Pemimpin HTS: Suriah Bukan Ancaman bagi Dunia

- Ahmed al-Sharaa meminta pencabutan sanksi internasional terhadap Suriah karena negara tersebut sudah kelelahan akibat perang dan bukan ancaman bagi negara tetangga atau Barat.
- Sharaa juga meminta agar HTS dihapuskan dari daftar organisasi teroris karena mereka tidak menargetkan warga sipil dan menganggap diri mereka sebagai korban kejahatan rezim Assad.
- Pencabutan sanksi terhadap Suriah sangat penting untuk mendukung upaya pembangunan dan rekonstruksi di negara itu, kata Amy Pope dari IOM.
Jakarta, IDN Times - Pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, menyerukan agar sanksi internasional terhadap negaranya dapat dicabut. Ia mengatakan bahwa Suriah kini sudah kelelahan akibat perang dan bukanlah ancaman bagi negara tetangganya atau Barat.
“Sekarang, setelah semua yang terjadi, sanksi harus dicabut karena menyasar rezim lama. Korban dan penindas tidak boleh diperlakukan sama,” ujar pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) itu dalam wawancara dengan BBC.
HTS memimpin serangan kilat yang menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024. Kelompok itu kemudian membentuk pemerintahan sementara, dengan Mohammad al-Bashir sebagai perdana menteri hingga Maret 2025.
1. Sharaa minta HTS dihapuskan dari daftar kelompok teroris
Sharaa juga meminta agar HTS dihapuskan dari daftar organisasi teroris. Kelompok ini telah ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh PBB dan beberapa negara barat, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), karena sebelumnya berafiliasi dengan Al-Qaeda hingga 2016.
Sharaa mengatakan HTS bukanlah kelompok teroris lantaran mereka tidak menargetkan warga sipil atau wilayah penduduk. Mereka bahkan menganggap diri mereka sebagai korban kejahatan rezim Assad.
Amy Pope, direktur jenderal Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), pada Jumat (20/12/2024), menyatakan bahwa pencabutan sanksi terhadap Suriah sangat penting untuk mendukung upaya pembangunan dan rekonstruksi di negara itu.
“Prioritas nomor satu adalah bantuan kemanusiaan. Jumlahnya sangat mencolok. Lebih dari 90 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Kami telah melihat 800 ribu pengungsi baru dalam beberapa pekan terakhir,” kata Pope dalam konferensi pers PBB di Jenewa.
2. Suriah tidak akan menjadi seperti Afghanistan
Sharaa juga membantah ingin mengubah Suriah menjadi versi Afghanistan. Menurutnya, kedua negara tersebut sangat berbeda, baik dalam hal tradisi dan pola pikir. Ia meyakini bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan.
“Kami memiliki universitas di Idlib selama lebih dari 8 tahun,” kata Sharaa, mengacu pada provinsi barat laut Suriah yang dikuasai pemberontak sejak 2011.
“Saya pikir persentase perempuan di universitas lebih dari 60 persen," tambahnya.
Ketika ditanya apakah konsumsi alkohol diperbolehkan, Sharaa mengatakan bahwa ia tidak berhak membicarakan masalah yang berkaitan dengan hukum.
"Akan ada komite ahli hukum Suriah yang akan menyusun konstitusi. Mereka akan memutuskan. Dan penguasa atau presiden mana pun harus mengikuti hukum," tambahnya.
3. AS cabut hadiah Rp161 miliar untuk penangkapan Sharaa
Pada Jumat, AS mengumumkan bahwa mereka telah mencabut hadiah sebesar 10 juta dolar AS (sekitar Rp161 miliar) untuk penangkapan Sharaa. Hal itu disampaikan oleh Asisten Menteri Luar Negeri Barbara Leaf usai pertemuan antara diplomat senior AS dan perwakilan HTS di ibu kota Suriah, Damaskus.
Leaf mengungkapkan bahwa diskusi dengan Sharaa sangat produktif dan ia terkesan sebagai sosok yang pragmatis.
“Kami sepenuhnya mendukung proses politik yang dipimpin dan dimiliki oleh Suriah yang menghasilkan pemerintahan yang inklusif dan representatif yang menghormati hak-hak semua warga Suriah, termasuk perempuan, dan komunitas etnis dan agama yang beragam di Suriah," jelasnya, dilansir dari Al Jazeera.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengonfirmasi bahwa para diplomat tersebut membahas prinsip-prinsip transisi yang didukung oleh AS, peristiwa regional dan perlunya memerangi ISIS.
Ia juga mengatakan para pejabat sedang mencari informasi lebih lanjut tentang warga AS yang hilang di bawah rezim Assad, termasuk jurnalis Austin Tice yang diculik di Damaskus pada 2012, dan psikoterapis Majd Kamalmaz yang menghilang pada 2017.