Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pasien Kanker di Lebanon Berjuang Bertahan Hidup di Tengah Perang

ilustrasi pasien di rumah sakit (unsplash.com/Olga Kononenko)

Jakarta, IDN Times - Serangan besar-besaran Israel ke Lebanon telah memberikan tekanan besar bagi para penderita kanker di negara tersebut. Mereka kini kesulitan mengakses pengobatan dan harus bertahan hidup sebagai seorang pengungsi.

Ribuan pasien kanker termasuk di antara lebih dari 1 juta orang yang meninggalkan rumah mereka akibat konflik antara Israel-Hizbullah selama setahun terakhir.

“Kami ingin kembali ke rumah kami, ke tempat kerja kami,” kata Ahmad Fahess sambil menangis saat menjalani pengobatan kanker di Pusat Medis Universitas Amerika di Beirut (AUBMC), dilansir dari Reuters.

Fahess adalah seorang pengusaha kecil dari kota Nabatieh di Lebanon selatan. Dengan konflik yang terus berlangsung, ia tidak tahu sampai kapan ia dapat terus mengakses pengobatan untuk kanker langka, sarkoma, yang dideritanya.

“Saya biasanya datang 3 hari ke Beirut untuk berobat dan kembali ke rumah. Sekarang dengan adanya perang, kami menjadi pengungsi, dan perjuangan pengobatan pun dimulai," ungkap ayah dua anak itu.

1. Pasien bergantung pada lembaga amal

Fahess mengaku sedang bekerja ketika serangan udara Israel mulai menargetkan kota Nabatieh. Ia pun melarikan diri bersama keluarganya ke Antelias di Gunung Lebanon dengan membawa uang sebesar 4.500 dolar AS (sekitar Rp71 juta). Namun, uang tersebut dengan cepat menipis. 

Ia sekarang bergantung pada Cancer Support Fund, sebuah badan amal yang diluncurkan pada 2018 untuk membantu pasien kanker. Badan tersebut juga menyediakan bantuan tambahan bagi para pengungsi.

"Pengobatannya sangat mahal, jika pihak rumah sakit tidak membantu, saya tidak akan mampu membayarnya," kata Fahess.

Namun, ia khawatir pendanaan tersebut akan habis.

"Kalau kami harus membayar dan dapat kembali ke rumah, mungkin tidak masalah, tetapi jika masih mengungsi, itu akan mustahil," tambahnya.

2. Penderita kanker harus memilih antara kebutuhan dasar dan pengobatan

Pengeboman Israel juga menyebabkan Ghazaleh Naddaf meninggalkan desanya di Debel, bagian selatan Lebanon, dan mengungsi ke Beirut. Mantan asisten apoteker ini tidak lagi mampu membiayai terapi untuk multiple myeloma yang dideritanya usai kehilangan pekerjaan.

“Saya melewatkan perawatan dan pengobatan. Saya biasanya datang 2 kali seminggu untuk berobat, dengan biaya lebih dari 1.000 dolar AS (sekitar Rp15 juta). Saya tidak mampu lagi membayarnya,” ungkapnya, seraya menambahkan bahwa ia juga memerlukan transplantasi sumsum tulang yang memakan biaya hingga 50 ribu dolar AS (sekitar Rp795 juta).

“Ini perang, dan tidak ada keamanan, dan saya masih harus menjalani pengobatan untuk melanjutkan hidup saya,” tambahnya.

Hala Dahdah Abou Jaber, salah satu pendiri Cancer Support Fund, mengatakan bahwa pasien kanker yang menjadi pengungsi harus memilih antara kebutuhan dasar dan terapi untuk penyakit mereka. Banyak di antaranya bahkan tidak mampu lagi menanggung biaya pengobatan mereka.

“Kanker tidak menunggu. Kanker bukanlah penyakit yang memberi Anda waktu, kanker itu keras,” ujarnya.

3. Ribuan pasien kanker harus mencari pusat pengobatan baru karena rumah sakit rusak

Menurut Kementerian Kesehatan Lebanon, lebih dari 2.500 pasien kanker yang mengungsi terpaksa mencari pusat perawatan baru, setelah delapan rumah sakit di Lebanon selatan dan pinggiran selatan Beirut tidak lagi beroperasi akibat serangan Israel.

Ali Taher, direktur Institut Kanker Naef K. Basile di AUBMC, mengatakan bahwa situasi saat ini telah menambah beban bagi sistem kesehatan yang sudah rapuh. Merawat pasien yang mengungsi juga memberikan tantangan tersendiri, termasuk mencari catatan medis yang hilang dan menemukan dokter yang dulu menangani pasien-pasien tersebut.

“Selain itu, sulit untuk melakukan skrining kanker lebih awal karena hal ini tidak lagi menjadi prioritas bagi masyarakat,” imbuhnya.

Israel mulai meluncurkan serangan udar besar-besaran di Lebanon pada September 2024, setelah hampir setahun terlibat dalam perang lintas batas dengan kelompok Hizbullah yang didukung Iran. Hampir 3.600 orang, termasuk warga sipil, telah tewas dan 5 ribu lainnya terluka akibat serangan Israel di Lebanon. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us