Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

UNGA 80: Diplomasi Moral dan Politik Bebas Aktif Indonesia

IMG_9397.jpeg
Logo UNGA di UNHQ, New York. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)
Intinya sih...
  • Indonesia aktif berpartisipasi dalam sidang Majelis Umum sejak bergabung sebagai anggota PBB pada 1950.
  • Pidato Indonesia selalu menekankan isu dekolonisasi, politik luar negeri bebas aktif, dan pembangunan berkelanjutan.
  • Prabowo menekankan pesan moral yang kuat dan pengalaman Indonesia dalam perjuangan melawan penjajahan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

New York, IDN Times - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly/UNGA) merupakan salah satu panggung diplomasi global yang paling prestisius dan berpengaruh. Setiap September, para pemimpin dunia berkumpul di markas besar PBB di New York untuk menyampaikan pandangan mereka mengenai situasi internasional, serta merumuskan agenda bersama dalam isu-isu perdamaian, keamanan, pembangunan, dan hak asasi manusia.

Tidak jarang, pidato di forum ini menjadi penanda arah kebijakan luar negeri suatu negara, sekaligus memberi pesan simbolik tentang bagaimana negara tersebut memposisikan diri dalam percaturan geopolitik global.

Bagi Indonesia, UNGA memiliki arti yang sangat strategis. Sejak pertama kali bergabung sebagai anggota PBB pada 28 September 1950, Indonesia telah menjadikan forum ini sebagai wadah untuk menyuarakan kepentingan nasional sekaligus solidaritas global, khususnya terkait isu kolonialisme, kedaulatan negara, serta keadilan internasional.

Dari pidato ikonik Presiden Soekarno pada 1960 yang berjudul To Build the World Anew, hingga pernyataan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo yang menekankan kerja sama multilateral untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, Indonesia selalu menggunakan panggung UNGA untuk memperlihatkan komitmen terhadap dunia yang damai dan adil.

Kini, pada Sidang Majelis Umum PBB ke-80 (UNGA 80) yang diselenggarakan pada September 2025, perhatian publik tertuju pada pidato perdana Presiden Prabowo Subianto. Sebagai presiden kedelapan Indonesia, Prabowo hadir di New York dengan membawa mandat baru dari rakyat setelah terpilih pada Pemilu 2024. Pidato beliau menjadi sorotan bukan hanya karena merupakan kesempatan pertama tampil di forum global sebesar UNGA, tetapi juga karena dianggap sebagai ujian awal dalam menunjukkan arah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinannya.

Perubahan kepemimpinan ini menghadirkan banyak pertanyaan, apakah Indonesia akan tetap menekankan prinsip politik luar negeri bebas aktif sebagaimana dijalankan selama ini? Apakah isu Palestina, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan masih menjadi prioritas? Bagaimana sikap Indonesia terhadap rivalitas Amerika Serikat dan China, serta terhadap isu-isu baru seperti kecerdasan buatan (AI) dan keamanan dunia?

1. Indonesia di Majelis Umum PBB

WhatsApp Image 2025-09-23 at 10.00.37.jpeg
Presiden, Prabowo Subianto bicara dalam High Level International Conference for the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two State Solution di sela kegiatan High Level Week UNGA di Markas Besar PBB, New York, Senin (21/9/2025). (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Indonesia resmi menjadi anggota PBB pada 28 September 1950, kurang dari lima tahun setelah memproklamasikan kemerdekaan. Keputusan ini tidak lepas dari pengalaman pahit bangsa Indonesia yang harus berjuang melalui forum internasional, termasuk PBB, untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendesak penghentian agresi militer Belanda dan memfasilitasi Konferensi Meja Bundar menjadi bukti nyata bahwa PBB berperan dalam proses internasionalisasi kemerdekaan Indonesia.

Sejak saat itu, Indonesia aktif berpartisipasi dalam berbagai sidang Majelis Umum. Pada masa Presiden Soekarno, pidato Indonesia selalu menekankan isu dekolonisasi dan solidaritas negara-negara yang baru merdeka. Puncaknya adalah pada 1960, ketika Soekarno menyampaikan pidato To Build the World Anew di UNGA ke-15, yang menyerukan reformasi tatanan dunia agar lebih adil dan setara. Pidato ini dianggap sebagai salah satu kontribusi penting Indonesia dalam wacana global.

