Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Usulan Sawit di Papua Picu Polemik, WALHI Kritik Prabowo

Ilustrasi peta Papua. (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi peta Papua. (IDN Times/Sukma Shakti)
Intinya sih...
  • Presiden Prabowo Subianto usulkan penanaman sawit di Papua untuk tekan ketergantungan impor BBM.
  • Usulan tersebut menuai kritik luas karena dianggap tidak sensitif terhadap kondisi lingkungan dan penderitaan masyarakat terdampak bencana.
  • Organisasi lingkungan hidup menilai ekspansi sawit di Papua berisiko memperparah krisis ekologis nasional dan merugikan masyarakat lokal.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Presiden Prabowo Subianto melontarkan usulan penanaman sawit di Papua dalam sidang kabinet paripurna yang digelar pada Senin lalu. Gagasan tersebut disampaikan sebagai bagian dari strategi jangka panjang pemerintah menekan ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Pemerintah menilai target menuju nihil impor BBM dapat dicapai karena Indonesia memiliki potensi sumber EBT yang besar. Namun, pernyataan tersebut langsung memicu polemik luas di ruang publik, terutama karena disampaikan di tengah bencana banjir yang masih melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra.

Banyak pihak menilai usulan itu tidak sensitif terhadap kondisi lingkungan dan penderitaan masyarakat terdampak bencana. Kritik tajam datang dari organisasi lingkungan hidup yang menilai ekspansi sawit di Papua justru berisiko memperparah krisis ekologis nasional.

Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, menyebut pernyataan Presiden Prabowo tidak mencerminkan empati terhadap warga yang terdampak banjir di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara.

"Keinginan untuk membuka sawit dan kebun tebu skala besar di Papua hanya akan memperparah krisis ekologis. Apalagi selama ini rakyat Papua juga telah mengalami perampasan wilayah adat akibat izin-izin yang diterbitkan oleh pengurus negara," ujar Uli dalam keterangan tertulis, Minggu (21/12/2025).

Uli menambahkan, pembukaan lahan berskala besar di Papua sejatinya sudah berlangsung, khususnya di Merauke. Sekitar dua juta hektare lahan telah dibuka dengan dalih ketahanan pangan dan energi, namun dampaknya dinilai sangat merugikan masyarakat lokal.

"Dampak dari pembukaan lahan di Merauke telah dirasakan oleh rakyat. Mulai dari perampasan wilayah adat, hilangnya sumber pangan lokal, banjir, kekerasan bahkan kriminalisasi," tutur dia.

Menurut WALHI, Merauke kini hampir setiap tahun mengalami banjir. Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin parah jika ekspansi perkebunan skala besar terus dilanjutkan.

"Pembukaan hutan untuk sawit dalam skala besar yang telah berlangsung di Sumatra akan diulang lagi di Papua," katanya.

1. Papua telah kehilangan tutupan hutan primer 688 ribu hektare

Banjir Sumatra, hutan
Ilustrasi Hutan di Pulau Sumatra. (Dokumentasi WWF Indonesia)

Berdasarkan data WALHI Papua, wilayah Bumi Cendrawasih telah kehilangan sekitar 688 ribu hektare tutupan hutan primer.

Lebih mengkhawatirkan, pada periode 2022–2023, deforestasi di Papua mencapai 552 ribu hektare hutan alam. Angka tersebut menyumbang sekitar 70 persen dari total deforestasi nasional.

"Jika rencana ekspansi sawit, tebu dan tanaman lainnya atas nama swasembada pangan dan energi tetap dijalankan maka sama artinya pengurus negara akan mengulang bencana ekologis Sumatra di Papua," ujar Uli.

Ia juga mengingatkan bahwa pelepasan emisi dari perubahan hutan akan memperburuk krisis iklim dan meningkatkan risiko cuaca ekstrem.

2. Membuka hutan atas nama menghasilkan energi baru bukan solusi baru

Ilustrasi Biodiesel (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi Biodiesel (IDN Times/Arief Rahmat)

Uli menilai rencana Prabowo membuka hutan demi menanam tanaman yang menghasilkan bio energi bukanlah solusi baru. Rencana itu justru merupakan bagian dari pendekatan pembangunan berbasis ekspansi lahan yang selama ini telah dikritik.

"Pembukaan hutan untuk sawit, tambang, dan proyek ekstraktif lainnya merupakan salah satu penyebab struktural terjadinya krisis lingkungan, termasuk mengurangi kemampuan lanskap untuk menyerap curah hujan ekstrem, memperparah banjir dan merusak sumber penghidupan masyarakat adat serta masyarakat lokal," katanya.

3. Pembukaan hutan untuk ketahanan pangan diyakini tetap bisa tanpa rusak lingkungan

WhatsApp Image 2025-09-10 at 13.26.19.jpeg
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron. (IDN Times/Amir Faisol)

Di sisi lain, anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menyatakan pembukaan hutan untuk ketahanan pangan dan energi tetap dapat dilakukan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Ia mencontohkan proyek Merauke Food and Energy Estate (MIFE) yang sudah berjalan.

Anggota parlemen dari fraksi Partai Demokrat itu mengaku sudah beberapa kali berkunjung ke Merauke. Area hutannya sudah dibuka luas.

"Tentu ini bagaimana secara keilmuwan dengan kajian yang mendalam, memperhatikan bagaimana untuk membuat perkebunan yang bisa selain menghasilkan tujuan negara juga tidak merusak lingkungan. Kan tetap bisa dijaga sustainability-nya. Kan memang begitu konsepnya," kata Herman di Jakarta, Sabtu lalu.

Ia menambahkan, hal serupa juga terjadi di negara-negara maju, di mana mereka juga melakukan pembukaan hutan. Tetapi, zona inti tetap dijaga.

"Tentu semua sudah diperhitungkan dan memenuhi asas-asas ekonomi berkelanjutan," imbuhnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us

Latest in News

See More

CEK FAKTA: Benarkah TNI Temukan Anak Harimau Sumatra Saat Evakuasi?

21 Des 2025, 18:02 WIBNews