Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jelang Voting PBB, Israel Bersikeras Tolak Negara Palestina

Sejumlah perwakilan negara walk out dari Ruang Sidang PBB saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berpidato (YouTube United Nations)
Sejumlah perwakilan negara walk out dari Ruang Sidang PBB saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berpidato (YouTube United Nations)
Intinya sih...
  • Penolakan resmi Israel menguat menjelang voting PBB
  • Negara Palestina masuk dalam dokumen Draft resolusi terbaru DK PBB
  • Dampak gencatan senjata dan dinamika politik pasca-perang Gaza
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Israel kembali menegaskan penolakannya terhadap pembentukan negara Palestina, hanya sehari sebelum Dewan Keamanan PBB menggelar pemungutan suara, atas rancangan resolusi yang mendukung rencana perdamaian Gaza yang diprakarsai Amerika Serikat (AS).

Draf yang dibahas pada Senin (17/11/2025) itu memuat dukungan internasional terhadap kesepakatan gencatan senjata Israel–Hamas, serta pembentukan administrasi transisi dan pasukan keamanan internasional sementara di Gaza pascaperang.

Berbeda dari draf sebelumnya, versi terbaru dokumen tersebut untuk pertama kalinya menyebut kemungkinan pembentukan negara Palestina di masa depan. Penyebutan itu langsung ditolak keras pemerintah Israel, yang menilai langkah tersebut bertentangan dengan kebijakan strategis mereka.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan di rapat kabinet Minggu, garis merah pemerintah tetap tidak berubah. “Penolakan kami terhadap negara Palestina di wilayah mana pun tidak berubah,” ujarnya, dikutip dari France24.

Netanyahu selama bertahun-tahun menolak gagasan kenegaraan Palestina, dan menyebutnya sebagai hadiah bagi Hamas yang suatu hari bisa berubah menjadi ancaman lebih besar bagi keamanan Israel.

Penolakan ini muncul di tengah tekanan politik internal, termasuk dari para menteri koalisi garis keras yang menilai Netanyahu belum cukup tegas merespons gelombang pengakuan negara Palestina oleh beberapa negara Barat dalam beberapa bulan terakhir. Kritik tersebut ikut memperuncing dinamika politik domestik Israel menjelang pembahasan resolusi penting di Dewan Keamanan PBB.

Rencana perdamaian yang difasilitasi Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah menghasilkan gencatan senjata awal, pembebasan sandera, serta pelepasan ribuan tahanan Palestina. Namun isu kenegaraan Palestina tetap menjadi titik paling sensitif dalam proses tersebut.

Menjelang voting di PBB, para pejabat tinggi Israel dari berbagai kementerian kembali menyampaikan keberatan mereka. Sikap itu mempertegas perbedaan konseptual mengenai masa depan Gaza dan Palestina masih menjadi hambatan kunci bagi upaya normalisasi jangka panjang.

1. Penolakan resmi Israel menguat menjelang voting PBB

Netanyahu menegaskan kembali posisinya di hadapan kabinet, mengutip pernyataan yang telah ia pertahankan selama puluhan tahun. “Penolakan kami terhadap negara Palestina tidak berubah sedikit pun,” katanya.

Netanyahu menyebut ia telah menahan dorongan apapun menuju negara Palestina selama beberapa dekade, dan tidak terpengaruh tekanan, baik dari luar maupun dalam negeri.

Pernyataan tersebut disampaikan setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengecam Netanyahu, karena dianggap tidak merespons cukup keras pengakuan negara Palestina oleh Inggris, Australia, dan Kanada. Dalam unggahan di X, Smotrich mendesak untuk merumuskan respons tegas yang membuat dunia memahami bahwa tidak akan pernah ada negara Palestina di tanah leluhur mereka.

Netanyahu merespons sindiran itu secara tersirat. “Saya tidak membutuhkan afirmasi, cuitan, atau ceramah dari siapa pun,” ujarnya dalam rapat kabinet.

