[OPINI] Frugal Living: Hemat Tanpa Kehilangan Gaya

- Frugal living menjadi solusi di era konsumtif dan FOMO
- Gaya hidup hemat bukan berarti tidak menikmati hidup, melainkan menerapkan smart choice demi menjalankan hidup yang terbaik
- Pentingnya edukasi keuangan sejak dini, khususnya bagi generasi muda dan mahasiswa
Saat ini, kita tinggal di era ketika setiap momen dapat disebarkan ke media sosial dan gaya hidup kerap menjadi tolok ukur kebahagiaan. Smartphone baru, pakaian baru hingga kebiasaan membeli kopi dari cafe kekinian menjadi tanda kesuksesan yang mewakili gaya hidup. Seakan-akan menjadi sesuatu yang tidak boleh terlewat.
Hampir setiap hari, media sosial dipenuhi oleh pemandangan berupa deretan foto liburan ke destinasi eksotis, atau unboxing barang-barang baru. Di dunia yang serba terhubung, banyak dari kita yang merasa harus mengikuti alur gaya hidup mewah agar tidak ketinggalan. Kebiasaan satu klik di e-commerce membawakan rasa puas sesaat dan kadang penyesalan di akhir. Fear of missing out (FOMO) merupakan fenomena yang mendorong generasi muda untuk terus mengonsumsi, meski terkadang tidak sesuai kemampuan finansial.
Terkait FOMO, Gen Z kerap disorot akan fenomena ini. Di era serba cepat ini, Gen Z yang hidup berdampingan dengan perkembangan teknologi sedang menghadapi tantangan keuangan yang unik. FOMO menjadi salah satu tantangan keuangan Gen Z di era digital. Melansir dari Kompas Media, hasil survei Financial Fitness Index 2024 mengungkap bahwa 4 dari 10 kaum muda urban menerapkan kebiasaan menabung untuk barang impian yang bermerek dan menonton konser. Kesenangan konsumsi kebutuhan tersier itu tercukupi tidak hanya dari dana simpanan saja, tetapi sampai berhutang dari orang-orang terdekat
Di tengah budaya konsumtif yang merambat, muncul sebuah arus balik yang menjadi solusi yaitu frugal living atau hidup hemat dengan cerdas

Menghemat atau hidup serba hemat sering kali dianggap sebagai suatu kegiatan yang dilatar belakangi oleh keterbatasan. Namun, nyatanya tak selalu demikian. Orang dengan gaya hidup hemat, bukan berarti tidak menikmati hidupnya, melainkan menerapkan smart choice demi menjalankan hidup yang terbaik.
Topik inilah yang menjadi salah satu sorotan dalam Indonesia Summit 2025 bertajuk “Spend Wisely, Live Fully: The Frugal Living Formula for Financial Freedom.” Dalam sesi diskusi tersebut, dua narasumber berbagi sudut pandang dan pengalaman mereka. Narasumber pertama adalah Cinta Laura Kiehl seorang entertainer dan social-preneur aktif mengadvokasi gaya hidup berkelanjutan. Narasumber selanjutnya yaitu Phillip Mulyana, selaku financial coach dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dalam edukasi keuangan keluarga dan anak muda.
Menurut Cinta, banyak orang yang berpikir bahwa kebebasan finansial berarti bisa membeli apapun yang diinginkan. Padahal kebebasan finansial sejati adalah ketika kita tidak lagi cemas terhadap kebutuhan dasar dan bisa menikmati hidup tanpa tekanan hutang. Pernyataan Cinta menampar banyak realita keadaan finansial anak muda. Selama ini, mayoritas kesuksesan sering diartikan melalui sejumlah barang mewah yang dimiliki.
Phillip Mulyana menambahkan bahwa kebebasan finansial bukan tujuan akhir, melainkan proses pengelolaan diri. Ketika seseorang mampu mengendalikan pengeluarannya, melatih disiplin, dan kesadaran diri, tidak hanya sekadar menghemat uang. Cinta juga menegaskan, hidup berkecukupan tak berarti hidup berlebihan. Frugal living bukan berarti pelit, melainkan memilih dengan kesadaran. Memilih mana yang benar-benar penting dan mana yang hanya mengikuti keinginan sesaat.
Setiap orang tentunya memiliki tujuan untuk menjalani hidup yang sejahtera agar dapat bahagia. Namun, cara untuk mewujudkannya pasti berbeda-beda, salah satu pilihan yang kini banyak dicontoh adalah dengan menerapkan Frugal Living atau keseharian hidup hemat yang sering disalahartikan hidup pelit bahkan kurang mampu.
Nyatanya, orang yang menerapkan Frugal Living bukan berarti tidak menikmati hidupnya dengan senang, melainkan menjalankan hidup cerdas dalam mengelola keuangan baik pemasukan maupun pengeluaran dengan bijak. Frugal Living juga berpotensi menjauhkan kita dari FOMO sehingga orang dapat lebih menikmati hidup tenang yang nyaman, seperti meluangkan waktu dengan keluarga, mengembangkan diri, dan masih banyak hal lainnya tanpa harus membandingkan kemampuan dan terjebak dalam gaya hidup impulsif.
Tekanan digital dan budaya konsumtif