Era setelahnya, di bawah Presiden Suharto, Indonesia lebih banyak menekankan pembangunan ekonomi dan kerja sama internasional. Pidato di UNGA sering digunakan untuk mempromosikan agenda pembangunan dan kerja sama Selatan-Selatan. Setelah reformasi, peran Indonesia di UNGA semakin menonjol, dengan isu-isu seperti demokrasi, perdamaian, perubahan iklim, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Ada beberapa isu konsisten yang selalu diangkat Indonesia di forum UNGA:

  • Palestina dan hak untuk merdeka

Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Hampir di setiap pidato presiden di UNGA, Indonesia menegaskan bahwa solusi dua negara harus diwujudkan dan bahwa pendudukan Israel adalah bentuk ketidakadilan internasional.

  • Politik luar negeri bebas aktif

Sejak era awal, Indonesia berusaha menjaga jarak dari blok-blok kekuatan besar. Prinsip bebas aktif membuat Indonesia bisa diterima sebagai suara negara berkembang sekaligus menjadi mediator dalam isu global.

  • Perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan

Sebagai negara kepulauan besar, Indonesia sering menekankan isu lingkungan dan keberlanjutan di UNGA. Pada masa Presiden Jokowi, isu ini semakin diperkuat, terutama dalam konteks Paris Agreement dan SDGs 2030.

  • Reformasi tata kelola global

Indonesia juga mendukung upaya reformasi PBB agar lebih demokratis, termasuk dalam struktur Dewan Keamanan PBB.

Secara geopolitik, Indonesia kerap digolongkan sebagai middle power. Artinya, Indonesia tidak memiliki kekuatan sebesar negara adidaya, tetapi cukup berpengaruh untuk membentuk agenda internasional melalui diplomasi multilateral. UNGA menjadi salah satu arena utama bagi Indonesia untuk memproyeksikan peran tersebut.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, serta posisi strategis di antara Samudra Pasifik dan Hindia, Indonesia memiliki modal diplomasi yang besar. Di UNGA, Indonesia sering berbicara mewakili kepentingan negara berkembang, baik melalui G77 maupun ASEAN.

2. Pidato perdana Presiden Prabowo di UNGA

WhatsApp Image 2025-09-22 at 23.15.05.jpeg
Presiden Prabowo Subianto telah memberikan pidatonya High Level International Conference for the Peaceful Settlement of the Questiom of Palestine and the Implementation of the Two State Solution di sela kegiatan High Level Week UNGA di Markas Besar PBB, New York, Senin (21/9/2025). (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 pada September 2025 menjadi salah satu sorotan besar. Dunia ingin mendengar bagaimana Indonesia melihat kondisi global saat ini dan kontribusi apa yang bisa diberikan.

Sejak awal, Prabowo menekankan pesan moral yang kuat: semua manusia diciptakan setara. Ia mengutip semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan menghubungkannya dengan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Bagi Prabowo, pengalaman Indonesia dijajah selama berabad-abad menjadi alasan kuat mengapa Indonesia begitu peka terhadap isu keadilan dan kemanusiaan.

Ia menggambarkan penderitaan rakyat yang dulu bahkan dianggap lebih rendah dari anjing di tanah sendiri. Dari pengalaman pahit itu, kata Prabowo, lahir keyakinan bahwa solidaritas internasional penting untuk melawan ketidakadilan.

Prabowo menegaskan, Indonesia bisa berdiri tegak seperti sekarang salah satunya berkat dukungan PBB. Lembaga ini, menurutnya, telah memainkan peran penting melalui Dewan Keamanan, Majelis Umum, maupun badan-badan khusus seperti UNICEF, FAO, dan WHO. Oleh karena itu, ia mengajak dunia untuk menjaga dan memperkuat PBB, bukan melemahkannya.

Di bagian lain pidatonya, Prabowo menggambarkan kondisi dunia dengan bahasa yang tajam. Ia menyoroti genosida, perang, pelanggaran hukum internasional, hingga rasisme yang masih berlangsung di berbagai tempat. Menurutnya, hal ini adalah paradoks besar: di era ketika teknologi dan ilmu pengetahuan sudah maju, manusia justru masih berkutat pada kebencian dan kekerasan.

