Koalisi Gugat Pasal Proyek Strategis Nasional: Celah Pembajakan Regulasi
- PSN disebut nyata rampas hak warga, bukan abstraksi hukum
- Namun sayangnya, sidang uji materi ditunda hingga 25 Agustus 2025
- Frasa “kemudahan dan percepatan PSN” di UU Cipta Kerja disebut juga mengancam hak rakyat dan lingkungan
Jakarta, IDN Times - Koalisi organisasi masyarakat sipil dan sejumlah warga yang tergabung dalam ferakan Rakyat Menggugat PSN (Geram PSN) hadir dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Selasa (19/8/2025).
Dua hari setelah HUT RI-80 delapan organisasi masyarakat sipil dan 13 korban terdampak langsung PSN, termasuk masyarakat adat, petani, nelayan, serta akademisi, menggugat norma-norma yang memberi legitimasi pada kemudahan dan percepatan PSN yang tertuang di dalam UU Cipta Kerja.
Sidang hari ini disebut memperlihatkan dimensi konkret dari permasalahan PSN, karena sejumlah korban langsung hadir di ruang sidang untuk mempertegas dampak yang dialami.
"Mereka antara lain masyarakat adat dari Merauke yang terdampak proyek Food Estate, warga Pulau Rempang di Kepulauan Riau yang terancam penggusuran akibat proyek Rempang Eco City, masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdampak proyek tambang nikel, warga Kalimantan Timur yang terdampak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta masyarakat Kalimantan Utara yang terimbas Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI)," tulis Geram PSN dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Selasa.
1. Sebut PSN bukan abstraksi, tapi nyata rampas hak warga
Kesaksian di sidang MK hari ini menunjukkan dampak PSN bukanlah abstraksi hukum, melainkan kenyataan hidup berupa hilangnya tanah adat dan lahan pertanian, kerusakan ekologis yang mengancam ruang hidup, serta praktik kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek.
Dalam konteks ini, GERAM PSN menegaskan judicial review ini bukan sekadar uji terhadap pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, melainkan juga pengujian atas arah pembangunan nasional ke depan.
"Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi dan keadilan ekologis. Keputusan MK dalam perkara ini akan menentukan apakah pembangunan nasional akan benar-benar berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan hidup, atau justru tunduk pada logika investasi yang mengorbankan hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan masa depan ekologis bangsa," ujar GERAM PSN.
2. Sidang ditunda hingga 25 Agustus 2025
Sidang ke-III uji materi di Mahkamah Konstitusi, 19 Agustus 2025, diwarnai ketidakhadiran DPR. GERAM PSN menilai ini sebagai ketidaksiapan Pemerintah memberi keterangan substansi. Perwakilan kementerian meminta penundaan, sementara warga terdampak gagal menyampaikan pendapat.
Kuasa hukum YLBHI, selaku pendamping warga, menyayangkan sikap abai lembaga negara pada warga terdampak yang telah jauh-jauh datang ke Jakarta. Hakim Konstitusi Suhartoyo akhirnya menunda sidang hingga 25 Agustus 2025.
3. Gugatan Judicial Review sebut kemudahan PSN ancam hak rakyat dan lingkungan

Permohonan judicial review yang diajukan 4 Juli 2025 khusus menggugat norma dalam UU Cipta Kerja yang melegitimasi kemudahan dan percepatan PSN. Ketentuan ini tersebar di UU Kehutanan, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Penataan Ruang, hingga UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Secara substansi, norma itu dinilai menimbulkan kerancuan hukum dan membuka celah pembajakan regulasi. Frasa “kemudahan dan percepatan PSN” bersifat abstrak dan multitafsir, memberi kewenangan berlebihan pada pemerintah untuk meloloskan proyek tanpa pengawasan memadai. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan ini juga berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum” yang memberi dasar hukum bagi pengambilalihan tanah warga, termasuk tanah adat, tanpa perlindungan memadai. Dampaknya berupa penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup, melanggar Pasal 28D dan 28H UUD 1945.
Selain mengancam keberlanjutan pangan dan pertanian, norma ini juga disebut memusatkan kekuasaan pada pemerintah pusat dengan melemahkan fungsi pengawasan DPR, serta mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah pesisir.