Ramadan dan Solidaritas: Saat Lapar Mengajarkan Rasa Empati

Jakarta, IDN Times - Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, puasa menjadi pengalaman spiritual yang mendalam, mengajarkan kesabaran, keteguhan, dan yang paling penting adalah rasa empati.
Saat seseorang berpuasa, ia merasakan bagaimana rasanya tidak makan dan minum dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Di balik rasa lapar itu, terselip pelajaran berharga di mana ada banyak orang di luar sana yang mengalami ini setiap hari, bukan sebagai ibadah, tetapi karena keterbatasan ekonomi.
Dalam keseharian, kita mungkin jarang benar-benar memahami penderitaan mereka yang kekurangan. Rutinitas yang padat, gaya hidup yang nyaman, serta kemudahan mengakses makanan membuat kita cenderung mengabaikan realitas bahwa banyak orang yang harus berjuang untuk satu kali makan. Ramadan memberi kesempatan untuk merasakan hal tersebut, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional.
Ironisnya, di tengah pesan kesederhanaan Ramadan, saya masih menemukan fenomena flexing di media sosial. Banyak orang berlomba-lomba memamerkan momen berbuka di restoran mewah, hamper Lebaran yang mahal, hingga outfit spesial Hari Raya.
Padahal, dewasa ini masih banyak pengguna media sosial yang belum matang secara finansial dan emosional. Mereka bisa saja mengikuti gaya hidup hedon dengan kondisi keuangan yang minimalis, tanpa menyadari dampaknya bagi diri sendiri di masa depan. Ramadan seharusnya menjadi pengingat bahwa esensi kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan, melainkan dari kebersamaan dan ketulusan dalam berbagi.
Sebagai figur publik yang memiliki pengaruh besar, para influencer seharusnya lebih bijak dalam membuat konten, terutama selama Ramadan. Alih-alih memamerkan gaya hidup mewah yang bisa memicu perilaku konsumtif di kalangan pengikutnya, mereka bisa menggunakan platformnya untuk menyebarkan pesan yang lebih bermanfaat.
Misalnya, berbagi kisah inspiratif tentang makna Ramadan, mengedukasi pentingnya berbagi dengan sesama, atau memberikan tips menjalani ibadah dengan lebih maksimal. Dengan pengaruh yang mereka miliki, para influencer bisa menjadi agen perubahan yang positif.
Konten yang mengangkat nilai-nilai kebaikan, empati, dan kesederhanaan akan jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar menampilkan kemewahan. Ramadan adalah momen refleksi, dan seharusnya media sosial juga bisa mencerminkan hal tersebut—bukan sekadar tempat untuk unjuk diri, tetapi juga ruang untuk menebarkan manfaat bagi banyak orang.
Puasa mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap sekitar, bukan sekadar menahan diri dari rasa lapar dan haus, tetapi juga dari sikap berlebihan. Bulan suci ini adalah momen yang tepat untuk memperbanyak amal, berbagi dengan sesama dan menjalani hidup lebih sederhana.
Jika ada yang perlu kita pamerkan di media sosial, mungkin bukan tentang seberapa mewah hidangan berbuka, melainkan seberapa banyak kita bisa membantu mereka yang membutuhkan. Ramadan bukan tentang menonjolkan diri, tetapi tentang merendahkan hati.