Pernyataan itu sekaligus isyarat kepada faksi-faksi koalisi kanan jauh yang selama ini mendorong garis kebijakan lebih ekstrem. Selain Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Katz juga menanggapi isu ini dalam pernyataan singkat.

“Kebijakan Israel jelas: tidak akan ada negara Palestina yang didirikan,” tulisnya di X. Pernyataan itu senada dengan Menteri Luar Negeri Gideon Saar yang menolak apa pun yang ia gambarkan sebagai “negara teror Palestina di jantung Tanah Israel.”

Di antara yang paling vokal adalah Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir. Ia menyebut identitas Palestina sebagai “rekayasa,” membuat suasana politik domestik Israel semakin panas jelang putusan DK PBB.

2. Negara Palestina masuk dalam dokumen

Draf resolusi terbaru DK PBB menyebut kemungkinan negara Palestina sebagai bagian dari proses politik jangka panjang pascaperang Gaza. Frasa inilah yang menjadi pemicu ketegangan antara Israel dan para pendukung rencana perdamaian internasional.

Dokumen tersebut merupakan kelanjutan dari kesepakatan gencatan senjata yang dirancang pemerintahan Trump. Kesepakatan itu mencakup pembentukan administrasi transisi di Gaza serta penempatan pasukan keamanan internasional sementara, guna menstabilkan wilayah yang hancur akibat perang.

Bagi Israel, penyebutan negara Palestina, meski dalam konteks “masa depan”, menjadi batas yang tak dapat diterima. Pemerintah Israel menilai langkah itu dapat membuka pintu legitimasi politik bagi Hamas dan faksi lain di Palestina.

Netanyahu telah berulang kali mengklaim kekhawatirannya jika negara Palestina terbentuk, dapat menjadi ancaman lebih besar bagi Israel. Ia menegaskan upaya mengaitkan proses rekonstruksi Gaza dengan kenegaraan Palestina adalah “kekeliruan strategis.”

Sementara, tekanan internasional meningkat setelah sejumlah negara Barat mengakui Palestina sebagai negara pada bulan-bulan terakhir. Israel menilai gelombang pengakuan tersebut sebagai langkah prematur yang justru merugikan proses negosiasi.

Di tengah dinamika itu, DK PBB tetap akan melanjutkan voting untuk menentukan apakah rancangan resolusi tersebut mendapat mandat global.

3. Dampak gencatan senjata dan dinamika politik pasca-perang Gaza

Putaran pertama kesepakatan gencatan senjata yang didukung AS telah menghasilkan pembebasan 20 sandera Israel yang masih hidup, dan hampir seluruh 28 jenazah yang sebelumnya ditahan kelompok bersenjata Palestina. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dan menyerahkan 330 jenazah.

Meskipun proses tersebut dinilai sebagai langkah awal yang penting, isu politik lebih besar mengenai masa depan Gaza, termasuk persoalan negara Palestina, belum menemukan titik temu. Ini membuat peluang eskalasi baru tetap terbuka bila proses politik gagal dilanjutkan.

Pemerintah Israel kini berada di bawah sorotan keras, baik dari masyarakat domestik maupun mitra internasional, mengenai strategi jangka panjang pascaperang. Kekhawatiran internasional meningkat tanpa jalur politik formal, Gaza akan kembali berada dalam siklus kekerasan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sementara, para pendukung negara Palestina di dunia internasional menilai momentum saat ini merupakan kesempatan penting bagi penataan ulang tata kelola Gaza secara permanen. Mereka mendorong agar kesepakatan gencatan senjata diikuti dengan upaya diplomatik yang lebih terstruktur.

Namun bagi Israel, langkah tersebut dianggap terlalu berisiko. Pernyataan berulang dari sejumlah menteri menunjukkan penolakan terhadap kenegaraan Palestina masih menjadi fondasi kebijakan keamanan negara itu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

KPK Dalami Dugaan Perusakan Segel di Rumah Dinas Gubernur Riau

17 Nov 2025, 21:01 WIBNews