Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pemilu dan Pilkada Serentak Dinilai Bikin Kartel Politik Menguat

Ilustrasi. KPU RI gelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai, pemilu serentak seperti yang diselenggarakan pada 2024 ini, berdampak pada menguatnya kartel politik. Salah satu dampaknya, semakin sedikitnya kandidat yang maju di pilkada.

“Ada satu yang tidak orang bicarakan, tetapi punya efek luas sebagai pemilih, ketika pilkada diadakan di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg, terutama setelah pilpres, yaitu menguatnya kartel politik,” kata Burhanuddin acara Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang digelar Perludem di Jakarta.

“Jadi saya sudah hitung, rata-rata kandidat yang maju di Pilkada 2024 itu rendah, bahkan rata-rata yang maju dalam pilkada gubernur, bupati, walikota itu di angka 6 sekarang tinggal 2,8,” tuturnya. 

1. Kandidat yang maju minim akibat kartel politik

Ilustrasi kotak suara di Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuka pintu seluas-luasnya bagi para calon peserta pilkada, dengan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Bahkan MK juga memberikan waktu sembilan hari sebelum penutupan pendaftaran. 

Burhanuddin menilai, desain keserentakan pilkada setelah pilpres bedampak negatif karena parpol ingin punya insentif kabinet atau pos strategis di kementerian dengan mengorbankan elektoral di pilkada.

“Di dalam kasus kita, di pilkada sudah terjadi kartel dan itu merugikan kita karena kita dipaksa memilih calon yang terbatas,” jelas dia. 

Selain itu, fenomena ini juga diperkuat dengan menurunnya paslon jalur independen di pilkada, bahkan muncul fenomena kotak kosong. Kemudian dampak lainnya, surat suara tidak sah meningkat karena kekecewaan masyarakat terhadap pilkada. 

“Maka keserentakan harus didiskusikan, apakah diundur dua tahun setelah pilpres? Kalau bisa jangan setelah pilpres, karena kalau setelah pilpres itu umumnya bicara jangka pendek, mereka ingin kompensasi kekuasaan dengan memenangkan kompetisi elektoral,” imbuh dia.

2. Pemilu tingkat nasional dan daerah diusulkan dipisah, ada jeda 2 tahun

KPU RI menggelar simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada Serentak 2024 di Maros, Sulawesi Selatan pada Minggu (15/9/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan mengusulkan agar ke depannya pemilu di tingkat nasional dan daerah bisa dipisah.

Menurutnya, sistem pemilu tersebut jauh lebih efektif ketimbang diselenggarakan serentak sebagaimana yang dilaksanakan pada 2024. Di mana pilpres dan pileg digelar bersamaan dengan pilkada di tahun yang sama.

Djayadi menjelaskan, idealnya mekanisme gelaran pemilu dan pilkada dipisah rentang waktu dua hingga tiga tahun.

Akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu memberikan contoh, misalnya Pilpres dan Pileg digelar 2024. Maka pilkada tingkat gubernur akan digelar 2026 dan tingkat kabupaten/kota diselenggarakan 2027.

3. Keuntungan pemilu dan pilkada dipisah hingga dua tahun

KPU gelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 di Maros, Sulsel (15/9/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Selain mengurangi beban pemilu, Djayadi menjelaskan, masyarakat bisa fokus pada isu di masing-masing tingkatan. 

"Misalnya, pemilu di DPRD kabupaten/kota itu digabungkan dengan pemilu nasional, maka isu-isu di kabupaten/kota tidak akan muncul, muncul hanya isu-isu di tingkat nasional saja, tidak ada perhatian isu di daerah," tutur Djayadi.

Lebih lanjut, ia meyakini dipisahnya pemilu dan pilkada bisa membuat pemerintah pusat dan daerah lebih efektif. Calon kepala daerah yang ingin maju di pilkada setelah pilpres tentu akan berusaha menyamakan visi dan misi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us