China Layangkan Protes ke WTO Imbas Kebijakan Tarif Trump

Jakarta, IDN Times - China mengajukan protes kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan tarif 10 persen yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Tarif tersebut dimaksudkan untuk mengatasi aliran fentanil dan obat-obatan lainnya ke AS, yang penerapannya akhirnya ditunda.
Beijing menuduh Washington membuat tuduhan tidak berdasar mengenai perannya dalam perdagangan fentanil untuk membenarkan tarif terhadap produk China. Dalam protesnya pada Rabu (5/2/2025), Negeri Tirai Bambu itu mengatakan kebijakan tarif Trump diskriminatif dan proteksionis, serta melanggar aturan perdagangan.
"Praktik AS secara serius merusak sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, melemahkan fondasi kerja sama ekonomi dan perdagangan antara China dan AS, serta mengganggu stabilitas rantai industri dan rantai pasokan global," bunyi pernyataan Kementerian Perdagangan China, dikutip dari CNN.
1. Tarif Trump mengikis kepercayaan dan kerja sama China-AS
Beijing membela upayanya untuk mengendalikan ekspor bahan kimia prekursor yang digunakan untuk memproduksi fentanil. Pihaknya mengatakan, tarif Trump akan mengikis fondasi kepercayaan dan kerja sama di bidang pengendalian narkoba antara China dan AS.
Beijing juga telah mengisyaratkan niatnya untuk menghindari perang dagang seperti yang terjadi pada masa jabatan pertama Trump. Negeri Tirai Bambu itu juga telah mendiversifikasi perekonomian dan mitra dagangnya sejak saat itu, tetapi perekonomiannya yang bergantung pada ekspor justru bergulat dengan perlambatan pertumbuhan dan tantangan lainnya.
Kepala ekonom China di Capital Economics, Mark Williams, mengatakan langkah Trump yang termasuk menghentikan aturan bebas bea untuk paket senilai kurang dari 800 dolar AS (setara Rp13 juta) akan menjadi kejutan besar bagi beberapa perusahaan, seperti Shein dan Temu, yang mengikis kemampuan untuk menawarkan harga yang sangat rendah, mengutip BBC.
Tarif 10 persen itu jauh dari tarif 60 persen yang Trump ancam selama kampanyenya. Hal tersebut menandakan bahwa akan ada lebih banyak lagi tarif yang akan dikenakan, jika kedua pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai sejumlah masalah yang lebih luas.
2. Serangkaian balasan Beijing atas kebijakan tarif Trump

Pada Selasa, Beijing mengumumkan paket tindakan ekonomi sebagai balasan atas tarif Trump. Bea masuk baru ini mengenakan pajak sebesar 15 persen untuk jenis batu bara dan gas alam cair (LNG) tertentu dan 10 persen untuk minyak mentah, mesin pertanian, mobil berkapasitas besar, dan truk pickup. Kebijakan itu mulai berlaku pada 10 Februari, dilansir The Independent.
Tarif China menargetkan paling banyak 20 miliar dolar AS (setara Rp326 triliun) impor tahunan dari AS, atau sekitar 12 persen dari total. Jumlah tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan lebih dari 450 miliar dolar AS (setara Rp7.348 triliun) barang China yang ditargetkan oleh AS.
Kementerian Perdagangan dan Administrasi Bea Cukai China juga mengumumkan pengendalian ekspor baru yang akan segera berlaku pada beberapa produk logam dan teknologi terkait. Selain itu, pihaknya juga memulai penyelidikan terhadap Google atas dugaan pelanggaran antimonopolinya.
Kementerian juga menambahkan dua perusahaan AS, perusahaan bioteknologi Illumina dan pengecer pakaian PVH Group, serta pemilik Calvin Klein dan Tommy Hilfiger ke dalam daftar entitas yang tidak dapat diandalkan, dengan mengatakan bahwa mereka melanggar prinsip perdagangan pasar normal.
3. Protes China ke WHO dinilai tidak akan berhasil

Prosedur WTO memberikan waktu 60 hari kepada AS dan China untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsultasi. Pada masa ini, Beijing berhak meminta keputusan panel hakim. Namun, panel terakhir WTO yang menyelesaikan perselisihan dagang masih belum dapat berfungsi karena Washington menolak menyetujui penunjukan hakim baru di badan tersebut.
Selain itu, AS juga mengabaikan temuan WTO sebelumnya bahwa tarif terhadap baja dan aluminium yang diberlakukan pada masa jabatan pertama Trump melanggar aturan.
Ketua badan banding WTO pada 2016 dan 2019, Tom Graham, mengatakan bahwa mungkin akan memakan waktu satu tahun sebelum ada keputusan dari tahap pertama pengaduan Beijing dan kecil kemungkinannya untuk maju lebih jauh. Dia menyebut pada akhirnya protes China tidak ada kemungkinan untuk berhasil.
Sementara itu, mantan asisten perwakilan dagang AS untuk Urusan China menambahkan bahwa Beijing perlu mengajukan kasus ini untuk mendukung posisinya yang sering menyatakan Washington merusak sistem perdagangan berbasis aturan dan hubungan antara kedua negara.