Pemuda Katolik Imbau Penyusunan RUU Penyiaran Harus Partisipatif

- Ketua PP Pemuda Katolik soroti RUU Penyiaran yang dianggap membatasi kebebasan pers.
- Proses perumusan regulasi harus melibatkan insan pers dan adaptif terhadap beragam perspektif.
- Poin RUU Penyiaran disoroti karena dapat membatasi liputan investigasi dan mengekang media oleh parlemen.
Jakarta, IDN Times - Ketua Umum PP Pemuda Katolik, Stefanus Gusma, menyoroti polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang belakangan menuai polemik karena dianggap membatasi kebebasan pers.
Gusma menilai, substansi yang hendak diatur dalam regulasi ini dikhawatirkan dapat mengganggu mekanisme jurnalisme yang sudah berjalan baik.
1. Penyusunan RUU Penyiaran harus libatkan insan pers

Ia berpendapat, proses kerja penyusunan RUU ini harus partisipatif dan deliberatif. Termasuk harus melibatkan insan pers dalam perumusannya.
"Semestinya proses perumusan regulasi ini melibatkan banyak pihak dan adaptif terhadap beragam perspektif, sebab substansi yang kini beredar di publik relatif memuat pengaturan yang destruktif," kata Gusma dalam keterangannya, Sabtu (18/5/2024).
2. Negara tak boleh intervensi kerja jurnalistik

Gusma mengatakan, negara tidak boleh terlalu mengatur bahkan melarang arah jurnalisme yang kini berkembang. Apalagi ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik.
"Negara tidak perlu melarang genre jurnalistik apa pun, misalnya jurnalisme investigatif yang diperbincangkan orang banyak. Berbagai produk jurnalistik seperti jurnalisme investigasi yang dihadirkan insan pers adalah bukti demokrasi Indonesia semakin maju dan matang. Banyak contoh jurnalistik investigasi berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik,” ujar Gusma.
Selain membatasi liputan investigasi, poin RUU Penyiaran yang disorot ialah peralihan penanganan permasalahan jurnalisitk yang sebelumnya ditangani Dewan Pers diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Bagaimanapun juga, selama ini pihak yang punya kuasa atas karya jurnalistik di Indonesia adalah Dewan Pers dan kinerja mereka sejauh ini sangat optimal dengan konstruksi kelembagaan dan kewenangan yang ada," tegas Gusma.
3. Indikasi parlemen berupaya kekang media

Lebih lanjut, Gusma menilai proses politik RUU Penyiaran oleh DPR menggambarkan indikasi jelas tentang upaya parlemen mengekang media. Parlemen sebagai wakil rakyat semestinya tidak mengekang jurnalisme melalui substansi yang ada dalam RUU.
"Jangan lupa, berkat kerja keras pers, kerja-kerja baik parlemen juga dapat diketahui publik. Skandal yang merugikan anggaran negara pun dapat diketahui publik sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama. Pers adalah bagian dari rakyat, yang berhak menjalankan fungsi check and balance," sambungnya.
Untuk itu, Gusma berharap penataan kewenangan dalam RUU ini tidak menimbulkan tumpang tindih antarlembaga. Dibutuhkan keterlibatan banyak lembaga dalam memproses RUU tersebut.
"Konstruksi tata kelola pers Indonesia harus dibangun dalam pola kerja kolaboratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Pers sebagai pilar keempat demokrasi harus tetap kuat dan independen, namun bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok tertentu," imbuhnya.