Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Penulisan Sejarah Versi Fadli Zon Dinilai Pakai Perspektif Pelaku

Fadli Zon
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)
Intinya sih...
  • Singgung nilai Pancasila Eva menekankan, nilai-nilai kesetaraan dan gotong royong dalam Pancasila seharusnya menjadi dasar proyek kebudayaan.
  • Penulisan ulang sejarah bisa perkuat budaya impunitas dan eksklusivitas, gagal memahami tugas kultural yang adil dan menyeluruh.
  • Dianggap ingin putihkan kesalahan, narasi sejarah resmi kerap menjadi sarana untuk memutihkan kesalahan masa lalu.

Jakarta, IDN Times – Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diprakarsai Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kritik dari sejumlah pihak. Dua di antaranya adalah aktivis perempuan Eva Sundari dan sejarawan Andi Achdian, yang menyebut proyek ini bermasalah secara etis dan metodologis, serta dianggap mengabaikan kelompok korban, khususnya perempuan.

Menurut Eva Sundari, pendekatan dalam penulisan sejarah tersebut justru menyingkirkan suara para korban dan cenderung mengedepankan sudut pandang pelaku sejarah. Ia menilai hal itu tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar dalam Pancasila.

“Penulisan sejarah ini kok perspektifnya perspektif pelaku, bukan perspektif korban. Dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” ujar Eva kata dia dalam jumpa pers yang digelar Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia secara daring, Selasa (17/6/2025).

1. Singgung nilai Pancasila

Eva Sundari
Aktivitas Perempuan, Eva Sundari (Youtube.com/Koalisi Perempuan Indonesia)

Eva menekankan, nilai-nilai seperti kesetaraan dan gotong royong yang terkandung dalam Pancasila seharusnya menjadi dasar dalam setiap proyek kebudayaan. Ia mengkritik pengabaian terhadap kelompok perempuan yang menjadi korban dalam berbagai peristiwa sejarah.

“Kalau perempuan itu dinafikan, artinya ada kesalahan epistemik yang fatal,” ucap dia.

Eva secara langsung menyentil peran Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan. Menurut Eva, tanggung jawab menteri adalah memulihkan martabat nasional yang di dalamnya termasuk perempuan korban kekerasan masa lalu.

“Menteri Kebudayaan itu harus mengembalikan martabat bangsa, dan di dalam bangsa itu ada perempuan korban. Bukan malah membungkam, menghindari, dan menghilangkan,” kata dia.

2. Penulisan ulang sejarah bisa perkuat budaya impunitas dan ekslusivitas

Eva Sundari
Aktivitas Perempuan, Eva Sundari (Youtube.com/Koalisi Perempuan Indonesia)

Eva menyebut, proyek ini berpotensi memperkuat budaya impunitas dan eksklusivitas. Ia menilai pemerintah gagal memahami tugas kultural yang seharusnya dilakukan secara adil dan menyeluruh.

“Sudah budaya impunitas dikuatkan, sekarang budaya eksklusivitas juga dikuatkan,” kata dia.

Eva kemudian menyarankan agar Fadli Zon diganti bila tidak bisa menjalankan amanat Undang-Undang Kebudayaan dengan semangat pemulihan dan keadilan.

“Kalau Mas Fadli Zon enggak mampu karena ini proyek pribadi, ya diganti dong,” ujar dia.

3. Dianggap ingin putihkan kesalahan

Andi achdian
Sejarawan Andi Achdian (Youtube.com/Koalisi Perempuan Indonesia)

Dalam kesempatan itu, Andi Achdian menyampaikan penolakan atas proyek penulisan sejarah ini. Ia menilai narasi sejarah resmi yang dibuat negara kerap menjadi sarana untuk memutihkan kesalahan masa lalu.

“Apa yang kita khawatirkan itu terjadi, terbukti dari pernyataan-pernyataan Menteri Kebudayaan sekarang,” kata Andi.

Andi menilai proses ini terlalu tergesa-gesa dan hanya didasarkan pada pendekatan teknis tanpa pertimbangan etika dan moral yang mendalam. Ia menekankan pentingnya konsensus luas sebelum sejarah nasional ditulis ulang.

“Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas. Itu yang tidak ada dalam rencana kementerian ini,” imbuhnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us