Fakta-fakta Sanksi Ekonomi Amerika Serikat atas Suriah

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Marco Rubio, mengumumkan penangguhan sanksi atas Suriah selama 180 hari pada Jumat (23/5/2025).
Langkah ini menyusul janji Presiden AS Donald Trump untuk mencabut sanksi terhadap Damaskus setelah bertemu Presiden Interim Suriah Ahmad al-Sharaa di Arab Saudi.
Kementerian Keuangan AS telah mengeluarkan 28 individu dan lembaga Suriah dari daftar sanksi, dilansir New Arab.
Suriah selama ini menjadi salah satu negara paling terkucil ekonominya di dunia bersama Iran, Korea Utara, dan Kuba. Pencabutan sanksi membuka peluang investasi dari negara Teluk untuk rekonstruksi Suriah yang hancur akibat perang saudara selama belasan tahun.
1. AS jatuhkan sanksi ke Suriah sejak 1979

Melansir TRT Global, AS pertama kali menjatuhkan sanksi pada Suriah pada 1979 dengan melabeli negara itu sebagai sponsor terorisme. Alasannya, militer Suriah terlibat dalam perang saudara Lebanon dan mendukung kelompok bersenjata. Sanksi ini melarang bantuan AS dan ekspor senjata ke Suriah.
Gelombang kedua datang pada 2003 ketika Presiden George W. Bush menandatangani Undang-Undang Akuntabilitas Suriah. Aturan ini melarang hampir semua ekspor AS ke Suriah kecuali makanan dan obat-obatan. Bank Suriah juga dilarang bertransaksi dengan lembaga keuangan AS.
Selanjutnya, pada 2011, Presiden Barack Obama menambah sanksi ke Suriah sebagai hukuman atas tindakan represif terhadap demonstran. Obama memberlakukan pembekuan aset dan larangan transaksi terhadap pejabat Suriah.
Puncaknya terjadi pada 2019 saat Trump menandatangani Undang-Undang Caesar. Aturan ini menerapkan sanksi pada negara atau perusahaan asing yang berbisnis dengan rezim Bashar al-Assad. Caesar adalah nama alias fotografer militer Suriah yang menyelundupkan ribuan foto korban penyiksaan dari penjara Assad.
2. Sanksi berdampak pada berbagai aspek kehidupan warga Suriah

Sanksi AS dan negara lain telah menyentuh berbagai aspek kehidupan rakyat Suriah. Hampir semua transaksi keuangan dengan Suriah dilarang, membuat perusahaan dunia enggan mengekspor ke sana. Warga Suriah bahkan sulit memperbarui ponsel karena banyak situs memblokir alamat IP Suriah.
Sektor minyak menjadi yang paling terpukul. Produksi minyak Suriah turun dari 380 ribu barel per hari pada tahun 2010 menjadi hampir nol. Ekspor total negara itu ambruk dari 18,4 miliar dolar AS (Rp299 triliun) tahun 2010 menjadi 1,8 miliar dolar AS (Rp29,2 triliun) tahun 2021, menurut data World Bank.
Undang-Undang Caesar yang berlaku sejak 2020 semakin mencekik negara tersebut. Aturan ini menargetkan sektor konstruksi, energi, dan militer. Perusahaan internasional enggan berinvestasi karena takut kena sanksi AS.
Dampak sanksi juga terasa saat gempa dahsyat tahun 2023 melanda Suriah. Meski AS memberi pengecualian bantuan bencana, bank dan perusahaan tetap takut mengambil risiko. Akibatnya, bantuan kemanusiaan terhambat dan korban semakin menderita.
3. Seberapa hancur ekonomi Suriah akibat sanksi dan perang saudara?

Sanksi dan perang saudara telah menghancurkan ekonomi Suriah. Nilai ekonomi negara itu menyusut 84 persen dari 2010 hingga 2023. Ekonomi Suriah kini hanya bernilai 21 miliar dolar AS (Rp341 triliun), setara dengan Albania yang penduduknya 20 juta lebih sedikit.
Nilai mata uang Suriah juga terjun bebas. Nilai tukar anjlok dari 47 pound Suriah per dolar AS pada 2011 menjadi 22 ribu pound per dolar AS setelah rezim Assad jatuh. Cadangan devisa terkuras dari 18,5 miliar dolar AS (sekitar Rp300 triliun) sebelum perang menjadi tinggal 200 juta dolar AS (sekitar Rp3,2 triliun).
Menurut data PBB, sebanyak 90 persen dari 25 juta penduduk Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Isolasi ekonomi memaksa pemerintah Assad beralih mengandalkan komoditas gelap. Suriah terlibat dalam produksi dan distribusi pil captagon, narkoba jenis amfetamin, dengan nilai ekonomi hingga 5,6 miliar dolar AS (sekitar Rp91 triliun).
Program Pembangunan PBB (UNDP) memperkirakan Suriah kehilangan 800 miliar dolar AS (sekitar Rp13 kuadriliun) selama perang. Infrastruktur seperti jalan, rumah sakit, dan listrik rusak parah tanpa bisa diperbaiki karena sanksi.
4. Bagaimana pencabutan sanksi akan membantu pemulihan ekonomi Suriah?

Rencana pencabutan sanksi langsung berdampak pada ekonomi Suriah. Mata uang negara itu menguat 60 persen setelah pengumuman Trump. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan siap membantu rehabilitasi ekonomi Suriah yang terputus dari organisasi keuangan global sejak 2009.
Melansir PBS, bank-bank Suriah akan bisa kembali terhubung dengan sistem keuangan internasional setelah Kementerian Keuangan AS melonggarkan sanksi. Akses ke Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam juga akan membantu pertumbuhan ekonomi dan rekonstruksi infrastruktur.
Pencabutan sanksi juga akan membuka kesempatan untuk aliran investasi dari berbagai negara tetangga seperti Arab Saudi, Qatar, dan UEA. Turki juga mengaku berminat untuk membantu sektor minyak dan gas, terutama di wilayah utara.
Prospek perkembangan ekonomi berpotensi menarik jutaan diaspora Suriah untuk pulang ke kampung halaman. Kepulangan mereka dari Turki, Lebanon, dan Eropa bisa membawa modal dan keahlian yang akan membantu pemulihan.
Namun, biaya rekonstruksi Suriah diperkirakan akan mencapai 400 miliar hingga 1 triliun dolar AS (sekitar Rp6,5-16 kuadriliun). Ekonomi Suriah yang menyusut 84 persen diprediksi membutuhkan waktu 20 hingga 25 tahun untuk pulih ke setengah level sebelum perang, dilansir DW.