Perhimpunan Advokat Perjuangkan Hak Imunitas Profesi di RUU KUHAP

- DPN PERADI mengusulkan imunitas profesi advokat sebagaimana yang ditetapkan terhadap anggota Polri dalam RUU KUHAP.
- Luhut Pangaribuan meminta agar advokat yang melanggar hukum diperiksa secara etik terlebih dahulu, bukan langsung pidana.
- Praktisi Hukum Maqdir Ismail mengusulkan agar penegak hukum tidak menahan para tersangka atau terdakwa sebelum ada putusan pengadilan.
Jakarta, IDN Times - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) mengusulkan agar advokat mendapat imunitas profesi sebagaimana yang ditetapkan terhadap anggota Polri dalam RUU KUHAP.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Peradi Luhut Pangaribuan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI membahas RUU KUHAP, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
"Ini rumusan kami yang konkret, yaitu imunitas profesi advokat. Agar dimasukkan juga dalam RUU KUHAP," ucap Luhut.
1. Advokat yang langgar UU diperiksa etik dulu

Luhut meminta agar seluruh advokat yang melanggar Undang-Undang dan etik Advokat untuk tidak langsung diperiksa secara pidana. Menurutnya, advokat yang melanggar hukum diperiksa secara etik terlebih dahulu.
"Apabila advokat ketika menjalankan profesinya melanggar Pasal 16 Undang-Undang Advokat, maka advokat itu diajukan terlebih dahulu dan atau diperiksa terlebih dahulu oleh Dewan Kehormatan," ujar dia.
2. Ungkit kasus Sambo yang duperiksa etik dulu

Pada kesempatan itu, dia lantas menyinggung kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Diketahui, Sambo terbukti membunuh ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dalam perkara ini, Ferdy Sambo telah divonis hukuman seumur hidup dan tengah menjalani masa tahanan.
"Misalnya Sambo, sudah ketahuan nembak orang. Kan dibawa ke etik dulu kan, baru kemudian dibawa pidana kan gitu. Jadi tidak kemudian ujuk-ujuk pidana, padahal sudah nembak mati kan itu polisi-polisi itu dan lain sebagainya," ucap dia.
Luhut juga menginginkan DPR RI melalui Komisi III menganggagap organisasi advokat sebagai Bar Association, bukan sekadar organisasi biasa.
"Rumusan ini adalah ekuivalen dengan prosedur dugaan pelanggaran oleh penyidik Polri saat ini," kata dia.
3. Maqdir Ismail usul tersangka ditahan usai vonis

Sementara itu, Praktisi Hukum Maqdir Ismail menyampaikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) kepada Komisi III. Ia mengusulkan agar penegak hukum tidak menahan para tersangka atau terdakwa sebelum ada putusan pengadilan.
"Penahanan itu boleh dilakukan sesudah ada putusan kecuali, ada kecualian misalnya terhadap orang-orang yang tidak terang alamatnya tidak jelas pekerjaannya," kata dia.
Pengacara Sekjen Hasto Kristiyanto itu juga mengusulkan para tokoh politik yang memang pada dasarnya sangar jelas untuk di-tracking, maka tak perlu dilakukan penahanan sebelum ada putusan apalagi belum ada bukti.
"Orang-orang yang jelas tokoh politik rumahnya jelas gampang melihatnya mestinya tidak perlu kita lakukan penahanan apalagi belum ada bukti yang sangat substansial bahwa orang ini sudah melakukan kejahatan," kata dia.
Selain itu, kalau Indonesia mau meniru KUHAP yang dipercayai oleh Belanda ada istilah yang disebut financial penalty act 1983. Seseorang yang menjadi tersangka, maka dia mempunyai hak untuk datang kepada jaksa bersama-sama menghadap hakim agar dia tidak diadili dengan cara dia membayar denda kepada negara. Denda tersebut selain yang diwajibkan di dalam putusan nanti.
"Atau misalnya karena kesalahannya dia melanggar apa dan itu menimbulkan denda maka denda itu akan dia bayar selain itu ada kewenangan negara untuk menjatuhkan hukuman denda kepada dia yang lebih besar lagi," kata dia.