Putusan MK Bukan Obat, Pakar Desak DPR Kebut RUU Pemilu

- Putusan MK 135 berimplikasi langsung terhadap pelaksanaan pemilu di tingkat daerah, termasuk pengisian jabatan transisi dan mekanisme pendanaan.
- Usul agar DPRD dan Kepala Daerah diperpanjang masa jabatannya dari pemilu 2024 sampai dengan ada pejabat definitif hasil pemilihan 2031.
- Pembiayaan pemilu lokal bersumber dari APBN untuk menjamin keseragaman standar pendanaan dan mendorong kaderisasi politik.
Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mendesak agar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal segera ditindaklanjuti melalui pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu. Ia menegaskan, putusan MK bukan solusi tunggal untuk mengatasi kompleksitas persoalan pemilu di Indonesia.
Hal itu disampaikan Titi Anggraini dalam diskusi daring bertajuk Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
“Ketika kita bicara pemilu DPRD pascaputusan MK 135 tentang pemisahan pemilu, yang pertama ya tentu saja harus segerakan pembahasan RUU Pemilu. Karena putusan MK itu bukan obat bagi semua persoalan pemilu kita," kata Titi Anggraini.
1. Putusan MK 135 berimplikasi langsung terhadap pelaksanaan pemilu

Titi menekankan, pembaruan undang-undang pemilu sudah mendesak karena regulasi yang digunakan saat ini, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, belum pernah diubah sejak Pemilu 2019. Padahal, beberapa bagian dari UU tersebut sudah tidak relevan dan ada sebagian yang dibatalkan MK.
Ia mengatakan, putusan MK 135 berimplikasi langsung terhadap pelaksanaan pemilu di tingkat daerah, termasuk pengisian jabatan transisi dan mekanisme pendanaan. Dia menjelaskan, terdapat lima undang-undang yang harus disesuaikan karena berimplikasi dengan putusan MK, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, serta UU Pemerintahan Aceh.
“Maka ada sejumlah undang-undang yang ikut terdampak, yang memerlukan penyelarasan, penyesuaian dan juga penataan pasca putusan MK 135 tentang pemisahan pemilu," ungkap Titi.
2. Usul agar DPRD dan Kepala Daerah diperpanjang

Dalam diskusi itu, Titi turut menyoroti pentingnya untuk merumuskan mekanisme pengisian jabatan DPRD dan kepala daerah pada masa transisi antara pemilu 2024 dan pelaksanaan pemilu daerah berikutnya pada 2031. Ia mengusulkan agar masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil pemilu 2024 diperpanjang sampai terpilih pejabat definitif hasil pemilu daerah 2031.
Ia tidak setuju bila mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah karena prosesnya dilakukan dalam ruang-ruang gelap, yang tak bisa diakses.
"Kalau boleh mengusulkan di antara banyak pilihan lain, apakah pemilu sela, penjabat, maka usulan yang mengedepankan asas manfaat, legitimasi, dan proporsionalitas perlakuan adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil pemilihan 2024 sampai dengan ada pejabat definitif," tambahnya.
3. Pembiayaan pemilu lokal bersumber dari APBN

Selain itu, Titi mengusulkan agar pembiayaan pemilu daerah, baik untuk DPRD maupun kepala daerah, dibebankan sepenuhnya pada APBN. Hal itu dinilai lebih efisien dan menjamin keseragaman standar pendanaan. Termasuk mendorong penghapusan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk mendorong kaderisasi politik dan mencegah dominasi partai besar.
“Supaya partai itu berkeringat begitu ya untuk memenangkan DPRD dan juga Pilkada. Juga untuk optimalisasi kaderisasi dan rekrutmen politik demokratis," kata dia.
Merujuk pada pertimbangan hukum MK dalam putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menyebut perlunya rekayasa konstitusional agar kompetisi politik lebih terbuka dan inklusif.
"Partai terdorong untuk mencalonkan kader-kader terbaiknya untuk Pilkada karena ambang batasnya dihapus sehingga bisa berkontribusi pada perolehan atau pemenangan kursi partai," sambungnya.
Meski demikian, Titi menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Penghormatan terhadap putusan MK merupakan bagian penting dari konsolidasi demokrasi dan kepastian hukum pemilu.
“Penghormatan terhadap putusan MK dan terus mengawal MK supaya independen begitu ya, itu menjadi satu kewajiban yang melekat juga pada kita," kata dia.
Diketahui, MK memerintahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dipisah. Keputusan itu termaktub dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Pemilu nasional berarti ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.