Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Semakin Berlarut, Ketegangan China-Jepang Terasa di KTT G20

Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi. (x.com/kantei)
Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi. (x.com/kantei)
Intinya sih...
  • Ketegangan diplomatik China-Jepang terlihat jelas di KTT G20.
  • Media pemerintah China menyoroti keterlambatan kedatangan Takaichi.
  • Ketiadaan dialog publik maupun tertutup memperburuk suasana diplomatik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi dan Perdana Menteri China Li Qiang hadir di lokasi yang sama saat KTT G20 di Johannesburg, namun keduanya tidak mengadakan pertemuan bilateral. Ketidakhadiran komunikasi langsung itu memperjelas besarnya ketegangan diplomatik yang tengah berlangsung antara Tokyo dan Beijing.

Situasi ini muncul di tengah meningkatnya konflik verbal antara kedua negara terkait isu Taiwan. Itu termasuk surat resmi China kepada PBB yang menuduh Jepang telah mengubah kebijakannya soal potensi pengerahan pasukan jika Taiwan diserang.

Tokyo menolak keras tuduhan tersebut, menyebutnya tidak berdasar dan menilai Beijing keliru menafsirkan pernyataan Takaichi. Posisi kedua pemimpin yang berjauhan di forum internasional semakin mempertegas memburuknya hubungan bilateral.

Tidak ada interaksi kedua pemimpin negara itu juga mencerminkan komunikasi diplomatik yang hampir berhenti antara dua kekuatan ekonomi terbesar di Asia meski keduanya masih memiliki ketergantungan ekonomi yang signifikan.

1. Tidak saling sapa di G20

ilustrasi bendera China (pexels.com/Zifeng Xiong)
ilustrasi bendera China (pexels.com/Zifeng Xiong)

China sebelumnya menyampaikan tidak ada rencana pertemuan antara Perdana Menteri Li Qiang dan Perdana Menteri Takaichi. Bahkan ketika keduanya berfoto bersama para pemimpin G20, jarak mereka terlihat mencolok.

Tidak adanya komunikasi langsung ini menunjukkan bahwa hubungan keduanya berada di titik rendah. Padahal, pertemuan bilateral seperti ini biasanya dimanfaatkan untuk menekan ketegangan saat situasi memanas.

Media pemerintah China menyoroti Takaichi yang disebut terlambat satu jam dalam kedatangannya. Kritik tersebut semakin memperburuk suasana diplomatik di antara kedua negara.

Ketiadaan dialog publik maupun tertutup membuat penyelesaian ketegangan bergantung pada jalur-jalur diplomatik tingkat menengah yang belum menunjukkan perkembangan berarti.

2. Tuduhan China soal Taiwan jadi sumber ketegangan

Bendera Taiwan (unsplash.com/xandreasw)
Bendera Taiwan (unsplash.com/xandreasw)

Dikutip dari Japan Times, Senin (24/11/2025), sumber utama ketegangan tetap berkisar pada tafsir Beijing terhadap komentar Takaichi mengenai kemungkinan pengerahan pasukan Jepang jika Taiwan diserang. China menilai komentar itu merupakan perubahan kebijakan fundamental.

Beijing menindaklanjuti hal tersebut dengan mengirim surat resmi ke PBB. Dalam surat itu, China memperingatkan bahwa Jepang akan menghadapi tindakan pembelaan diri yang tegas jika ikut campur dalam konflik Taiwan.

Jepang membantah tuduhan itu. “Klaim bahwa negara kami telah mengubah posisi adalah sepenuhnya tidak berdasar,” kata juru bicara pemerintah Maki Kobayashi. Ia menegaskan, penjelasan telah diberikan kepada China secara langsung.

Namun, hingga kini Beijing belum menunjukkan tanda-tanda menerima klarifikasi tersebut. Perbedaan tafsir itu menjadi alasan utama kedua pemimpin tidak membuka ruang komunikasi saat KTT.

3. Ketegangan merembet ke sektor ekonomi

potret bendera Jepang (pexels.com/Lara Jameson)
potret bendera Jepang dan bendera China (pexels.com/Lara Jameson)

Ketegangan politik juga memengaruhi agenda regional. China membatalkan pertemuan menteri kebudayaan dengan Jepang dan Korea Selatan yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung bulan ini.

Dampak ekonomi turut dirasakan. Wisatawan China mulai membatalkan perjalanan ke Jepang, sementara larangan impor makanan laut Jepang kembali diberlakukan di sejumlah wilayah China. Hal ini menambah ketidakpastian di antara dua ekonomi yang saling bergantung.

Beijing bahkan memperingatkan Jepang jika pihaknya berhak melakukan aksi militer langsung tanpa perlu persetujuan Dewan Keamanan PBB jika Jepang dianggap mengulang agresi historis.

Dalam responsnya, Jepang menekankan pentingnya menurunkan ketegangan. “Perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan sangat vital bagi keamanan nasional,” ujar Kobayashi, menegaskan kembali sikap Jepang yang tetap membuka ruang dialog.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

DPR Sahkan UU Pengolaan Ruang Udara, Atur Peran TNI AU Jadi Penyidik

25 Nov 2025, 11:56 WIBNews