Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

230 Organisasi Global Serukan Penghentian Ekspor Jet F-35 ke Israel 

jet tempur F-35 milik Israel. (William Lewis, Public domain, via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Lebih dari 230 organisasi masyarakat sipil global mendesak delapan negara produsen jet tempur F-35 agar segera menghentikan pengiriman pesawat tersebut ke Israel. Surat protes dikirim kepada Australia, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, Amerika Serikat (AS), dan Inggris pada Senin (17/2/2025).

Lembaga yang dimaksud di antaranya Human Rights Watch, Amnesty International, dan Oxfam International. Organisasi-organisasi ini mengklaim Israel telah melanggar hukum internasional selama 16 bulan terakhir dalam konflik di Gaza.

Gencatan senjata sementara di Gaza dinilai tidak menghilangkan risiko pelanggaran hukum internasional oleh Israel. Penggunaan jet tempur F-35 masih berlanjut di Tepi Barat yang diduduki, khususnya di wilayah Jenin.

"Program jet F-35 telah menjadi simbol keterlibatan Barat dalam kejahatan Israel terhadap warga Palestina. Jet-jet ini berperan dalam pemboman Gaza selama 466 hari, termasuk kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida," ujar Katie Fallon dari Campaign Against Arms Trade (CAAT), dilansir The Guardian.

1. Pengembangan F-35 melibatkan berbagai negara

Program pengembangan F-35 dipimpin perusahaan pertahanan raksasa AS, Lockheed Martin. Perusahaan-perusahaan Inggris turut memasok 15 persen komponen sebagai bagian dari perjanjian internasional yang melibatkan Israel.

Sistem produksi F-35 saat ini tidak memiliki kemampuan pelacakan komponen per negara. Hal ini membuat penangguhan pengiriman ke negara tertentu sulit dilakukan tanpa mengganggu seluruh armada global.

Semua negara mitra pengembangan F-35 merupakan peserta Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT). Perjanjian ini mewajibkan negara anggota mencegah pengiriman peralatan militer, baik langsung maupun tidak langsung, jika ada risiko peralatan tersebut digunakan melanggar hukum humaniter internasional. AS menjadi satu-satunya negara yang belum meratifikasi perjanjian tersebut, meski telah menandatanganinya.

Inggris pada September 2024 memang menangguhkan 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel karena berisiko tinggi digunakan dalam aksi kekerasan terhadap warga sipil di Gaza. Namun, Inggris mengecualikan komponen F-35 dari daftar barang yang ditangguhkan.

2. Jet F-35 digunakan untuk mengebom zona aman di Gaza

Jet F-35 Israel beroperasi di Gaza membawa bom seberat 900 kilogram yang memiliki radius mematikan hingga 365 meter. Area dampak ledakan ini setara dengan 58 lapangan sepak bola.

Investigasi NGO Denmark Danwatch mengungkap serangan F-35 di zona aman Khan Younis pada Juli 2024. Tiga bom berat dijatuhkan dalam serangan tersebut sehingga menewaskan 90 warga Palestina.

"Negara-negara yang memasok jet F-35 ke Israel turut bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional yang terjadi. Padahal mereka telah berkomitmen melalui perjanjian internasional untuk mencegah hal ini," kata Shawan Jabarin, Direktur Jenderal Al-Haq, dilansir Middle East Eye.

Pusat Satelit PBB melaporkan 69 persen infrastruktur di Gaza telah mengalami kerusakan akibat pemboman Israel. Lebih dari 48 ribu warga Palestina tewas, sementara diperkirakan 10 ribu jasad masih terkubur di bawah puing-puing.

3. Negara yang terlibat didesak untuk segera menghentikan ekspor F-35 ke Israel

Tindakan hukum terkait ekspor senjata ke Israel telah dilayangkan di lima negara produsen F-35, yaitu Inggris, AS, Belanda, Denmark, Kanada, dan Australia.

"Kegagalan seluruh negara mitra F-35 menerapkan kewajiban hukum mereka telah menyebabkan kerusakan tak terpulihkan bagi warga Palestina di Gaza. Kami mendesak semua mitra F-35 menggunakan segala kekuatan mereka untuk segera menghentikan pengiriman langsung maupun tidak langsung komponen F-35 ke Israel," tulis surat tersebut, dilansir dari situs CAAT.

Sebelumnya, Amnesty International pada Desember 2024 menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Kesimpulan serupa juga disampaikan Human Rights Watch.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada November 2024. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, dilansir The New Arab.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us