Salah satu janji terbesar dalam pidato ini adalah kesiapan Indonesia untuk mengirim hingga 20.000 pasukan penjaga perdamaian PBB. Tawaran itu diarahkan untuk Gaza, tetapi juga bisa ke wilayah konflik lain seperti Ukraina, Sudan, atau Libya. Dengan pernyataan ini, Indonesia menegaskan diri ingin menjadi bagian penting dalam menjaga perdamaian dunia, bukan sekadar penonton.

Pidato Prabowo juga memberi perhatian besar pada krisis kemanusiaan di Gaza. Dengan nada emosional, ia menanyakan: siapa yang akan menyelamatkan rakyat sipil di sana? Apakah dunia akan terus diam?

Yang menarik, Prabowo juga menekankan bahwa selain memperjuangkan kemerdekaan Palestina, keamanan Israel harus dijamin. Sikap ini sejalan dengan gagasan solusi dua negara yang banyak dibicarakan di dunia internasional. Dengan menekankan kedua sisi, Indonesia membuka peluang untuk tampil sebagai jembatan dalam konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun ini.

Prabowo kemudian menyinggung soal ketahanan pangan. Ia menyatakan Indonesia sudah mencapai swasembada beras dan bahkan mulai mengekspor ke negara-negara lain, termasuk Palestina. Hal ini ditampilkan bukan hanya sebagai pencapaian ekonomi, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas internasional. Indonesia ingin dikenal sebagai negara yang bisa berbagi, apalagi di tengah dunia yang masih menghadapi ancaman krisis pangan.

Dalam isu perubahan iklim, Prabowo membawa pesan optimisme. Ia menyebut rencana pembangunan tanggul laut raksasa di utara Jakarta untuk menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut, program rehabilitasi 12 juta hektare hutan, serta target mencapai emisi nol bersih pada 2060—bahkan lebih cepat jika memungkinkan. Ia juga menekankan, transisi energi dari fosil ke energi terbarukan akan mulai dijalankan segera. Pesan yang ingin ditegaskan: Indonesia ingin menjadi bagian dari solusi global dalam menghadapi krisis iklim.

3. Pujian untuk Prabowo dalam pidatonya

WhatsApp Image 2025-09-23 at 10.00.38 (1).jpeg
Presiden, Prabowo Subianto bicara dalam High Level International Conference for the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two State Solution di sela kegiatan High Level Week UNGA di Markas Besar PBB, New York, Senin (21/9/2025). (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, menyampaikan bahwa pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) ke-80 pada September 2025 mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Menurut Sugiono, sejumlah kepala negara bahkan secara langsung menyampaikan pujian kepada Indonesia, termasuk mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Pujian itu menandakan bahwa pesan yang dibawa Prabowo tidak hanya menggema di ruang sidang PBB, tetapi juga meninggalkan kesan di hati para pemimpin dunia. Pidato ini juga menuai beragam analisis dari para pengamat hubungan internasional di Tanah Air.

Prof. Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia menilai pidato Prabowo sarat dengan gaya retoris yang mengingatkan pada era Soekarno. Menurutnya, penggunaan kutipan sejarah dan bahasa emosional memang bisa menggugah, tetapi harus diikuti dengan diplomasi praktis.

Ia menyebut pidato ini sebagai grand strategy speech yang memberi arah besar, namun menekankan bahwa dunia akan menilai dari implementasinya. “Namun, retorika harus diimbangi dengan diplomasi praktis. Dunia akan menunggu bukti, bukan hanya kata-kata. Kalau tidak diikuti langkah nyata, Indonesia hanya akan dikenal sebagai pengobar semangat, bukan pelaksana kebijakan,” ujarnya.

Pengamat internasional lainnya, Dinna Praptorahardja, menyebut pidato Prabowo berhasil membangun citra moral Indonesia. Ia menilai pernyataan soal menjamin keamanan Israel di samping perjuangan Palestina adalah langkah berani yang membuka ruang baru bagi Indonesia sebagai mediator. “Tapi, kita tidak boleh lupa, posisi ini bisa memicu kritik di dalam negeri, mengingat isu Palestina sangat sensitif bagi publik Indonesia,” ingat Dinna.

Sementara itu, Yon Machmudi, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, menilai pernyataan Prabowo tentang Israel cukup mengejutkan. Baginya, itu adalah sinyal bahwa Indonesia siap tampil sebagai ‘jembatan kepercayaan’ antara Palestina dan Israel.

