[OPINI] Film Keluarga Cemara & Kapitalisme yang Tak Mau Disalahkan

Sebuah pendapat dari seorang penonton

Sebenarnya lama sebelum film ini dirilis, saya memang berkeinginan untuk menontonnya bersama keluarga, baru beberapa hari yang lalu, keinginan itu kesampaian. Sesuai dengan judulnya, "Keluarga Cemara", film yang diangkat dari sinetron RCTI, yang populer pada tahun 90-an ini berkisah tentang sebuah keluarga kecil. Ide cerita film dan sinteron tersebut sebenarnya berasal dari novel "Keluarga Cemara", karangan Arswendo Atmowiloto, yang sebelumnya berupa cerbung (cerita bersambung) rutin di majalah Hai.

Film yang diproduksi oleh Visinema dan disutradarai oleh Yandi Laurens ini, dirilis serentak di berbagai bioskop di Indonesia, pada tanggal 3 Januari 2019. Tokoh-tokoh sentral dalam film ini, ada 4 orang, yaitu, Abah (ayah), yang diperankan oleh Ringgo Agus Rahman, Emak (ibu), diperankan oleh Nirina Zubir, Euis (anak sulung), diperankan oleh Adhisty Zara (Zara JKT 48), dan terakhir, adalah Ara/Cemara, diperankan oleh Widuri Putri Sasono.

Alur ceritanya, pada dasarnya bercerita tentang Abah dan keluarganya, yang awalnya hidup bergelimang kemewahan. Abah, seorang pengusaha sukses di Jakarta, tiba-tiba usahanya bangkrut, karena iparnya, Kang Fajar melakukan spekulasi bisnis, yang gagal, atas nama perusahaan, dengan surat kuasa yang telah ditandatangani Abah. Hal yang membuat, semua kas perusahaan, dibawa Kang Fajar, untuk menutupi sebagian hutang akibat kerugian dari kegagalan tersebut. Untuk menutupi kekurangan pembayaran hutang, rumah mewah yang ditempati oleh Abah dan keluarga kecilnya, harus disita oleh rentenir dan segerombolan debt collector, yang tidak disebutkan namanya dalam film. Untungnya, Abah masih memiliki warisan rumah di sebuah desa yang dikelilingi pohon cemara di Bogor. Ke sanalah mereka kemudian pindah dari rumah mewah mereka di Jakarta, ke sebuah rumah tua, di tengah hutan cemara.

Secara keseluruhan, cerita film ini berkisah tentang bagaimana keluarga cemara beradaptasi dengan kehidupan baru mereka, yang jauh berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya. Konflik-konflik kecil kadang terjadi dalam keluarga kecil tersebut, seperti Euis yang dilarang dan dimarahi Abah, untuk menemui teman-teman lamanya di pusat kota Bogor, dan Euis yang protes pada Abah, karena dianggap tak pernah menepati janjinya, dan lainnya.

Sebenarnya, kalau dilihat lebih dalam sedikit, kisah “Keluarga Cemara” ini sebenarnya bercerita tentang proses proletarisasi dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme, adalah suatu sistem ekonomi yang mengutamakan besaran kepemilikan modal, sebagai syarat utama untuk mendominasi kehidupan. Sederhananya, siapa yang modalnya paling banyak, itulah yang menang dalam hidup yang selalu penuh persaingan. Bagi kaum yang tak bermodal, atau proletariat, satu-satunya pilihan untuk mereka adalah menjual tenaga dan pikirannya dengan bekerja pada pemodal, atau kapitalis borjuis.

Abah yang awalnya juga adalah seorang pengusaha atau pemilik modal (pemodal), harus bangkrut, karena persaingan bisnis, atau persaingan antar pemodal (kapitalis). Kalau dalam versi cerita aslinya, Abah bangkrut karena kesalahan karyawannya, atau buruhnya. Untungnya dalam versi film, alur yang menyalahkan buruh sebagai penyebab kebangkrutan, digantikan dengan spekulasi bisnis yang gagal, hal yang membuat cerita film ini lebih realistis dibanding versi aslinya.

Untuk menyambung hidup keluarganya, dalam versi film digambarkan bahwa Abah harus bekerja sebagai buruh bangunan, ia kemudian harus berhenti karena kakinya patah akibat kecelakaan yang dialaminya saat sedang bekerja. Setelah sembuh, Abah bekerja sebagai tukang ojek online, di bawah naungan perusahaan ojek online, Go-Jek, yang juga adalah salah satu sponsor film ini.

