPP, Rabu (11/6/2025).
1. Diusulkan kewenangan DKPP diperluas sehingga bisa tangani etik peserta pemilu

Oleh sebab itu, Jimly menyatakan dukungan agar tugas, fungsi, dan kewenangan DKPP diperluas, yakni bisa menangani perkara etik penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu.
"Maka tidak adil kalau penyelengara diberi sanksi, pesertanya dibiarkan saja," kata dia.
2. Harus diakomodir dalam UU dan nama DKPP diubah

Menurut Jimly, tugas dan fungsi DKPP yang ditambah itu harus diakomodir dalam undang-undang (UU). Selain itu, kepanjangan DKPP juga perlu diubah, dari semula 'Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu' menjadi 'Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu.'
"Idealnya ini harus resmi masuk jadi public policy di undang-undang. Saya setuju sekali, tetap namanya DKPP, cuma kepanjangannya ditambahkan dua huruf, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu sehingga termasuk peserta," kata dia.
3. Sanksi pidana pemilu dan Sentra Gakkumdu tidak fungsional

Jimly tak memungkiri, sebenarnya saat ini sudah ada pihak yang mengawasi peserta pemilu melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang melibatkan berbagai unsur, seperti Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Sentra Gakkumdu ini menjadi pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana pemilu.
Namun menurut Jimly, dalam praktiknya, Sentra Gakkumdu tidak terlalu efektif dan fungsional.
"Walaupun ada sanksi sekarang, yaitu pidana pemilu tapi itu tidak semua harus dipidanakan, apalagi Gakkumdu tidak terlalu fungsional karena terlalu banyak perkara juga," kata dia.
Jimly mengatakan, ada perbedaan dalam menangani perkara jika DKPP diberikan kewenangan menindaklanjuti kode etik penyelenggara dan peserta pemilu. Secara garis besar, penanganan etik bertujuan untuk memberikan sanksi agar memulihkan nama baik dan kepercayaan publik terhadap institusi terkait. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.
Sementara, penanganan perkara dalam pengadilan hukum seperti Sentra Gakkumdu sifatnya retributif, yakni untuk membalas kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan.
Ia pun memprediksi, diperluasnya kewenangan DKPP berpotensi menimbulkan kontroversi. Namun seiring berjalannya waktu, setelah berbagai pihak mendapat banyak manfaat, maka cenderung akan menerima secara perlahan.
"Walupun tentu awalnya kontrovesial dan juga harus hati-hati, yang realistis, jangan terlalu (keras hukumannya), dipecat ya gak bisa. Tapi kalau sanksinya mengimbau, ya, gak apa-apa kan kasih nasehat karena yang namanya etik ini tidak menghukum, beda dengan pengadilan hukum yang retributif, membalas kesalahan," ucap dia.