Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tommy, Titiek, dan Jejak Politik Trah Cendana

SOEHARTO. Presiden Soeharto bersama istri, Tien Soeharto, merayakan Hari Kesaktian Pancasila pada 1981. Foto dokumentasi Soeharto.co
SOEHARTO. Presiden Soeharto bersama istri, Tien Soeharto, merayakan Hari Kesaktian Pancasila pada 1981. Foto dokumentasi Soeharto.co

JAKARTA, Indonesia—Dua dekade yang lalu, tepatnya pada 21 Mei 2018, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Lewat pidato singkat di Istana Negara sekira pukul 09.00 WIB, pria yang kerap dijuluki The Smiling General itu menegaskan tak mungkin lagi meneruskan jabatannya di tengah kencangnya aspirasi masyarakat yang menuntut reformasi dan pergantian rezim.  

“Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia,” ujar Soeharto ketika itu. 

Usai lengser keprabon, kekuatan politik Soeharto dan keluarga Cendana meredup. Sejumlah badai politik melanda trah Cendana dan Partai Golkar selaku partai yang dibesarkan oleh Orde Baru pimpinan Soeharto. Golkar bahkan sempat terancam bubar jika tidak ‘diselamatkan’ oleh mantan Ketua DPR RI Akbar Tanjung. Golkar bisa selamat karena mengambil jarak dengan keluarga Cendana. 

Di sisi lain, pasca-Soeharto, kekuatan politik keluarga Cendana terus digembosi. Di jalur hukum, Soeharto terus diburu lewat kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dan keluarganya. Kasus-kasus dugaan korupsi yang terkait Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga didorong agar masuk ke meja hijau. Ketika itu, putra sulung Soeharto itu ditenggarai terlibat sejumlah praktik lancung, salah satunya kasus korupsi Bulog. 

Namun bukan kasus korupsi yang akhirnya menjerat Tommy. Pada 2002, Tommy dijebloskan ke penjara karena terbukti mendalangi pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Sedangkan Soeharto yang sakit-sakitan praktis hanya menunggu ajal menjemputnya tanpa bisa mempertahankan kekuatan politiknya yang terus tergerus. Pada Januari 2008, Soeharto menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah lama didera penyakit. 

 

Politik putra-putri Soeharto

Sebelumnya sejumlah anak Suharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Suharto sempat muncul di panggung politik pascareformasi. Keluar dari Golkar, Tutut sempat menggunakan kendaraan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) untuk mempertahankan trah Cendana di pusaran kekuasaan. Namun, pada Pemilu 2004, PKPB hanya meraih 2,11%. Pada Pemilu 2009, raihan suara PKPB terus turun dan hanya mampu meraup 1,40% suara. 

Pada 2006, Tommy Soeharto yang baru saja menghirup udara bebas ikut terjun ke dunia politik. Tommy tercatat aktif sebagai kader Golkar. Pada 2011, Tommy kemudian mendirikan Partai Nasional Republik (Nasrep) dan mencoba peruntungannya di Pemilu 2014. Namun, Nasrep gagal melewati tahap verifikasi pemilu KPU. Nasib serupa juga dialami Partai Karya Republik (PAKAR) yang didirikan cucu Soeharto, Ari Haryo Wibowo Hardjojudanto atau Ari Sigit. 

Baru pada 2016, nama keluarga Cendana kembali ke panggung politik Indonesia. Adalah Titiek Soeharto yang menyegarkan ingatan publik akan kekuatan politik Cendana. Titiek terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar dari daerah pemilihan Jogjakarta, tempat kelahiran Soeharto. Di masa kepemimpinan Setya Novanto, putri kedua Soeharto itu bahkan mendapat jabatan strategis di Golkar, yakni sebagai wakil ketua Dewan Pakar Golkar. 

Tahun lalu, saat Golkar tengah diguncang badai politik akibat ditetapkannya Novanto sebagai tersangka dalam kasus proyek KTP elektronik, nama Titiek juga sempat mengemuka sebagai calon pengganti Novanto. Meskipun akhirnya nahkoda Golkar diambil alih oleh Airlangga Hartarto, Titiek tetap diperhitungkan sebagai kekuatan politik di tubuh partai berlambang pohon beringin itu. Maret lalu, Airlangga menempatkan Titiek sebagai wakil ketua MPR menggantikan Mahyudin. 

