Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pertanyaan Moral dan Kemanusiaan Soal Robot Pembunuh

AFP/Carl Court

Jenewa, IDN Times - PBB baru saja menggelar diskusi mengenai Konvensi Senjata Konvensional (CCW) pada minggu lalu. Topik panas yang dibahas adalah tentang sistem persenjataan otonom mematikan (LAWS) atau yang sering dikenal dengan robot pembunuh. 

Mayoritas negara menyatakan sepakat harus ada perjanjian mengikat secara legal yang berisi larangan pengembangan serta penggunaan robot jenis tersebut. Namun, beberapa lainnya yang militernya maju secara teknologi—seperti Amerika Serikat, Rusia, Australia dan Israel— menolak ini.

1. Robot pembunuh dianggap sebagai bagian dari peperangan di masa depan

unsplash.com/Siyan Ren

Pada pertemuan tersebut, delegasi dari sejumlah negara yang keberatan dengan adanya perjanjian mengikat tentang pelarangan itu mengajukan argumen tentang "keuntungan" dari robot pembunuh untuk keperluan militer yang akan hilang jika perjanjian itu dibuat.

Maka, mereka memutuskan bahwa sebaiknya PBB membiarkan negara mengeksplorasi segala kemungkinan terlebih dulu sebelum menyodorkan rancangan perjanjian. Bahkan, definisi robot pembunuh saja belum disepakati oleh masing-masing negara anggota PBB.

Pada 2012 lalu Human Rights Watch (HRW) merilis laporan tentang robot pembunuh. Organisasi yang menolak pengembangan dan implementasi LAWS itu mendefinisikan robot pembunuh sebagai: sistem senjata otonom mematikan yang akan mampu memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia.

Mereka yang pro dengan persenjataan jenis tersebut menilai peperangan di masa depan akan melibatkan robot secara langsung. Misalnya, dalam laporan yang ditulis Danish Institute for International Studies pada 2017 lalu, militer dari beberapa negara mendukung pengembangan robot pembunuh karena elemen efisiensi.

Salah satunya adalah menghemat waktu dibandingkan harus menerjunkan pasukan ke suatu zona merah. Lalu, pengumpulan informasi juga bisa terjadi lebih cepat karena memanfaatkan kecanggihan teknologi. Akan tetapi, mereka juga meyakinkan publik bahwa kontrol tetap ada di tangan manusia meski masih tidak jelas bagaimana caranya.

Robert Work, Deputi Menteri Pertahanan Amerika Serikat di era Barack Obama, menegaskan pihaknya "takkan mendelegasikan otoritas mematikan kepada sebuah mesin untuk membuat keputusan". Namun, ia juga dengan cepat menambahkan pengecualian ketika "semuanya berjalan lebih cepat dari waktu reaksi manusia, seperti saat perang siber atau elektronik".

2. Drone sebagai salah satu perangkat teknologi tanpa awak yang dipakai saat konflik melahirkan preseden buruk

unsplash.com/Dose Media

Pendahulu robot pembunuh adalah drone. Secara esensi, drone sendiri merupakan robot yang bisa terbang. Penggunaannya dalam konflik pun mendapatkan banyak kritik. Dalam rilisnya, Columbia Law School’s Human Rights Clinic menyebut telah menerima laporan ada sebanyak 72 hingga 155 warga sipil di Pakistan yang tewas karena serangan drone pada 2011.

Di Yaman, drone Amerika Serikat salah sasaran dan menyerang seorang warga sipil yang sedang menuju ke sebuah resepsi pernikahan pada 2014 lalu. Lalu, Januari tahun ini, tujuh warga sipil Yaman tewas ketika sebuah drone Amerika Serikat menghantam mereka yang berada di dalam mobil.

Maka, tak heran jika preseden buruk dari penggunaan teknologi tanpa campur tangan manusia menimbulkan kegelisahan tentang etika. Apalagi menurut riset Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang terbit pada November tahun lalu ada 381 LAWS yang dikembangkan untuk pertahanan.

Campaign to Stop Killer Robots, sebuah jaringan koalisi dari beberapa organisasi non-pemerintah di 32 negara yang fokus mengadvokasi pelarangan segala jenis senjata otonom termasuk robot pembunuh, menyebut ini sudah saatnya untuk negara-negara satu suara dan merancang perjanjian yang mengikat secara legal.

"[Campaign to Stop Killer Robots] berupaya agar ada larangan pengembangan dan penggunaan senjata yang bisa memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Koalisi ini mendukung negara-negara untuk memperjelas di mana mereka menetapkan batasan terhadap sistem senjata otonom yang kian meningkat," tulis mereka.

3. Kelompok HAM meyakini robot pembunuh justru merugikan bagi kemanusiaan

AFP/Carl Court

Ketika Korea Times mempublikasikan artikel tentang kerja sama antara Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) dan sebuah perusahaan manufaktur perlengkapan militer dan pertahanan bernama Hanhwa Systems pada Februari lalu, puluhan akademisi dari berbagai negara buka suara.

Pasalnya, KAIST dan Hanhwa Systems dilaporkan bekerja sama untuk "mengembangkan teknologi kecerdasan artifisial agar bisa diaplikasikan ke senjata militer". Keduanya menjadi peserta berikutnya dari "kompetisi global untuk mengembangkan senjata otonom". 

Para peneliti pun memprotes lembaga pendidikan itu mau kooperatif dengan salah satu "perusahaan paling meragukan dari segi etika". Baik Coalition to Stop Killer Robots maupun HRW secara mandiri menegaskan bahwa robot pembunuh akan merugikan bagi kemanusiaan.

Menurut HRW, robot tidak memiliki kemampuan berpikir dan berempati layaknya manusia. Konsekuensinya, mesin itu takkan bisa mematuhi hukum humaniter internasional yang berlaku dalam peperangan. Contohnya, hukum itu jelas-jelas melarang segala bentuk penyiksaan terhadap musuh yang sudah menyerah dan tak bersenjata.

Belum lagi jika terjadi kesalahan seperti salah sasaran hingga ada nyawa melayang, maka akan sulit untuk menunjuk pihak yang bertanggung jawab. Secara legal juga ini melanggar hukum internasional. Dengan kata lain, sebuah mesin yang sangat kurang atau bahkan tidak dikontrol manusia sama sekali tak mampu memiliki pemahaman tentang kemanusiaan.

Ini diamini oleh para pionir teknologi di dunia seperti Elon Musk dan Mustafa Suleyman. Tahun lalu, mereka menegaskan bahwa menggunakan robot pembunuh sama dengan "membuka kotak pandora". Mereka menyampaikan surat terbuka kepada PBB agar melarang pengembangan dan penggunaan robot tersebut.

"Begitu dikembangkan, senjata otonom mematikan itu akan memungkinkan konflik bersenjata dilakukan dalam skala lebih besar dari yang pernah ada, dan dalam jangka waktu lebih cepat dari yang manusia bisa bayangkan. Ini bisa jadi senjata teror, senjata yang digunakan oleh diktator dan teroris terhadap warga tak berdosa, dan senjata yang bisa diretas agar berperilaku dengan cara-cara tak baik."

IDN Times/Sukma Shakti
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
Rosa Folia
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us