Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

LSI Denny JA: Pilkada di DPRD Tuai Respons Negatif

Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Intinya sih...
  • LSI Denny JA mencatat 3 isu negatif dalam 100 hari kerja Prabowo
  • Wacana pemilihan kepala daerah DPRD mendapat skor minus 7,9 karena dinilai melemahkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan risiko korupsi
  • Pembentukan kabinet jumbo Merah Putih meraih skor minus 6,8 karena dianggap inefisien, membebani anggaran, dan memicu konflik kepentingan
  • Program penghapusan utang macet UMKM menuai respons negatif dengan angka minus 5,7 karena dinilai memicu moral hazard dan tidak adil bagi debitur yang patuh
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil temuan menjelang 100 hari kepemerintahan Prabowo Subianto pada 28 Januari 2025. Hasilnya, terdapat tiga isu yang mendapat respons negatif responden.

Salah satunya adalah tentang wacana pemilihan kepala daerah DPRD. Dari rentang penilaian minus satu hingga minud sembilan, wacana itu mendapatkan skor minus 7,9.

“Kebijakan ini mendapat kritik tajam karena melemahkan partisipasi langsung masyarakat, meningkatkan risiko korupsi, dan menimbulkan resistensi publik,” kata Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/1/2025).

1. Rakyat merasa kehilangan kendali atas pemimpin

Presiden Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) dan Menko Pangan Zulkifli Hasan (kiri) memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Presiden Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) dan Menko Pangan Zulkifli Hasan (kiri) memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Ardian mengatakan, wacana itu juga mengundang pertanyaan mendasar tentang komitmen pemerintah terhadap prinsip demokrasi.

Selain itu, mekanisme pemilihan melalui DPRD membuka celah yang lebih besar untuk praktik politik transaksional, yang merusak kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan.

“Hak memilih adalah esensi dari kedaulatan rakyat. Ketika hak ini direnggut, rakyat merasa kehilangan kendali atas pemimpin yang akan memengaruhi kehidupan mereka secara langsung,” ujar dia.

2. Kabinet jumbo membebani anggaran

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kedua kiri) bersama Mentan Andi Amran Sulaiman (kiri), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kanan) dan Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) mengikuti sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kedua kiri) bersama Mentan Andi Amran Sulaiman (kiri), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kanan) dan Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) mengikuti sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Isu kedua yang menuai respons negatif adalah pembentukan kabinet jumbo Merah Putih yang meraih skor minus 6,8. Sebab, Kabinet yang terlalu besar dianggap inefisien, membebani anggaran, serta memicu konflik kepentingan jika didasarkan pada hutang budi politik semata.

“Kabinet yang besar tidak selalu mencerminkan kekuatan, melainkan sering kali simbol dari beban. Penambahan kementerian atau pejabat baru tanpa perencanaan yang matang berisiko menciptakan birokrasi yang lamban dan tidak efektif,” kata Adrian.

Ia mengatakan, pembentukan kabinet Prabowo menimbulkan persepsi bahwa pengangkatan dilakukan lebih untuk membayar dukungan politik daripada memenuhi kebutuhan pemerintahan.

“Efisiensi harus menjadi prinsip utama dalam struktur kabinet, untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan menghasilkan manfaat nyata bagi rakyat,” ujar dia.

3. Penghapusan utang macet UMKM yang tidak adil

Presiden Prabowo Subianto (kiri) disaksikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Presiden Prabowo Subianto (kiri) disaksikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan arahan saat memimpin sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (22/1/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Program penghapusan utang macet UMKM yang baru berjalan pun menuai respons negatif dengan angka minus 5,7. Kebijakan ini dinilai memicu moral hazard, mengurangi likuiditas lembaga keuangan, dan tidak adil bagi debitur yang patuh.

“Meskipun niatnya baik untuk membantu UMKM yang kesulitan, kebijakan ini berisiko menciptakan preseden yang salah,” kata Adrian.

Debitur lain kata dia, mungkin merasa bahwa kewajiban finansial dapat diabaikan dengan harapan akan ada penghapusan di masa depan. Ini melemahkan kedisiplinan keuangan dan merugikan lembaga keuangan yang harus menanggung risiko lebih besar.

“Selain itu, kebijakan ini dianggap tidak adil bagi pelaku usaha yang selama ini memenuhi kewajiban mereka meskipun menghadapi kesulitan,” ujarnya.

Dalam survei ini, LSI menggunakan dua pendekatan yaitu LSI Weight Scoring Model dan Aplikasi LSI Internet.

Weight Scoring Model adalah pendekatan evaluasi berbasis bobot, yang dirancang untuk menilai kebijakan secara holistik. Ia dikembangkan banyak peneliti, antara lain, Thomas L. Saat pada tahun 1970-an.

Dengan datangnya teknologi digital dan Artificial Intelligence, LSI Denny JA mengembangkan model ini.

LSI Denny JA memberi porsi proporsional pada lima dimensi utama: dampak strategis, dampak langsung, keberlanjutan, sentimen publik, dan dukungan politik.

Dengan memberi bobot pada setiap aspek, model ini mencerminkan realitas kompleks sebuah kebijakan, baik dari sisi teknokratis maupun persepsi masyarakat.

Keunggulan utamanya terletak pada keadilan evaluasi menggabungkan data kuantitatif dan kualitas dampak.

Inovasi ini, disertai aplikasi digital, menjadikan Weight Scoring Model sebagai alat yang revolusioner, membuka wawasan baru dalam membaca keberhasilan atau kegagalan pemerintahan di era modern.

Model pertama menentukan ranking program positif melalui kriteria berbobot yang mencakup dampak strategis 30 persen, dampak langsung 25 persen keberlanjutan dan efisiensi 20 persen, sentimen publik 15 persen, serta dukungan politik dan internasional 10 persen

Setiap kebijakan diberi skor satu sampai sembilan. Nilai sembilan untuk skor paling positif.

Kriteria dipilih berdasarkan relevansi isu terhadap tantangan nasional seperti stunting, ketahanan pangan, dan reformasi pendidikan. Bobot ditetapkan untuk memastikan keadilan dalam mengevaluasi dampak langsung dan strategis, serta sentimen publik.

Model kedua menganalisis frekuensi serta sentimen percakapan daring antara 20 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025.

Kombinasi metodologi ini memberikan gambaran kuantitatif dan kualitatif terhadap program yang dievaluasi.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irfan Fathurohman
EditorIrfan Fathurohman
Follow Us