Razia Polisi di Brasil Tewaskan 132 Orang, Paling Parah dalam Sejarah

- Empat anggota polisi turut gugur dalam operasi yang melibatkan lebih dari 2.500 personel militer dan sipil melawan Comando Vermelho, geng narkoba paling kuat di Rio.
- Di Kompleks Penha, kawasan padat kelas pekerja, warga menangisi sedikitnya 50 jenazah yang disusun di tanah. Jenazah-jenazah itu ditutup kain, beberapa berlumur darah.
- Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku terkejut atas kekerasan tersebut.
Jakarta, IDN Times - Lebih dari 100 orang tewas dalam operasi besar-besaran polisi yang menargetkan geng narkoba di Rio de Janeiro, Brasil. Razia bergaya militer itu digelar di dua kawasan kumuh terkenal, Kompleks Penha dan Kompleks Alemão, yang berada di utara kota. Warga menuduh aparat melakukan pembunuhan bergaya eksekusi, menjadikannya operasi anti-narkoba paling mematikan dalam sejarah Rio.
Dilansir dari France 24, kantor pembela umum negara bagian Rio, yang memberikan bantuan hukum untuk warga miskin, melaporkan total korban tewas mencapai 132 orang. Sementara itu, Gubernur Cláudio Castro menyebut angka resmi sementara baru 58 korban, namun jumlahnya kemungkinan bertambah seiring pemeriksaan jenazah di kamar mayat. Pada Rabu (29/10/2025) pagi, keluarga korban menata puluhan jenazah di jalanan untuk memperlihatkan besarnya jumlah korban yang jatuh.
1. Operasi besar dihadapi geng Comando Vermelho
Empat anggota polisi turut gugur dalam operasi yang melibatkan lebih dari 2.500 personel militer dan sipil melawan Comando Vermelho, geng narkoba paling kuat di Rio. Aparat menggunakan kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone, menjadikan gang-gang sempit di favela seperti medan perang. Operasi ini telah direncanakan lebih dari setahun untuk menghentikan ekspansi wilayah geng tersebut.
Polisi menyebut sekitar 60 anggota geng bersenjata tewas dalam baku tembak di Kompleks Penha dan Alemão, tak jauh dari bandara internasional Rio. Pertempuran sengit menimbulkan kebakaran di berbagai titik, sementara anggota geng dilaporkan membakar bus sebagai barikade dan menerbangkan drone untuk menjatuhkan bom ke arah polisi.
Castro menulis di X (sebelumnya Twitter) bahwa insiden itu bukan kejahatan biasa melainkan bentuk narkoterorisme. Ia juga membagikan video yang memperlihatkan intensitas pertempuran di lapangan.
“Begini cara polisi Rio diperlakukan oleh penjahat: dengan bom yang dijatuhkan oleh drone. Inilah skala tantangan yang kita hadapi,” katanya, dikutip dari BBC.
Castro menyampaikan bahwa bentrokan terjadi di area berhutan dan menyatakan dirinya tidak percaya ada warga sipil yang sekadar berjalan di lokasi saat konflik berlangsung. Pernyataan itu menunjukkan keyakinannya bahwa semua korban adalah anggota geng bersenjata.
2. Warga menuding polisi lakukan pembunuhan eksekusi
Di Kompleks Penha, kawasan padat kelas pekerja, warga menangisi sedikitnya 50 jenazah yang disusun di tanah. Jenazah-jenazah itu ditutup kain, beberapa berlumur darah, sementara keluarga korban berduka secara terbuka. Seorang perempuan menjerit di atas tubuh korban, dan dua anak kecil terlihat berpelukan setelah menyentuh wajah pria yang dibungkus kain bermotif bunga. Banyak jasad dibawa turun dari bukit tempat pertempuran paling sengit terjadi.
Seorang perempuan yang enggan disebut namanya mengatakan kepada AFP bahwa aparat datang bukan untuk menegakkan hukum, melainkan untuk membunuh.
“Negara datang untuk membantai, ini bukan [operasi] polisi. Mereka datang langsung untuk membunuh, untuk mengambil nyawa,” ujarnya.
Aktivis sekaligus warga setempat berusia 36 tahun, Raul Santiago, menuturkan kepada wartawan bahwa banyak korban dieksekusi dengan tembakan di kepala atau punggung, dan menilai tindakan itu tidak bisa dikategorikan sebagai keamanan publik. Pengacara yang mewakili tiga keluarga korban, Albino Pereira Neto, juga menyebut sejumlah jenazah memiliki luka bakar serta tanda ikatan di tubuh mereka.
3. PBB dan pemerintah Brasil serukan investigasi

Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku terkejut atas kekerasan tersebut dan menyerukan penyelidikan cepat terhadap operasi itu.
“Operasi mematikan ini melanjutkan tren konsekuensi mematikan ekstrem dari operasi polisi di komunitas-komunitas terpinggirkan Brasil. Kami mengingatkan otoritas tentang kewajiban mereka di bawah hukum hak asasi manusia internasional, dan mendesak investigasi yang cepat dan efektif,” kata lembaga itu, dikutip dari CNN.
Tim dari pemerintahan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dijadwalkan bertemu Gubernur Castro di Rio untuk membahas krisis tersebut. Menurut Menteri Kehakiman Brasil, Lula kaget dengan jumlah korban yang tinggi dan kecewa karena pemerintah federal tidak diberi tahu sebelumnya. Sementara itu, Komisi Hak Asasi Manusia legislatif negara bagian Rio yang dipimpin Dani Monteiro akan menuntut penjelasan mengenai bagaimana favela berubah menjadi medan perang.
Tahun lalu, sekitar 700 orang tewas dalam operasi polisi di seluruh Rio, rata-rata dua korban per hari. Razia di favela memang sering terjadi karena banyak wilayah miskin dikuasai geng narkoba, tetapi operasi kali ini tergolong paling besar dan paling mematikan. Red Command, kelompok kriminal tertua di Brasil, awalnya merupakan organisasi narapidana pada masa kediktatoran militer (1964–1985) dan kini mengendalikan perdagangan narkoba lintas negara. Aksi besar ini digelar menjelang Rio menjadi tuan rumah acara internasional, termasuk KTT Walikota Dunia C40 dan penyerahan Earthshot Prize pekan depan.


