Meski demikian, ia memperingatkan bahwa posisi moderat ini bisa memunculkan resistensi di dalam negeri dari kelompok yang menganggap dukungan Indonesia kepada Palestina harus mutlak tanpa syarat.

4. Tantangan Indonesia ke depan

IMG_0518.jpeg
Menlu Sugiono dalam kegiatan UNRWA di sela UNGA . (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Meski pidato Prabowo Subianto di UNGA ke-80 penuh dengan janji besar dan visi yang ambisius, tantangan implementasi tetaplah signifikan. Pertama-tama, soal kapasitas domestik. Pernyataan kesiapan mengirim hingga 20.000 pasukan penjaga perdamaian tentu terdengar impresif di forum internasional, tetapi pertanyaannya adalah apakah Indonesia benar-benar memiliki kemampuan logistik, finansial, dan infrastruktur militer yang cukup untuk menopang komitmen sebesar itu.

Pengiriman pasukan dalam skala besar bukan hanya soal jumlah personel, tetapi juga menyangkut biaya, dukungan teknologi, serta kesiapan diplomasi di lapangan. Selain itu, diplomasi Indonesia juga dituntut untuk lebih terkoordinasi.

Peran yang lebih besar di panggung internasional tidak bisa dilakukan secara ad-hoc, melainkan membutuhkan strategi jangka panjang yang terencana. Kementerian Luar Negeri harus diperkuat baik dalam hal sumber daya manusia maupun dukungan anggaran agar mampu mengawal komitmen yang sudah diumumkan presiden. Tanpa koordinasi yang matang, pidato yang penuh janji bisa berakhir hanya sebagai simbol retorika.

Di dalam negeri, konsolidasi politik juga tidak kalah penting. Setiap langkah besar yang diambil di luar negeri akan selalu mendapat sorotan publik, apalagi jika menyangkut isu sensitif seperti Palestina dan Israel. Dukungan penuh kepada Palestina selama ini sudah menjadi konsensus publik Indonesia, sehingga pernyataan Prabowo yang juga menyinggung keamanan Israel bisa menimbulkan perdebatan di tingkat domestik. Pemerintah harus mampu menjelaskan posisi Indonesia agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang justru melemahkan legitimasi politik luar negeri.

Di atas semua itu, dinamika global menjadi faktor penentu lain yang tidak bisa diabaikan. Rivalitas kekuatan besar—antara Amerika Serikat dan China, atau antara Rusia dan Barat—akan selalu membatasi ruang gerak negara menengah seperti Indonesia. Dalam situasi tersebut, politik luar negeri bebas aktif harus dijalankan dengan cermat agar tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan blok besar.

5. Menanti bukti bukan hanya janji

WhatsApp Image 2025-09-26 at 13.19.06 (3).jpeg
Menlu Sugiono dalam pertemuan DK PBB membahas AI. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Pidato Presiden Prabowo di UNGA ke-80 pada akhirnya bukan sekadar penegasan posisi Indonesia di forum internasional, tetapi juga sebuah pernyataan tentang arah masa depan. Lewat pidatonya, Prabowo ingin menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas sekaligus legitimasi untuk berperan lebih besar di dunia.

Namun, seperti yang diingatkan sejumlah pengamat, pidato hanyalah titik awal. Visi besar yang disampaikan perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata, langkah diplomasi yang konsisten, serta kesiapan domestik yang memadai. Dunia kini menaruh harapan pada Indonesia, tetapi juga akan mengukur kesungguhan komitmen itu melalui tindakan di lapangan—apakah dalam bentuk pasukan perdamaian, solidaritas pangan, atau aksi iklim yang berkelanjutan.

Di tengah rivalitas kekuatan besar dan ketidakpastian global, Indonesia masih harus menavigasi banyak tantangan. Tetapi justru di ruang-ruang sempit itulah kesempatan hadir, menjadi suara moral, sekaligus aktor yang dapat mempertemukan perbedaan. Pidato Prabowo di New York memberikan sinyal bahwa Indonesia ingin mengambil peran itu. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa jauh bangsa ini mampu menjaga konsistensi antara kata dan tindakan, antara idealisme dan realitas. Jika mampu, Indonesia bukan hanya akan didengar, tetapi juga diikuti.

Share
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Skandal Busuk Pemerasan di Kemnaker, Urus Izin Harus Setor Pelicin

30 Sep 2025, 21:00 WIBNews