Meskipun tak pernah benar-benar terbuka mengenai hasrat politiknya, dalam berbagai kesempatan, Titiek selalu membanggakan zaman keemasan Orba saat ayahnya memimpin. "Dalam masa kepemimpinan Bapak Soeharto, bangsa kita telah melaksanakan pembangunan yang terarah dan terukur dengan adanya GBHN. Situasi politik terkendali, ekonomi tumbuh, kebudayaan berkembang baik serta keamanan terjaga," kata Titiek dalam bulan HM Soeharto yang digelar di Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII), Jakarta, Maret lalu.

 

Ambisi Tommy

Berbeda dengan Titiek, hasrat politik ‘melanjutkan trah Soeharto’ ditunjukkan terang-terangan oleh Tommy. Setelah gagal membawa Partai Nasrep ke pusaran kekuasaan, Tommy kembali muncul dengan kendaraan politik lain. Bersama tokoh-tokoh politik sepemikiran, Tommy mendirikan Partai Berkarya pada 2016 dan meloloskannya menjadi peserta Pemilu 2019. Dalam pidato politik perdananya sebagai Ketum Partai Berkarya, Tommy menegaskan target berada di jajaran tiga besar partai penguasa Senayan.

Sebelum dipilih jadi ketum, Tommy sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya. Posisi ketua umum sebelumnya diduduki oleh Neneng Anjarwaty Tuti. Meskipun harus mengestafetkan jabatan, Neneng mengaku tak ada rasa sesal. “Kalau dipimpin Pak Tommy Soeharto partai ini akan besar. Kita harus berjuang parliamentary threshold 4 persen. Kita bisa kuasai parlemen, seperti keinginan pak Ketua Dewan Pembina," ujarnya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-III Berkarya di Solo, Jawa Tengah, Maret lalu.

Tommy mengaku mendirikan Berkarya untuk menggelorakan kembali nilai-nilai Orba yang diusung Soeharto pada masa kepemimpinannya. “Rakyat Indonesia merindukan kepemimpinan Soeharto. Kami telah melalui 20 tahun reformasi, tetapi situasinya belum membaik. Utang nasional kita telah meningkat, dan kondisi kehidupan rakyat kita belum membaik secara signifikan,” ujar Tommy seperti dikutip Al Jazeera. 

Sekadar rindu Orba

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun mengatakan, keberadaan Partai Berkarya hanya sekadar obat rindu bagi sebagian kelompok masyarakat yang masih mengidolakan Soeharto. Ia pesimistis, Berkarya bakal bisa berbicara banyak dalam Pemilu 2019. Terlebih, menurut dia, loyalitas kader Berkarya utamanya lahir karena kemampuan Tommy untuk menyiapkan 'bensin' bagi partai. 

"Saya lihat kebanyakan Partai Berkarya itu tak punya ideologi tapi punya materi. Nah, mereka diberikan modal uang itu, jika patron partai masih bisa memastikan aliran dana bisa jalan sampai tahap bawah itu, saya pikir loyalitas tetap jalan," kata Ubedillah seperti dilansir CNN.com.

Pada 2016, nama Tommy Soeharto tercatat berada dalam daftar ‘150 Orang Terkaya Asia’ versi The Globe Asia. Diperkirakan, Tommy menyimpan kekayaan hingga mencapai puluhan triliun rupiah di luar negeri. Wajar saja jika Tommy bisa dengan mudahnya gonta-ganti mendirikan partai politik. 

Hasrat berpolitik juga tak hanya menurun dari Soeharto ke keluarganya saja. Dua jenderal mantan ajudan Soeharto, yakni Prabowo Subianto dan Wiranto hingga kini masih punya taji di dunia politik Indonesia. Wiranto kini menjadi ‘orang dekat’ Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah diangkat menjadi Menko Polhukam pada 2016 silam. Sedangkan Prabowo, yang mendirikan Gerindra pada 2008, diyakini bakal menjadi seteru Jokowi pada Pilpres 2019. 

Pakar hukum tata negara Bvitri Susanti mengatakan, masih bercokolnya orang-orang Orba di dunia politik Indonesia dan di struktur pemerintahan menunjukkan bahwa cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai. “Apalagi mereka yang memiliki rekam jejak yang kelam dalam kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus ada di pemerintahan dan hingga kini keadilan belum didapat oleh para pencari keadilan,” ujar Bvitri. 

Selain Hanura yang didirikan Wiranto dan Gerindra, partai NasDem bisa dikata lahir dari rahim Partai Golkar yang dibesarkan oleh Soeharto. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sebelumnya pernah lama bergelut sebagai kader Golkar sebelum akhirnya memutuskan mendirikan NasDem. Surya memutuskan mendirikan NasDem pada 2011 setelah gagal meraih posisi Golkar 1 pada 2009. 

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us