Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Nonmuslim tapi Ikutan Mudik Sambil Road Trip 48 Jam, Seru!

ilustrasi mudik Lebaran (pexels.com/RDNE Stock project)

Terlepas dari agama dan rasnya, Lebaran menjadi salah satu momen besar yang dirayakan seluruh masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan saya yang menganut Katolik. Kala itu, saya masih duduk di bangku SD dan ikut mudik alias pulang ke kampung halaman dari Bandung, tempat tinggal kami.

Kampung halaman saya ada dua. Keluarga mama di Yogyakarta, sementara keluarga ayah ada di Probolinggo. Biar adil, kami menggunakan mobil untuk melakukan road trip menyusuri pulau Jawa. Keseruannya? Bisa kamu baca pada tulisan berikut ini.

1. Ikut merasakan suasana mudik ke kampung halaman

ilustrasi rumah di kampung halaman (IDN Times/Elizabeth Chiquita)

Ketika masa libur Lebaran tiba, saya dan orangtua yang tinggal di Bandung memutuskan untuk ikut meramaikan jalan dengan mudik ke Klaten dan Probolinggo. Ayah yang memang suka mengendarai mobil, dan juga takut naik pesawat, akhirnya memilih road trip.

Rute kali ini dimulai menuju Probolinggo, lalu Bali (namanya juga liburan), kemudian sambil jalan pulang, kami mampir ke Klaten. Terdengar panjang, tapi saat itu libur Lebaran sekolah juga panjang. Kuingat, hampir satu bulan.

Baju? Cek.
Oleh-oleh dari Bandung? Cek.
Service mobil? Cek.
Membeli perbekalan? Cek.

Yang terakhir itu paling seru, karena semua snack bisa saya masukkan ke dalam keranjang, dengan dalih takut lapar di jalan. Sehari sebelum Lebaran pertama, kami berangkat.

2. Menghabiskan waktu di jalan selama 48 jam

Tahun 2012 mana ada Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu)! Yang tersedia adalah Jalan Nagreg. Bentuknya yang melingkar-lingkar melekat di otak dan membuat saya mabuk perjalanan.

Kala memasuki jalan tersebut, ayah sudah mewanti-wanti untuk tidur terlebih dahulu supaya tak mual. Saya menurut. Namun setelah tidur yang saya rasa telah lewat beberapa jam, mobil kami ternyata masih menanjak dan berada di Jalan Nagreg. Di depan, barisan mobil dan truk berhenti. Saya kira sebentar, ternyata sampai berjam-jam.

Selain Jalan Nagreg, ada jalan-jalan macet lainnya saat melewati kabupaten dan kota. Sangat terpatri di memori saat ayah mengomel bagaimana dia menghabiskan waktu selama 48 jam untuk menuju Probolinggo. Sebagai catatan, dahulu jarak normal Bandung-Probolinggo hanya sekitar 18 jam via jalur darat. Bisa dibuat lebih cepat, karena ayah suka mengebut bak pembalap.

Selama dua hari itu, saya sempat menumpang ganti baju dan mandi di rest area. Beberapa kali juga ayah ikut meluruskan kakinya sebentar sambil tidur, kemudian minum kopi agar bisa lanjut menginjak gas.

Obrolan juga terus bergulir, mulai dari yang penting seperti masa depan saya sampai tak penting kayak, 'Kenapa SM*SH personilnya 7 orang?.' Intinya, harus ngobrol supaya tidak mengantuk, deh.

Keluarga kami juga suka sekali makan. Kesempatan untuk kulineran di beberapa titik pun gak dilewatkan. Mencoba makanan di setiap kota atau kabupaten yang dilalui.

Duh, rindu soto Lamongan dengan bubuk koyanya. Atau tempe mendoan yang lebarnya sebesar kertas HVS dan dihidangkan dengan sambal kecap. Huu, lapar!

3. Rindu road trip, tapi tenaga sudah tak ada

Sudah berselang belasan tahun dari momen itu, saya rindu dengan road trip bersama orangtua. Sayangnya, mereka kini sudah berusia setengah abad. Terakhir pulang ke Klaten pada tahun lalu, ayah lebih memilih untuk membuka aplikasi dan memesan tiket kereta api.

Setidaknya, saya memiliki banyak kenangan kala mudik dengan jalur darat. Kalau kata generasi saya, Gen Z, trip tersebut sudah jadi core memory. 

Kalau kamu, apa momen nostalgia saat Lebaran?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zahrotustianah
Elizabeth Chiquita Tuedestin Priwiratu
Zahrotustianah
EditorZahrotustianah
Follow Us