Topik diskusi berlanjut ke persoalan dorongan konsumsi impulsif akibat digitalisasi. Dengan menggenggam smartphone masing-masing, ribuan iklan menunggu untuk menggoda. Promo flash sale, konten unboxing influencer hingga diskon musiman yang membuat konsumen tergoda untuk membeli, meski belum tentu butuh.
Melansir pernyataan Cinta, masalahnya tidak tertera pada kemampuan finansial, tetapi tekanan sosial. Media sosial membuat masyarakat merasa harus mempunyai hal yang sama dengan orang lain, walaupun sering kali hanya permukaannya saja. Phillip pun menekankan perilaku konsumtif di era digitalisasi yang berhubungan dengan minimnya literasi keuangan dan persoalan psikologis. “Kita terbiasa mencari validitas lewat konsumsi. Padahal rasa puas yang muncul dari belanja impulsif itu hanya sementara dan sering digantikan rasa bersalah setelahnya,” ungkapnya.
Topik selanjutnya yang menjadi salah satu poin penting yang muncul dalam diskusi adalah pentingnya edukasi keuangan sejak dini. Ditegaskan oleh Cinta, “Anak muda di daerah juga harus punya akses ke pengetahuan ini. Mereka juga menghadapi godaan konsumsi yang sama.” Literasi finansial tidak boleh menjadi hak istimewa bagi mereka berpendidikan tinggi. Edukasi ini, tidak hanya mengenai angka dan tabungan, tetapi juga mindset.
“Sekolah kita mengajarkan banyak hal, tetapi tidak mengajarkan cara mengelola uang dengan sehat,” sahut Phillips. “Padahal kemampuan mengatur uang adalah keterampilan hidup yang menentukan masa depan seseorang.”
Gagasan frugal living yang dibagikan oleh Cinta dan Phillip realitanya bukan sekadar teori yang menghibur di atas panggung. Prinsip gaya hidup hemat dan cerdas itu kini mulai diterapkan oleh banyak anak muda. Salah satunya datang dari perantau yang menjalani keseharian dengan penuh perhitungan, tetapi tetap memegang teguh. Di luar ruang diskusi yang penuh lampu sorot dan gagasan besar tentang kebebasan finansial, ada kisah nyata yang berjalan sunyi.
Karena Generasi muda yang kini kian menjadi sorotan bagaimana masa depan negara ini nantinya. Dengan begitu, Pentingnya pengaplikasian Frugal Living ini oleh generasi muda terutama mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan mahasiswa hanya memikirkan kesenangan semata tanpa memikirkan arah tujuan keuanganya dengan bijak. Penerapan frugal living ini berpotensi menjadi kunci untuk menjaga kestabilan finansial bagi para mahasiswa. Bicara soal peran generasi muda, ada salah satu mahasiswa yang menerapkan frugal living ini yang ia coba mulai sedari baru masuk masa perkuliahan.
Edukasi keuangan sejak dini

Dimas, mahasiswa rantau dari Sukabumi penerima beasiswa KIP-K, menjalani hidup frugal dengan uang mingguan hanya Rp50.000. Ia mengatur kebutuhannya secara ketat—mulai dari membeli beras, telur, tempe, hingga tahu—dan memilih membawa bekal karena makan di kantin bisa menghabiskan uang mingguannya hanya dalam beberapa kali makan. Untuk menekan biaya transportasi, Dimas berjalan kaki hampir 4 km dari kos ke kampus setiap hari. Kos yang ia pilih memang jauh, tapi harganya terjangkau dan dekat pasar.
Bantuan biaya hidup beasiswanya sering cair terlambat, sehingga ia harus bertahan lebih lama dengan uang mingguan tersebut. Ketika dana Rp5.700.000 cair setiap semester, ia langsung mengutamakan pembayaran kos untuk empat bulan ke depan, lalu membagi sisanya untuk kebutuhan harian dan menyimpan Rp1.000.000 sebagai dana darurat untuk tugas, liputan jauh, atau ketika sakit.
Kisah Dimas menjadi pengingat bahwa hidup frugal bukan soal kekurangan, tetapi soal kedewasaan mengatur prioritas. Di tengah budaya konsumtif dan tekanan sosial media, ia menunjukkan bahwa ketenangan justru datang dari kemampuan mengelola diri, bukan dari banyaknya barang yang dimiliki atau tren yang diikuti.


















