Kejagung Minta Kortas Tipikor Tangani Kasus Pagar Laut Tangerang

- Kejaksaan Agung temukan unsur korupsi dalam kasus pagar laut Tangerang
- Berkas perkara dari Ditripidum Bareskrim Polri diminta disatukan dengan Kortas Tipikor
- Penyidik Jampidum Kejagung menilai berkas perkara yang diserahkan Bareskrim masih belum lengkap
Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan adanya unsur korupsi dalam kasus pagar laut Tangerang. Oleh karena itu, Kejagung meminta agar kasus ini ditangani Kortas Tipikor Polri.
Direktur Jampidum Kejagung, Nanang Ibrahim Soleh juga meminta agar berkas perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Ditripidum) Bareskrim Polri dijadikan satu dengan Kortas Tipikor.
Hal tersebut menjadi alasan jaksa dua kali mengembalikan berkas perkara pagar laut Tangerang yakni pada 24 Maret dan 14 April 2025.
“Jadi intinya kita kembalikan untuk diteruskan ke Kortas Tipikor. Ke Kortas Tipikor. Apalagi Kortas Tipikor disampaikan kan bahwa dia sedang menangani. Ya, apabila sudah menangani kan minimal bisa dijadikan satu,” kata Nanang di Kejagung, Selasa (16/4/2025).
1. Penyidik Bareskrim tak memenuhi petunjuk jaksa

Penyidik Jampidum Kejagung menilai, berkas perkara yang diserahkan Bareskrim pada Kamis (10/4/2025) masih belum lengkap.
Koordinator Ketua Tim Peneliti Jampidum, Sunarwan mengatakan, tak ada satu pun petunjuk jaksa yang dipenuhi penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengenai unsur tindak pidana korupsi.
“Jadi berkas perkara yang kita terima itu tidak ada perubahan dari berkas perkara yang awal. Tidak ada satu pun petunjuk yang dipenuhi,” kata Sunarwan.
2. Kejagung melihat adanya penyalahgunaan wewenang

Sunarwan menjelaskan, saat pemeriksaan awal berkas perkara, pihaknya menemukan dugaan unsur tindak pidana korupsi. Dalam unsur tersebut, penyidik melihat adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
“Menurut penilaian kita ada (unsur korupsi), karena ada fakta yang didukung dengan alat bukti adanya laut yang kemudian berubah statusnya menjadi milik perorangan dan kemudian menjadi milik perusahaan. Sehingga lepaslah kepemilikan negara atas laut tersebut,” ujar Sunarwan.
Penyalahgunaan wewenang yang dimaksud Surawan itu diduga dilakukan oleh penyelenggara negara. Mulai tingkat kepala desa sampai proses keluarnya sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
“Sehingga di sini ada perbuatan penyelahgunaan kemenangan yang dilakukan oleh penyelenggaran negara. Maka dari itu, kita sampaikan bahwa petunjuk kita adalah ini adalah perkara tindak pidana korupsi,” kata Sunarwan.
3. Bareskrim tidak menemukan adanya unsur tindak pidana korupsi

Sebelumnya, Dittipidum Bareskrim Polri telah menyembalikan berkas perkara pagar laut Desa Kohod ke Kejagung pada 10 April 2025. Penyidik menilai, dalam perkara tersebut tidak ditemukan adanya unsur korupsi.
“Kami sudah membaca dan mempelajari pertunjuk P19 dari Kejaksaan. Penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tidak pidana korupsi,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rharjdjo Puro di Mabes Polri.
Sebelumnya, pada 24 Maret 2025, jaksa mengembalikan berkas perkara 4 tersangka kasus pemalsuan HGB di Desa Kohod. Jaksa meminta agar penyidik Polri menindaklanjuti perkara itu ke ranah tindak pidana korupsi.
Sebab jaksa penuntut umum menganalisis ada sejumlah tindakan melawan hukum dalam penerbitan HGB dan SHM di wilayah laut Desa Kohod itu. Yakni, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dan indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh tersangka.
Jaksa mengindikasikan bahwa penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas perairan laut Desa Kohod digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam pengerjaan proyek pengembangan Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.