Tarif AS, Konflik Myanmar dan Sengketa Laut China Selatan di KTT ASEAN

- Isu tarif AS, konflik di Myanmar, dan sengketa maritim di Laut China Selatan menjadi perbincangan utama
- Anwar Ibrahim memimpin KTT dan menekankan pentingnya kerja sama dengan mitra bersahabat dari kelompok tersebut
Jakarta, IDN Times - Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang terdampak kondisi dinamika geopolitik global yang kian kompleks. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-46 menjadi momen pembahasan sejumlah isu yang sangat dekat dengan ASEAN dan menghadirkan berbagai tantangan.
Dalam forum ini, para pemimpin negara anggota ASEAN menghadapi sejumlah isu strategis yang menuntut perhatian serius, mulai dari kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap mitra dagang Asia, konflik berkepanjangan di Myanmar, hingga ketegangan yang terus meningkat di Laut China Selatan.
Ketiga isu ini tidak hanya menguji solidaritas dan posisi bersama ASEAN, tetapi juga menyoroti tantangan besar dalam menjaga stabilitas, perdamaian, dan kerja sama ekonomi di kawasan.
1. Desak Trump selesaikan tarif di KTT ASEAN-AS mendatang

KTT ASEAN kali ini digelar di Kuala Lumpur, Malaysia. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim memimpin KTT tersebut. Dalam pernyataan pembukaannya, Anwar mengatakan, telah menulis surat kepada Presiden AS Donald Trump meminta KTT ASEAN-AS tahun ini guna menyelesaikan masalah tarif.
"Memang, transisi dalam tatanan geopolitik sedang berlangsung dan sistem perdagangan global berada di bawah tekanan lebih lanjut dengan penerapan tarif sepihak AS baru-baru ini," katanya, dilansir dari Anadolu, Senin (26/5/2025).
"Proteksionisme bangkit kembali saat kita menyaksikan multilateralisme yang hancur berantakan," tambahnya.
Negara-negara anggota ASEAN telah terkena tarif AS mulai dari 10 persen hingga 49 persen, tetapi Trump mengumumkan penghentian sementara tarif selama 90 hari bulan lalu. Hal ini mendorong negara-negara tersebut untuk segera memulai pembicaraan dengan Washington.
Sebelumnya, 10 negara anggota ASEAN juga sempat menyampaikan tidak akan membalas tarif resiprokal yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS). Pernyataan itu diungkapkan para menteri negara anggota melalui pernyataan bersama pada Kamis (10/4/2025).
"ASEAN berkomitmen untuk tidak mengenakan tindakan balasan apa pun sebagai respons terhadap tarif AS,” bunyi pernyataan itu, dilansir dari The Straits Times.
Untuk menghadapi kebijakan Trump, Indonesia sempat mengajak negara-negara ASEAN memperbaharui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), kerangka kerja sama AS dengan negara ASEAN. Harapannya, Trump bisa menurunkan tarif resiprokal pada produk-produk yang diekspor negara-negara ASEAN ke negeri Paman Sam itu.
“Karena kita TIFA sendiri secara bilateral ditandatangan di tahun 96 dan banyak isunya sudah tidak relevan lagi sehingga kita akan mendorong berbagai kebijakan itu masuk dalam TIFA,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/3/2025).
2. ASEAN lepaskan diri dari 'bayang-bayang' negara besar

Anwar mengatakan, ASEAN memiliki apa yang diperlukan untuk mengatasi ketegangan geopolitik yang berasal dari tindakan sewenang-wenang negara-negara besar. Menurutnya, kawasan Asia Tenggara selalu bergantung pada inklusivitas, supremasi hukum, dan perdagangan terbuka untuk tumbuh, tetapi kemakmuran kini terancam.
"Bagi ASEAN, perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kita sering kali bergantung pada tatanan internasional yang terbuka, inklusif, dan berbasis aturan yang berlandaskan pada arus perdagangan, modal, dan orang yang bebas," katanya.
Anwar menambahkan, fondasi-fondasi ini kini dibongkar di bawah kekuatan tindakan sewenang-wenang. "Namun sekali lagi, saya sangat percaya pada keteguhan dan daya tahan ASEAN untuk menahan angin sakal dan melewati badai tantangan dan ketidakpastian yang kita hadapi," katanya.
3. Pentingnya penguatan kerja sama, termasuk dengan China dan Negara Teluk

Anwar juga menekankan pentingnya memperkuat kerja sama dengan mitra-mitra yang bersahabat dari kelompok tersebut, dengan mencatat pentingnya KTT ASEAN-China-GCC. Pertemuan pertama itu dibuat atas dasar inisiatif Malaysia dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), karena China merupakan mitra ekonomi kawasan.
KTT tersebut juga mencakup Pertemuan Pemimpin ASEAN dengan Perwakilan Majelis Antar Parlemen ASEAN, Pertemuan Pemimpin ASEAN dengan Perwakilan Pemuda ASEAN, dan Pertemuan Pemimpin ASEAN dengan Perwakilan Dewan Penasihat Bisnis ASEAN.
Fokus utama hari itu adalah penandatanganan Deklarasi Kuala Lumpur tentang ASEAN 2045: Masa Depan Kita Bersama.
ASEAN adalah organisasi antarpemerintah internasional beranggotakan 10 negara yang terdiri dari Indonesia, Vietnam, Laos, Brunei, Thailand, Myanmar, Filipina, Kamboja, Singapura, dan Malaysia. Malaysia memangku jabatan ketua bergilir ASEAN pada 2025.
4. Peran AS belum bisa digantikan

Namun, ajakan China kepada negara-negara ASEAN untuk tidak menyepakati kebijakan yang dinilai merugikan China menempatkan blok ini dalam posisi sulit di antara dua kekuatan ekonomi raksasa dunia tersebut.
"Tidak ada yang bisa menggantikan peran AS. Kita bicara soal diversifikasi, tapi tak ada alternatif nyata," ujar Shahriman Lockman dari Institute of Strategic and International Studies.
Di Washington, beberapa negara ASEAN tengah menjajaki kesepakatan untuk meredam efek tarif baru yang diumumkan Trump bulan lalu. Namun, laporan yang diterima Lockman menyebut AS menolak pendekatan kolektif yang diusulkan Malaysia.
Meski kerja sama regional menguat lewat kunjungan lintas negara dan negosiasi perdagangan baru, tantangan tetap besar. Wakil PM Singapura Gan Kim Yong menyebut perkembangan ini menjanjikan, tapi memperingatkan bahwa hambatan dagang belum sepenuhnya teratasi.
“ASEAN sedang bernegosiasi untuk meningkatkan perjanjian perdagangan yang ada yang dapat memfasilitasi pungutan yang lebih rendah meskipun lebih dari 90 persen barang yang diperdagangkan di kawasan tersebut sudah bebas tarif,” jelasnya.
5. Hubungan ASEAN-China

Di sisi lain, hubungan antara ASEAN dengan China kian erat. Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden Xi Jinping mengunjungi Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, serta mempromosikan gagasan ‘keluarga Asia’ yang bersatu sebagai penyeimbang dominasi AS.
Tahun ini, Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, memperkuat poros ekonomi yang dipimpin China dan Rusia. Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga menyandang status mitra BRICS. Meski KTT kali ini lazimnya hanya dihadiri para pemimpin ASEAN, China mengirimkan Perdana Menteri Li Qiang. Namun, negara-negara Barat termasuk AS memilih absen.
Data Xinhua menunjukkan, nilai perdagangan ASEAN-China mencapai 982,3 miliar dolar Amerika Serikat tahun lalu — hampir dua kali lipat dibanding total perdagangan barang antara ASEAN dan AS yang tercatat 476,8 miliar dolar AS. ASEAN dan China juga telah merampungkan pembicaraan untuk memperkuat pakta perdagangan bebas, mencakup sektor digital, ekonomi hijau, hingga UKM.
“Saya melihat ini sebagai peluang yang sangat baik bagi kami untuk menunjukkan bahwa Malaysia adalah negara netral yang ingin berdagang dengan negara mana pun yang ingin berdagang dengan kami,” kata Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil.
Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyarankan agar ASEAN menyusun prinsip bersama sebagai acuan dalam negosiasi bilateral masing-masing negara dengan Washington, guna mencegah kerugian di kawasan. "Jika tidak, akan ada risiko siklus kalah-kalah di kawasan kita sendiri," katanya.