Seminggu Berlalu, Hasil Pemilu Thailand Masih Tak Menentu

Bangkok, IDN Times - Pemilu Thailand diselenggarakan pertama kali setelah lima tahun pada Minggu (24/3). Artinya, warga sudah menentukan pilihan seminggu yang lalu. Namun, hingga saat ini Komisi Pemilihan Umum setempat belum mengumumkan hasil resminya.
Masyarakat antikudeta pun turun ke jalan. Dengan dipimpin oleh sejumlah aktivis prodemokrasi, mereka menggalang petisi yang berisi tuntutan pemecatan tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum. Ini karena mereka yakin ada banyak kecurangan terjadi saat Pemilu berlangsung.
1. Komisi Pemilihan Umum dituduh melakukan kecurangan

Seperti dilaporkan Bangkok Post, sekitar 100 aktivis yang menamai diri mereka "Masyarakat yang Menginginkan Pemilu" meletakkan sebuah meja di salah satu gerai restoran cepat saji di mana orang-orang bisa menandatangani petisi itu pada Minggu (31/3).
Mereka menuduh tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum itu menjadi aktor di balik penundaan pengumuman hasil Pemilu. Ratusan aktivis tersebut juga menuding otoritas Pemilu telah melakukan manipulasi hasil pemungutan suara. "Keluar! Berhenti bermain curang! Hormati masyarakat!" teriak sejumlah demonstran seperti dilansir Reuters.
2. Sebanyak lebih dari 800.000 orang menandatangani petisi

Sebelumnya, seorang warganet sudah meluncurkan petisi online di situs change.org dengan misi yang sama. Menurut laporan, ada sekitar 830.000 orang yang telah menandatangani petisi tersebut.
Para aktivis mengatakan bahwa mereka ingin mengumpulkan tanda tangan warga di jalan untuk menambahkan jumlah mereka yang setuju dengan isi petisi.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum Thailand sejauh ini belum berkomentar sama sekali. Mereka hanya membantah rumor bahwa ada sebuah truk yang mengangkut surat suara untuk sengaja dihancurkan di sebuah wilayah.
3. Kelompok oposisi membentuk koalisi

Di tengah ketidakpastian, tujuh partai oposisi membentuk sebuah koalisi "front demokratis" pada Rabu (27/3). Mereka mengklaim telah memenangkan mayoritas kursi di DPR dan percaya akan berhak membentuk pemerintahan. Calon perdana menteri dari Partai Pheu Thai Sudarat Keyuraphan mengatakan koalisi mereka sanggup memperoleh setidaknya 255 kursi dari 500 yang ada.
"Kami mendeklarasikan bahwa front demokratis yang menolak pemerintahan militer mendapatkan suara mayoritas di DPR," ujarnya di hadapan para awak media. "Partai-partai yang berada di barisan front demokratis mendapatkan kepercayaan paling besar dari masyarakat," tambahnya.
4. Ketidakpastian disebabkan juga oleh peraturan

Setelah melakukan kudeta pada 2014, pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-ocha--saat ini menjadi perdana menteri--menuliskan ulang peraturan soal Pemilu. Berdasarkan aturan baru, butuh 376 kursi dari DPR dan Senat.
Koalisi oposisi sendiri diprediksi akan berhasil memperoleh lebih dari 250 kursi di DPR. Sedangkan Palang Pracharath Party (PRPP) yang merupakan partai pendukung Prayuth disebut mendapatkan 126 kursi. Persoalannya, ada 250 kursi di Senat yang hanya bisa diisi oleh orang-orang pro-pemerintahan militer sebab mereka tidak dipilih langsung oleh masyarakat.
5. Raja Thailand ikut bersuara

Partai Pheu Thai sendiri sudah lama dihubungkan dengan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Ia lengser dari jabatannya karena kudeta pada 2006 dan kini berada di pengasingan. Melihat kondisi yang tak stabil, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn memerintahkan petugas untuk mencabut seluruh dekorasi yang dipersembahkan untuk Thaksin.
Ini karena Thaksin dianggap sebagai figur yang korup dan bahwa kaburnya ia keluar negeri adalah sikap yang tidak tepat. Langkah Raja Thailand tersebut bisa secara negatif mempengaruhi citra Thaksin dan partai-partai yang dikaitkan dengannya. Apalagi komando seorang raja di Thailand berstatus lebih tinggi dari pemerintahan.


















