Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi mental illness (pexels.com/Kat Smith)

Akhir-akhir ini, muncul banyak gerakan dari berbagai pihak yang gencar menyuarakan tentang kesehatan mental (mental health) melalui seruan mental health matters. Topik pembahasan mengenai kesehatan mental ini semakin mencuat dengan adanya pandemi COVID-19. Masyarakat awam yang sebelumnya kurang  memberikan atensi terhadap kesehatan mental, mulai menyadari akan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Sejak adanya pemberlakuan protokol kesehatan sebagai langkah pencegahan COVID-19 yang menyebabkan ruang gerak menjadi terbatas, banyak orang merasakan perubahan dalam diri mereka. Pada masa-masa itulah, seseorang rentan mengalami gangguan mental (mental illness). Mental illness atau mental health disorders merupakan sebuah kondisi yang cukup mengganggu dan mempengaruhi perasaan, pemikiran, serta tindakan penderitanya menjadi tidak teratur.

Isu kesehatan mental masih dianggap tabu

Mental illness bila tidak ditangani, akan mengganggu tingkat produktivitas seseorang. Sayangnya, stigma yang berkembang sejak lama, membuat seseorang yang membutuhkan penanganan dari ahlinya, segan untuk berkonsultasi. Dampak jangka panjang terhadap kondisi ini adalah meningkatnya angka bunuh diri. Dilansir dari laman sehatnegeriku.kemenkes.go.id, dr. Hervita Diatri, Sp. Kj memaparkan bahwa pada awal tahun 2022, sekitar 1 dari 2 orang memikirkan untuk mengakhiri hidup sebagai buntut dari adanya pandemi COVID-19.

Menurut data Laporan Bank Dunia (Worldbank), Indonesia memiliki Angka Kematian Bunuh Diri (Suicide Mortality Rate) sebesar 2,4 per 100.000 penduduk sejak tahun 2014—2019. Jumlah ini cenderung melandai dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara dari sumber Researchgate, pada tahun 2020, Suicide Mortality Rate Indonesia berada pada angka 3,4 per 100.000 penduduk. American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perilaku bunuh diri cenderung terjadi akibat dari adanya tekanan, depresi, ataupun penyakit mental lain. Tentu ini merupakan sebuah akibat dari tidak ditanganinya mental illness seseorang.

Pada masyarakat Indonesia sendiri, gangguan mental masih menjadi sebuah isu yang tabu. Tidak jarang orang beranggapan bahwa gangguan mental sama halnya dengan gila. Sebutan-sebutan yang tak enak didengar seperti "kurang se-ons," "ora genep," atau "orang aneh" pun seringkali disematkan. Perilaku diskriminasi dengan tindakan menjauhi secara sadar maupun tidak sadar juga kerap terjadi. Penilaian, pandangan, serta perlakuan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor seseorang dengan gangguan mental merasa enggan untuk berkonsultasi dan mendapatkan perawatan dari ahli. Terlebih perlakuan tidak mengenakan juga bisa datang dari keluarga dan orang-orang terdekat penderita. Banyak kasus diskriminasi terhadap penderita gangguan mental berasal dari lingkungan sekitar yang toxic. Lagi dan lagi, apapun jenis gangguan mental yang dialami, sebutan gila selalu menghantui. Entah itu depresi, anxiety, ataupun skizofrenia, orang awam akan menyebutnya sebagai gila.

Stigma dan perlakuan buruk yang diterima seorang pengidap gangguan mental dapat mendorong ketakutan akan dijauhi hingga merasa bahwa dirinya not worthy enough. Perasaan tidak berharga dan dikucilkan ini akan berdampak pada proses pemulihan. Tak jarang juga menyebabkan kondisi semakin buruk. Padahal, pada masa-masa seperti ini, penderita membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Tidak adil rasanya bila penderita dituntut untuk sembuh akan tetapi selalu dicecar akan perilaku dan perkataan tak mengenakan.

Mengubah stigma itu tidak mudah

Editorial Team

Tonton lebih seru di