Soal Raperda Penataan Wilayah, Rano Karno: Kebutuhan Aparatur Terdampak

- Penataan wilayah harus ada kepastian hukum, pemprov DKI Jakarta siap memastikan strategi komunikasi publik yang efektif.
- Penataan wilayah kepulauan seribu perhatikan letak geografis untuk meningkatkan keterjangkauan pelayanan publik yang lebih merata.
Jakarta, IDN Times - Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Rano Karno, menghadiri Rapat Paripurna menyampaikan jawaban atas pandangan legislatif terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pembentukan, Pengubahan Nama, Batas, serta Penghapusan Kecamatan dan Kelurahan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Rabu (19/11/2025).
Rano mengatakan, pemekaran wilayah dengan jumlah penduduk tinggi akan berdampak terhadap kebutuhan aparatur kelurahan maupun kecamatan. Menurut dia, rasio aparatur akan mengikuti jumlah penduduk sebagai bagian dari upaya evaluasi kapasitas pelayanan publik.
“Wilayah dengan jumlah penduduk yang tinggi akan memiliki rasio aparatur yang tinggi pula terhadap jumlah penduduk,” kata dia.
1. Penataan wilayah harus ada kepastian hukum

Terkait masa transisi penataan wilayah, Rano mengatakan, eksekutif sepaham dengan Fraksi Gerindra, PAN, dan PKS, yakni perlu ada kepastian hukum bagi masyarakat serta upaya menjaga kelancaran layanan publik.
"Pemprov DKI Jakarta pun siap memastikan adanya strategi komunikasi publik yang efektif," kata dia.
2. Penataan wilayah Kepulauan Seribu perhatikan letak geografis

Perihal Kepulauan Seribu, beberapa fraksi meminta adanya pengaturan khusus. Rano mengatakan, penataan di wilayah tersebut akan memperhatikan karakteristik geografis.
“Ini bertujuan meningkatkan keterjangkauan pelayanan publik yang lebih merata,” ujar Rano.
3. Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 3 Tahun 2004 belum bisa dilakukan

Sementara, rekomendasi Fraksi Gerindra soal pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 3 Tahun 2004, menurut Rano pencabutan belum dapat dilakukan.
Hal itu karena Peraturan Pemerintah sebagai dasar penataan wilayah masih dalam proses pembahasan oleh pemerintah pusat.
"Jika dipaksakan, lanjutnya, kebijakan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan kekosongan hukum," ucap dia.
















