Koalisi Sipil Tolak Penulisan Ulang Sejarah RI

- AKSI menolak penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan
- Proyek penulisan ulang sejarah dinilai sebagai upaya rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal
- Pemerintah dianggap ingin mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa
Jakarta, IDN Times - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak keras penulisan ulang sejarah Indonesia, dan mendesak proyek ini dihentikan. Koalisi sipil ini terdiri dari kelompok sejarawan, aktivis, hingga arkeolog.
Hal tersebut disampaikan AKSI saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/5/2025).
“Dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan 'sejarah resmi' Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia,” kata Ketua AKSI Marzuki Darusman saat membacakan pembukaan Manifesto Aksi, Senin (20-5-2025).
1. Koalisi Sipil sampaikan lima poin

Terdapat lima poin penting yang menjadi dasar penolakan AKSI terhadap langkah pemerintah yang mau menulis ulang perjalanan sejarah republik ini. AKSI menilai upaya penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal.
“Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” demikian poin pertama saat dibacakan Marzuki.
2. Tafsir tunggal penulisan ulang sejarah

Dia mengatakan, Kementerian Kebudayaan yang berkehendak melaksanakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia berdasarkan tafsir tunggal.
Dalam lingkup proses rekayasa itu, tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu rekonstruksi sejarah monumental tertentu.
"Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa," kata dia.
3. Isi lima poin penolakan Kaolisi Sipil

Berikut Manifesto AKSI yang dibacakan secara bergiliran:
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan 'sejarah resmi' Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Sikap kami menolak berdasarkan pada pemikiran sebagai berikut:
1. Pernyataan Kementerian Kebudayaan tentang rencana penulisan sejarah Indonesia secara nyata merupakan kehendak sadar untuk melaksanakan suatu proyek masif berupa rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal.
Dalam lingkup proses rekayasa itu tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu bangunan atau rekonstruksi suatu sejarah monumental tertentu. Sejalan upaya mewujudkan visi serupa itu, lahirlah ilusi bahwa pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya itu. Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa.
2. Atas dasar fiksi politik tersebut, pemerintah menggunakan mandat sejaran untuk menegakkan suatu tatanan politik atau orde tertentu, menjadi imperatif dan absah bagi pemerintah untuk meletakkan dan menetapkan secara definitif keseluruhan batasan normatif tentang perilaku, pemikiran, dan pernyataan pendapat masyarakat yang harus berkesesuaian dengan akseptabilitas pemerintah, seperti yang dibentuk dalam citra kesejarahan itu.
3. Spektrum politik seluruh kekuasaan pemerintah digelar dan dilaksanakan, dalam suatu jangkauan politik yang batas-batas terluarnya dibingkai paham otoriterianisme di satu sisi, dan totaliterianisme di sisi lain. Totaliterianisme bukanlah akumulasi otoriterisme; sebaliknya otoriterianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah
4. Seluruh proyek penulisan Sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan adalah sebuah sejarah buatan, yang telah jauh melebihi interpretasi tentang sejarah, yang adalah sumber daya ilham politik dan identitas kebangsaan. Tindakan ini merupakan suatu tindak pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia, dan menghancurkan memori kolektif tentang kapasitas alamiah dan kekuatan bangsa, untuk mengatasi tantangan eksistensialnya.
Sesungguhnya kerakyatanlah yang telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kungkungan kolonialisme, pertarungan ideologisme, dan dominasi otoriterianisme. Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat, sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya.
5. Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia telah menjadi rujukan sejarah dunia, bagaimana pengalaman pahit bangsa Indonesia, sebagai instrumen sejarah yang bertujuan memuliakan kekuasaan; menunjukkan bahwa penggelapan sejarah akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Maka, penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan perlu dihentikan dan ditolak!
Demikian Manifesto AKSI sebagai warga negara yang peduli terhadap keterbukaan penulisan Sejarah Indonesia, yang egaliter dan demokratis.