Satu dari Empat Perempuan Mengalami Kekerasan, Kendala Data Masih Terpecah

- Satu dari empat perempuan usia 15–64 tahun alami kekerasan fisik atau seksual. Data masih terpecah di berbagai lembaga, menghambat kebijakan perlindungan yang efektif dan berbasis bukti.
- Tahun 2024 tercatat 35.533 kasus kekerasan terhadap perempuan, naik 2,4 persen. Kekerasan seksual dan KDRT mendominasi, dengan korban terbanyak berasal dari kalangan pelajar dan remaja.
- Kemen PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL perpanjang kerja sama sinergi data 2024–2029, integrasikan SIMFONI PPA, SintasPuan, dan Titian Perempuan untuk perkuat sistem perlindungan perempuan.
Jakarta, IDN Times - Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual.
Kasus lebih banyak ditemukan di wilayah perkotaan, terutama pada perempuan berpendidikan tinggi dan yang bekerja. Namun, data masih tersebar di berbagai lembaga, sehingga menyebabkan fragmentasi dan ketidakkonsistenan, yang akhirnya menyulitkan penyusunan kebijakan perlindungan yang tepat sasaran.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan data tersebut harus dibaca secara kritis.
“Data ini adalah fenomena gunung es. Hanya sebagian kecil yang tampak dan tercatat. Banyak faktor, mulai dari budaya, cara pandang, hingga stigma masyarakat yang membuat korban enggan melapor. Karena itu, sinergi data ini sangat penting untuk mendekatkan kita pada gambaran yang lebih nyata mengenai kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,” ujarnya, dikutip Selasa (7/10/2025).
1. Peningkatan laporan kekerasan dipandang positif

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor menyampaikan, peningkatan laporan kekerasan perlu dipandang secara positif. Hal ini mencerminkan semakin banyak perempuan berani melaporkan pengalaman kekerasan, sekaligus menunjukkan tumbuhnya kepercayaan terhadap mekanisme perlindungan yang tersedia.
"Pada saat yang sama, data ini juga mengingatkan kita bahwa tantangan perlindungan perempuan masih sangat besar, mulai dari budaya patriarki, hambatan struktural, hingga keterbatasan hukum dan implementasinya,” kata dia.
2. Ada 35 ribu laporan kekerasan perempuan tercatat sepanjang 2024

Sepanjang Januari hingga Desember 2024, tercatat 35.533 laporan kekerasan terhadap perempuan, meningkat 2,4 persen dibanding tahun sebelumnya.
Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta jadi wilayah dengan kasus tertinggi, sementara daerah 3T menghadapi kendala pelaporan akibat keterbatasan infrastruktur dan pendampingan.
Korban paling banyak berasal dari kelompok anak dan remaja (46,38 persen), disusul perempuan muda dan dewasa (41,10 persen). Berdasarkan aktivitas, pelajar menempati posisi tertinggi (40,26 persen), diikuti perempuan bekerja (19,47 persen) dan ibu rumah tangga (18,86 persen).
Jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual (12.398 kasus) dan kekerasan dalam rumah tangga (7.587 kasus). Selain itu, terdapat 489 kasus perdagangan orang (TPPO) serta peningkatan signifikan kekerasan berbasis gender online (2.866 laporan), hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Laporan juga menyoroti kerentanan perempuan dengan disabilitas, pekerja seks, pekerja migran, dan kelompok marginal lainnya.
3. Lanjutkan kerja sama sinergi data

Komnas Perempuan, Kemen PPPA, serta Forum Pengada Layanan (FPL) menggelar Diseminasi Laporan Sinergi Data Kekerasan terhadap Perempuan, Periode Data Tahun 2024. Ini menjadi langkah upaya perkuat sistem pendataan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
Menjawab tantangan tersebut, Kemen PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL memperpanjang kerja sama strategis melalui Kesepakatan Bersama tentang Sinergi Data dan Pemanfaatan Sistem Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan untuk periode 2024–2029.
Kolaborasi yang pertama kali dibentuk pada 2019 ini berupaya mengintegrasikan tiga sistem pendataan: SIMFONI PPA (Kemen PPPA), SintasPuan (Komnas Perempuan), dan Titian Perempuan (FPL) berdasarkan prinsip interoperabilitas data.