Akan tetapi, dalam dialog terlihat kesan bahwa kapitalisme tak mau dipersalahkan sebagai penyebab kebangkrutan dan kesengsaraan yang dialami oleh Abah dan keluarganya. Si Rentenir yang menyita rumah mereka sempat berkata, “Bukan saya yang jahat di sini Pak”, sembari melihat ke arah Kang Fajar, yang sedang berdiri termenung di pojok teras. Selain itu, kapitalis lain, yaitu Tante Pressier, yang berkeinginan membeli rumah mereka di hutan cemara tersebut, juga diceritakan tak mau disalahkan, karena Abah sudah tandatangan surat jual beli, dan dia sudah membayar uang muka. Kurang begitu dijelaskan, apakah yang bersangkutan kemudian luluh setelah melihat air mata Ceu Salma, yang bilang “Kasihan Tante, rakyat kecil”, atau ada deal lain antara Tante Pressier dengan Abah. Yang jelas, Abah kemudian bisa mengambil sertifikat tanah mereka kembali, yang disambut gembira oleh Emak, Euis, dan Ara.

Tak ada juga digambarkan sikap protes, yang seharusnya dilakukan oleh Abah terhadap rentenir yang berlaku sewenang-wenang dalam menyita rumah mereka, membentak istri dan anak-anaknya, yang salah satunya tengah berulang tahun (Euis). Selain itu, Abah juga digambarkan tidak protes pada mandor yang mempekerjakannya sebagai buruh bangunan, karena ketiadaan jaminan atas keselamatan kerja. Tak ada santunan sama sekali, yang seharusnya diberikan oleh si mandor, atas kecelakaan kerja yang dialami Abah. Yang ada malah Abah yang protes dan marah pada Euis, yang dianggap hanya suka main, padahal keseharian dia berjualan opak, yang digoreng Emak, di sekolah.

Begitulah, kesadaran sejati yang seharusnya dimiliki oleh seorang proletariat, yaitu bahwa dirinya ditindas dan dihisap oleh kapitalisme, pihak yang seharusnya protes si proletariat diarahkan, dalam cerita “Keluarga Cemara” ini ditiadakan. Pada akhirnya, sebagian penonton pun hanya bisa mengucurkan air mata, akibat sedih melihat ketertindasan yang dialami oleh Abah dan keluarga kecilnya ini. Sebagiannya lagi, yaitu penonton yang lebih rasional, tentu akan kesal dan marah pada para kapitalis, yang bertindak sewenang-wenang pada Abah dan keluarganya, serta pada Abah yang hanya menerima begitu saja penindasan yang dialaminya.

Pada kenyataannya, sebenarnya beginilah kondisi kesadaran rakyat di Indonesia, secara umum. Kapitalisme tidak dianggap sebagai sebuah sistem yang harus dilawan dan diubah menjadi sistem yang lebih manusiawi, tetapi dianggap sebagai sistem yang harus diterima begitu saja, walaupun telah terbukti menyengsarakan hidup mayoritas rakyat. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian rakyat masih menaruh kepercayaan besar pada para elit borjuis, dan menganggap bahwa elit yang mereka dukung dalam politik elektoral, akan memberikan kesejahteraan pada mereka. Sementara, sebagian lain, yang tidak mendukung elit manapun, hanya diam saja dan menjalani hidup apa adanya, tanpa protes, tanpa berontak, paling banter hanya mengolok-olok politik elektoral, seperti yang dilakukan oleh para pengusung Nurhadi-Aldo, capres dan cawapres fiktif.

Akhir kata, walau bagaimanapun, film “Keluarga Cemara”, telah menyuguhkan tontonan yang berbeda daripada film-film Indonesia lainnya, yang kebanyakan hanya menceritakan kisah-kisah horor, yang tak masuk akal, kehidupan jetset kelas atas (borjuis), percintaan yang lebay, dengan latar luar negeri, yang terkesan maksa. Oleh karena itu, film ini sangat direkomendasikan sekali untuk ditonton bersama keluarga, atau orang-orang terdekat.

Baca Juga: [OPINI] Menilai Unsur Seksualitas Dalam Sila Ke-5 Pancasila

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya