Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

12 Perang Agama Paling Mematikan Sepanjang Sejarah, Ironis!

ilustrasi perebutan benteng Maarat oleh Tentara Salib pada 1098 (commons.wikimedia.org/Henri Decaisne)
ilustrasi perebutan benteng Maarat oleh Tentara Salib pada 1098 (commons.wikimedia.org/Henri Decaisne)

Konflik agama sering terjadi sepanjang sejarah, dan sudah terjadi selama ribuan tahun lamanya. Sering kali, agama hanyalah salah satu faktor yang bisa menyebabkan konflik. Namun, karena agama bersifat sensitif dan memiliki pandangan yang berbeda, bisa saja agama yang sebelumnya damai berubah menjadi pertikaian.

Adapun, perang agama yang paling mematikan dalam poin-poin ini tidak hanya dilihat dari jumlah korban jiwa,  kerusakan budaya, dan demografisnya saja, tetapi trauma yang dialami para penyintas perang ini yang dibawa seumur hidupnya. Apalagi, kisah-kisah yang mereka ceritakan menjadi bukti dan saksi terbaik tentang betapa kejamnya perang antar agama. Nah, berikut ini kita akan membahas beberapa perang agama paling mematikan dalam sejarah. Apa saja?

1. Reconquista

ilustrasi Pertempuran Jerez dalam bagian Reconquista pada 1231(commons.wikimedia.org/Pgo84)
ilustrasi Pertempuran Jerez dalam bagian Reconquista pada 1231(commons.wikimedia.org/Pgo84)

Istilah Reconquista merupakan serangkaian perang yang dimulai dengan kemenangan Don Pelayo dari Asturias di Covadonga sekitar 720 Masehi. Perang ini melibatkan negara-negara Islam dan Kristen di Iberia abad pertengahan. Meskipun sering dibingkai sebagai konflik agama, kenyataannya justru sangat kompleks, karena adanya aliansi dan intrik politik yang bisa dibilang sangat rumit, seperti yang dikutip Britannica

Saat itu, Alfonso VI dari Castile (Kastilia) yang beragama Kristen memiliki selir beragama Islam dan memberikan toleransi kepada rakyat muslim. Jadinya, agama pun berada di urutan kedua setelah kepentingan politik. Namun, semakin kuatnya kerajaan-kerajaan Kristen, kebijakan agama ini pun semakin keras. Akhirnya, bentrokan pun pecah pada 1212 di Las Navas de Tolosa.

Menurut uskup dan penulis sejarah Lucas de Tuy, pasukan muslim menjarah kota Salvatierra, karena Kerajaan Castile tidak mau menyerahkan kota tersebut. Mereka juga bersiap untuk maju ke utara. Sebagai tanggapan, Paus Innocent III menyerukan Perang Salib Keempat dan mendesak orang-orang Kristen Eropa untuk membela Iberia. Pasukan Kristen tersebut kemudian menghancurkan Kekaisaran Almohad atau Muwahhidun (kekaisaran muslim Berber Afrika Utara) dan pasukan Kristen pun berhasil merebut sebagian besar Spanyol selatan pada 1250.

Menurut penulis sejarah muslim Ali al-Tamimi al-Marrukshi, tanggapan orang Kristen terhadap rakyat muslim di wilayah tersebut cukup beragam. Raja Alfonso VII dari Kastilia, pemimpin perang salib, melarang pasukannya untuk membunuh orang muslim yang sudah menyerah. Namun, Alfonso VII justru membakar masjid Baeza (yang sekarang diganti menjadi katedral) dan membantai orang muslim di Ubeda. Adapun, para perempuan dan anak-anak ditawan. Perang ini diyakini telah menewaskan sekitar 7 juta orang, seperti yang dikutip National Interest. 

2. Perang Salib Pertama

ilustrasi perebutan benteng Maarat oleh Tentara Salib pada 1098 (commons.wikimedia.org/Henri Decaisne)
ilustrasi perebutan benteng Maarat oleh Tentara Salib pada 1098 (commons.wikimedia.org/Henri Decaisne)

Selama abad ke-11, bangsa Turki Seljuk dianggap tidak ramah dengan para peziarah Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Pasalnya, peziarah Kristen dikenakan pajak dan bea cukai yang tinggi. Saat itu, Kaisar Alexios I Komnenos menghubungi Paus Urbanus II untuk membicarakan masalah tersebut.

Setelah itu, Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib Pertama pada 1095 untuk mengusir bangsa Turki Seljuk dari Tanah Suci Yerusalem. Rupanya, orang-orang Eropa menyambut seruan ini dengan antusias. Mereka bahkan rela pasang badan untuk melawan bangsa Turki Seljuk. 

Tentara Salib akhirnya berhasil merebut Yerusalem pada 1099. Tentara Salib membantai penduduk muslim di Yerusalem dengan sangat kejam. Para penulis sejarah Kristen bahkan menyayangkan hal itu. Pembantaian tersebut dianggap sebagai lambang intoleransi Kristen.

Namun, di balik itu, ada masalah lain yang dikhawatirkan ketimbang masalah agama. Menurut sejarawan Allen Murray, pembantaian yang dilakukan Tentara Salib dilakukan agar orang Islam tidak memberontak melawan mereka nantinya. Di samping itu, agak mustahil untuk memperkirakan secara akurat berapa korban jiwa dari Perang Salib Pertama. Namun, perang yang diikuti dengan penyakit dan kelaparan ini kemungkinan besar korbannya mencapai jutaan orang.

3. Perang Agama Prancis

ilustrasi Pembantaian Hari St. Bartholomew, sebuah peristiwa dalam Perang Agama Prancis (commons.wikimedia.org/François Dubois)
ilustrasi Pembantaian Hari St. Bartholomew, sebuah peristiwa dalam Perang Agama Prancis (commons.wikimedia.org/François Dubois)

Perang Agama Prancis berkecamuk di Prancis pada abad ke-16. Perang agama ini memecah belah negara itu menjadi dua kubu, yaitu kubu Katolik dan kubu Protestan Huguenot. Dikutip Le Musee Protestant, Adipati Francois de Guise membantai sekelompok minoritas Protestan Prancis pada 1562. Adapun saingannya dari kubu Protestan, yakni Jenderal Louis de Bourbon, Pangeran Condé ke-1, mengerahkan pasukan dan memicu perang pertama dari delapan perang tersebut.

Perang Agama Prancis tersebut diwarnai dengan kekerasan antarkomunitas, peradilan massa, dan penindasan berdarah terhadap para pemberontak di kedua belah pihak, khususnya Pembantaian Hari Santo Bartolomeus pada 1572. Perang Agama Prancis ini pun berakhir ketika Henri III dari Navarre yang beragama Protestan menjadi Raja Henri IV dari Prancis. Raja Henri IV setuju untuk pindah agama menjadi Katolik pada 1593 untuk menstabilkan kedudukan dan situasi negaranya. Alasan pindah agamanya murni masalah politik. Raja Henri IV sendiri bahkan keberatan harus pindah agama. Meskipun demikian, ia tetap melakukannya, tetapi ia tidak pernah melupakan saudara-saudara Protestannya.

Pada 1598, Raja Henri IV mengeluarkan Dekrit Nantes. Pada era Renaisans, dekrit itu menjadi standar toleransi di Prancis. Itu berarti, orang Protestan memperoleh kebebasan beragama, meskipun dengan beberapa batasan. Dekrit ini juga mengakhiri pertumpahan darah yang terjadi selama 36 tahun lamanya.

Statistik populasi Eropa menunjukkan bahwa angka kematian akibat perang agama ini cukup tinggi. Menurut Handbook of European History, pertumbuhan populasi Prancis melambat secara signifikan selama periode pertikaian tersebut. Prancis memiliki populasi 19 juta jiwa pada 1550, dan 20 juta jiwa pada 1600. Pada 1500, populasinya hanya mencapai 16,4 juta.

4. Perang Tiga Puluh Tahun

ilustrasi kematian Raja Gustav II Adolf dari Swedia dalam Pertempuran Lützen pada Perang Tiga Puluh Tahun (commons.wikimedia.org/Carl Wahlbom)
ilustrasi kematian Raja Gustav II Adolf dari Swedia dalam Pertempuran Lützen pada Perang Tiga Puluh Tahun (commons.wikimedia.org/Carl Wahlbom)

Perang ini dimulai dengan defenestrasi Praha, peristiwa melempar orang atau barang dari jendela. Yap, kamu tidak salah baca. Hal seperti ini memang pernah terjadi.

Nah, karena peristiwa ini, beberapa pejabat tinggi Romawi Suci juga dilempar dari jendela sebagai bentuk perlawanan terhadap Katolik dan kekaisaran untuk menyebarluaskan Protestanisme di Bohemia. Tak lama kemudian, Eropa dilanda perang yang menewaskan lebih dari 8 juta orang.

Korban dari Perang Tiga Puluh Tahun ini disebabkan oleh dua penyebab utama. Pertama, Perang Tiga Puluh Tahun bertepatan dengan Zaman Es Kecil di Eropa, periode ketika suhu lebih rendah (musim dingin), dan hal ini memengaruhi hasil pertanian yang semakin terpuruk. Jadi, orang miskin lebih memilih mendaftar menjadi militer agar bisa makan.

Namun, sebagian warga memilih untuk merampok dan tidak segan-segan membunuh sesamanya. Jadi, perang ini terjadi karena sulitnya masyarakat untuk mencari makanan. Nah, karena banyak warga yang kelaparan, berbagai penyakit pun menjangkiti warga, sehingga jumlah korban sipil bisa dibilang sangat banyak.

Penyebab kedua dari perang ini adalah gugurnya prajurit di medan perang. Prajurit biasanya gugur karena senjata mesiu atau pertempuran jarak dekat. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan di PLOS ONE, sampel 47 orang dari kuburan massal yang tewas di Swedia dalam Pertempuran Lutzen 1632, menunjukkan bahwa banyak korban yang tewas mengalami trauma benda tumpul atau trauma benda tajam di wajah atau kepala mereka. Ada juga yang ditembak di bagian wajah, mungkin dari jarak dekat oleh kavaleri kekaisaran.

5. Perang Rusia-Sirkasia

ilustrasi pertempuran antara bangsa Cossack dan bangsa Circassians (commons.wikimedia.org/Heinrich Ambros Eckert
ilustrasi pertempuran antara bangsa Cossack dan bangsa Circassians (commons.wikimedia.org/Heinrich Ambros Eckert

Meluasnya cabang agama Rusia Ortodoks ke Laut Hitam pada abad ke-18 menciptakan konflik dengan Kekaisaran Ottoman dan peradaban Islam kala itu. Dalam upaya untuk menguasai pantai Laut Hitam, Rusia mencoba menaklukkan muslim di Kaukasus Utara yang terkait dengan Ottoman. Namun, Rusia tidak menyangka akan mendapat perlawanan sengit dari para pendaki gunung atau etnis Sirkasia Adyghe, Abkhaz, dan Ubykh.

Para etnis muslim di Kaukasia ini melawan Rusia selama satu abad penuh, atau dari 1763 hingga 1864. Awalnya, pasukan Rusia membakar desa-desa di Kaukasia dan membunuh atau mendeportasi penduduknya ke wilayah Rusia. Namun ketika strategi itu gagal, Rusia memilih untuk mengusir mereka semua dan menggantinya dengan penjajah Rusia.

Jadi pada 1864, hampir 3 juta muslim Adyghe, Ubykhs, dan Abkhaz (sekitar 90 persen dari populasi etnis) diusir secara kejam dari tanah air mereka ke Kekaisaran Ottoman. Mereka diangkut menggunakan kapal untuk menyeberangi Laut Hitam. Tragisnya, banyak dari kapal-kapal ini tenggelam akibat badai. Sementara itu, mereka yang selamat dari badai justru dilanda berbagai penyakit.

Orang Kaukasia yang diusir saat ini tinggal di seluruh Timur Tengah, dari Turki, Irak, Israel, hingga Yordania. Meskipun mereka sangat sukses di tanah baru mereka, generasi Sirkasia tidak melupakan genosida yang menimpa keluarga mereka. Mereka bahkan membenci pemerintah Rusia hingga hari ini.

6. Revolusi Prancis

ilustrasi penyerbuan Bastille dan penangkapan Gubernur M. de Launay, pada 14 Juli 1789 (commons.wikimedia.org/Museum of the History of France)
ilustrasi penyerbuan Bastille dan penangkapan Gubernur M. de Launay, pada 14 Juli 1789 (commons.wikimedia.org/Museum of the History of France)

Revolusi Prancis, sebagaimana yang dicatat oleh Institute for World Politics, sebenarnya sangat anti Katolik. Salah satu tujuan revolusi ini adalah dekristenisasi Prancis (menekan praktik agama Katolik). Revolusi ini terjadi agar masyarakat Prancis menganut paham akal budi dan Supreme Being dalam Freemasonry.

Untuk tujuan itu, pemerintah memberlakukan serangkaian undang-undang. Salah satunya undang-undang Civil Constitution of the Clergy atau Konstitusi Sipil Pendeta. Semua pendeta Katolik harus bersumpah setia kepada negara, yang mengendalikan semua pengangkatan pendeta, bukan seorang Paus. Mereka yang menolak, akan dikenai hukuman berat dari Law of Suspects atau Undang-Undang Tersangka 1793, yang menjatuhkan hukuman mati kepada siapa pun yang diduga kontrarevolusioner (termasuk pendeta).

Sementara itu, Notre Dame ditahbiskan kembali sebagai Kuil Nalar (kuil ateis untuk menggantikan agama Kristen). Dalam upacara tersebut, sekelompok perempuan berpakaian seksi menari di sekitar altar utama Notre Dame. Mereka menyanyikan himne untuk Dewi Nalar. Kultus Nalar ini pun menjadi agama ateis pertama di Prancis.

Situasi di Paris yang menyimpang tersebut membuat penduduk Prancis Utara yang memegang teguh agama Katolik, sangat marah. Akibatnya, para bangsawan, petani, dan pendeta berkumpul di wilayah Vendee di Brittany untuk melawan revolusi setelah Paris menutup gereja-gereja yang tidak patuh dan berusaha merekrut warga Vendee agar menjadi pasukannya.

Dalam perang berdarah yang terjadi setelahnya, pasukan Prancis membantai lebih dari 100.000 orang. Mereka melakukan pembantaian dan menenggelamkan para perempuan, yang dirayakan secara terbuka oleh para pelaku. Jadi, Vendee menjadi salah satu dari sedikit wilayah di Prancis yang secara konsisten menolak untuk memperingati Revolusi Prancis.

7. Pemberontakan Taiping

ilustrasi Pemberontakan Taiping (commons.wikimedia.org/The Grosvenor House Antiques Fair, Handbook/Burlington Magazine)
ilustrasi Pemberontakan Taiping (commons.wikimedia.org/The Grosvenor House Antiques Fair, Handbook/Burlington Magazine)

Perang ini terjadi karena agama Kristen kembali disebarkan ke China pada abad ke-19. Perang yang terjadi selama 14 tahun ini, ditujukan untuk melawan dinasti Kekaisaran Manchu yang dimulai pada 1850, karena seorang laki-laki bernama Hong Xiuquan gagal dalam ujian pegawai negeri untuk ketiga kalinya. Kok bisa?

Jadi, karena kesal tidak lolos menjadi pegawai negeri, Hong Xiuquan mengumpulkan pasukan untuk menggulingkan Kekaisaran Manchu dan mendirikan Kerajaan Surgawi Harmoni Agung (Taiping Tianguo). Pemberontakan ini mendapat dukungan dari para petani China yang kehilangan haknya. Kendati demikian, mereka berhasil menguasai sepertiga wilayah China sebelum akhirnya dikalahkan.

Meskipun penyebab pemberontakannya bersifat politis, tetapi ada paham keagamaan yang juga ikut berkontribusi. Dikutip BBC, karena gagal terus dalam ujian pegawai negerinya, Hong Xiuquan rupanya sempat membaca Perjanjian Baru. Ia mengaku melihat Tuhan sedang mencambuk filsuf Tiongkok bernama Konfusius. Paham Konfusius sendiri sangat berjasa dalam dibentuknya ujian pegawai negeri di China, yang membuat Hong Xiuquan kesal dengan birokrasi China tersebut.

Dari sinilah Hong Xiuquan menyatakan dirinya sebagai adik Yesus Kristus. Ia mengaku datang ke Lumi untuk membasmi setan-setan Konfusianisme (paham yang diciptakan Konfusius). Menurut Hong, setan-setan itu termasuk keluarga Kekaisaran Manchu dan para loyalisnya.

Meskipun Hong Xiuquan dan pasukannya sempat memenangkan peperangan, tetapi keberuntungan mereka tidak bertahan lama dan runtuh pada 1864. Konon sebelum kekalahan terakhirnya, Hong berlindung di sebuah istana bersama para selirnya. Di sisi lain, seorang pemain organ memainkan himne-himne Kristen untuk mereka. Pada akhir perang, 20 juta orang tewas, termasuk Hong sendiri, yang jasadnya ditemukan membusuk di istananya.

8. Revolusi Bolshevik

ilustrasi pembantaian terhadap pengunjuk rasa damai yang memicu Revolusi Bolshevik (commons.wikimedia.org/Wojciech Kossak)
ilustrasi pembantaian terhadap pengunjuk rasa damai yang memicu Revolusi Bolshevik (commons.wikimedia.org/Wojciech Kossak)

Revolusi Bolshevik merupakan konflik antara para ateis sejati dengan para Tsar. Namun, ada dimensi keagamaan dalam konflik yang terkenal ini. Kerusuhan 1917 ini merupakan lahirnya ateisme militan yang disponsori negara, untuk menyingkirkan para penentangnya, khususnya Gereja Ortodoks Rusia.

Uni Soviet sendiri tidak pernah melarang agama apa pun. Sebaliknya, Uni Soviet justru menargetkan komunitas-komunitas agama yang memiliki hubungan dengan rezim Tsar atau pandangan komunis. Hal ini membuat kaum Bolshevik membenci agama Kristen, khususnya Ortodoksi Rusia. Akibatnya, perkumpulan-perkumpulan seperti League of the Militant Godless melancarkan perang propaganda untuk menjauhkan warga Uni Soviet dari paham agama, dan ateisme pun secara resmi diajarkan di sekolah-sekolah.

Setelah terjadinya pertumpahan darah pada masa-masa awal, Uni Soviet menyadari bahwa alih-alih menghancurkan gereja, mereka pun mengubah gereja menjadi monumen kemenangan bagi ateisme. Adapun, Uni Soviet mengubah gereja menjadi gudang, gedung bioskop, dan bahkan kolam renang. Katedral Kazan pun menjadi Museum Sejarah Agama dan Ateisme.

Di samping itu, Uni Soviet menjadikan ateisme sebagai agama negara. Namun, ada nyawa yang harus dikorbankan. Dikutip Heritage, sebanyak 30 juta orang tak berdosa tewas dalam Teror Besar Bolshevik ini.

9. Genosida Kristen Ottoman (Genosida Armenia)

ilustrasi Genosida Armenia (commons.wikimedia.org/Le Petit Journal)
ilustrasi Genosida Armenia (commons.wikimedia.org/Le Petit Journal)

Genosida Armenia merupakan pembantaian atau pengasingan penduduk Armenia oleh Kekaisaran Ottoman. Namun, yang tidak banyak diketahui adalah, bahwa peristiwa itu merupakan bagian dari perang Ottoman terhadap orang Kristen. Bahkan Kekaisaran Ottoman melancarkan genosida Kristen ini terhadap komunitas Kristen di Turki yang sudah ada selama ribuan tahun. Mereka dimusnahkan pada 1914—1923.

Genosida ini terjadi sebelum Perang Dunia I, dimulai dengan pembantaian komunitas Kristen Asiria (Asyur) kuno. Awalnya, paramiliter Turki dan Kurdi mengasingkan orang Asiria sejak 1914. Orang Asiria penganut agama Kristen ini dituduh bekerja sama dengan pasukan Rusia di Kaukasus.

Akibatnya, para penyintas dari genosida ini harus melakukan perjalanan yang melelahkan menuju tempat yang aman di wilayah Rusia atau kamp konsentrasi. Adapun, Genosida Armenia terjadi pada 1915. Saat mereka melawan, mereka pun dihabiskan.

Pada 1918, lebih dari 600.000 orang Asiria dan 1,5 juta orang Armenia tewas, seperti yang diungkapkan European Syriac Union. Para penyintas melarikan diri ke negara-negara tetangga, seperti Eropa dan Amerika. Namun, tragedi yang menimpa orang Kristen ini tidak berakhir sampai disitu.

Pada 1923, Republik Turki yang baru lahir masih memiliki populasi besar orang Kristen Yunani di wilayah baratnya. Sementara itu, Yunani sendiri memiliki orang Islam yang dibenci. Jadinya, di bawah Perjanjian Lausanne, kedua negara itu sepakat untuk melakukan penukaran penduduk berdasarkan agama. Dikutip MERIP, Turki memindahkan 1,5 juta orang Yunani Kristen yang telah mendiami Turki selama ribuan tahun itu ke Yunani. Sementara itu, 500.000 muslim Balkan dipindahkan secara paksa ke Turki.

10. Pemisahan India

ilustrasi pengusiran di Balloki selama Pemisahan India (commons.wikimedia.org/Government of India)
ilustrasi pengusiran di Balloki selama Pemisahan India (commons.wikimedia.org/Government of India)

Pemisahan India yang dilakukan Britania pada 1947, yakni dengan munculnya negara India dan Pakistan memicu konflik dan migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Kendati begitu, tidak ada perjanjian terkait pertukaran penduduk berdasarkan garis agama, bahasa, dan etnis tersebut.

Bahkan awalnya, banyak muslim India yang menentang pemisahan dan emigrasi ini. Namun, solusi untuk meredakan ketegangan sektarian ini justru menjadi perang yang menewaskan 2 juta orang. Akibatnya, 15 juta orang harus mengungsi, seperti yang ditulis The Washington Times.

Konflik itu terjadi karena proses pemindahan yang tergesah-gesah. Dalam suasana ketakutan dan keputusasaan ini, para pemberontak melakukan kerusuhan, intimidasi, dan pembantaian antara umat Hindu, Islam, dan Sikh yang saling bertikai.

Banyak saksi yang masih mengingat pembantaian mengerikan tersebut. Baljit Dhillon Vikram Singh bersaksi ia melihat orang Sikh dibantai oleh prajurit Islam di jalan saat melarikan diri dari kota Lahore. Dalam kesaksian lainnya, Muhammad Yousuf yang beragama Islam, melihat massa membantai sekelompok pengungsi. Akibatnya, banyak mayat yang ditumpuk-tumpuk. Di sisi lain, pemisahan dan pembersihan agama ini masih memicu ketegangan antara India dan Pakistan hingga saat ini.

11. Perang Saudara Sudan Kedua

tentara SPLA di wilayah yang saat itu merupakan Sudan Selatan (commons.wikimedia.org/Stein Ove Korneliussen)
tentara SPLA di wilayah yang saat itu merupakan Sudan Selatan (commons.wikimedia.org/Stein Ove Korneliussen)

Pada 2011, Presiden Barack Obama menyambut Sudan Selatan dengan tangan terbuka. Negara baru ini terbentuk lewat perang, pertumpahan darah, dan konflik agama, yang mempertemukan Sudan Selatan yang beragama Kristen dan paham animisme dengan Sudan Utara yang sebagian besar beragama Islam yang diperintah Khartoum (ibu kota Sudan saat ini).

Setelah kemerdekaannya pada 1956, Sudan memulai program Arabisasi dan Islamisasi di antara suku-sukunya yang tinggal di wilayah selatan, yang menggunakan bahasa Inggris untuk komunikasi antaretnis dan menganut agama Kristen atau kepercayaan Pribumi. Dengan adanya program Arabisasi ini, pemerintah Sudan menargetkan etnis Dinka di Sudan Selatan. Pemerintah membakar desa-desa, merusak tanaman, dan menggusur warga sipil yang berada di wilayah tersebut. Nah, karena terjadinya perang yang berkepanjangan, muncullah kelaparan dan penyakit.

Pemerintah Sudan bahkan mengubah kebijakan genosida terhadap sesama muslim di Pegunungan Nuba. Kala itu, Presiden Omar al-Bashir dan otoritas keagamaan Sudan menuduh bahwa orang Islam yang tinggal di Pegunungan Nuba telah murtad, mereka dianggap mempertahankan praktik pra Islam. Akibatnya, pemerintah mengebom dan membakar desa-desa di wilayah tersebut, serta menggiring etnis Nuba ke kamp perdamaian (alias kamp konsentrasi) secara paksa.

Suku Nuba dan Pasukan Sudan Selatan berhasil menyeret tentara Sudan ke dalam perang yang melelahkan dan membuat pemerintah Sudan kewalahan. Perang ini sendiri terjadi pada 1983—2005. Seperti yang dijelaskan Universitas Tufts, setidaknya 2 juta orang tewas, dan ratusan ribu orang mengungsi. Tagisnya, mayoritas korbannya adalah warga sipil tak berdosa, yang meninggal karena kelaparan akibat perang.

12. Perang Saudara Suriah

Perang Saudara Suriah, perang melawan penentang Bashar al-Assad (commons.wikimedia.org/Mohammad Reza Jofar)
Perang Saudara Suriah, perang melawan penentang Bashar al-Assad (commons.wikimedia.org/Mohammad Reza Jofar)

Perang Saudara Suriah, dilansir BBC, telah merenggut 350.000—600.000 jiwa. Perang ini dimulai pada 2011 sebagai akibat dari protes Musim Semi Arab yang melanda Timur Tengah pada 2010. Konflik tersebut pun berubah menjadi perang agama karena oposisi presiden Suriah, Bashar Assad, ternyata terdiri dari kaum Islamis. Di antara mereka adalah Negara Islam di Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang kekejamannya terhadap minoritas agama sangat menggemparkan dunia.

Perang Saudara Suriah ini menyebar ke negara tetangga Irak, yang sudah dilanda ketidakstabilan setelah invasi Amerika pada 2003. ISIS pun mulai menargetkan kelompok minoritas, khususnya Yazidi dan Kristen Asiria. Orang Kristen diperas dari segi materi, jika tidak, mereka harus pergi atau dibunuh. Perempuan dan anak-anak menjadi budak bagi pejuang ISIS, sementara muslim Syiah Turkmen dibunuh karena dianggap bidah.

Meskipun saat ini Suriah sudah stabil, jumlah korban dari perang yang pernah terjadi ini cukup tidak masuk akal. Menurut 114th Congress, dari 45.000 orang Kristen yang tinggal di Mosul pada 2004, hanya beberapa ratus orang yang masih bertahan. Menurut lembaga amal Yazidi, "Nadia's Initiative," yang didirikan oleh penyintas Nadia Murad, 400.000 orang Yazidi mengungsi, 5.000 orang terbunuh, dan 6.000 orang diperbudak.

Konflik agama terburuk dalam 2000 tahun terakhir ini ternyata menewaskan jutaan orang, lho. Beberapa perang yang paling mematikan memang memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Hal ini juga berpengaruh dengan dampak demografis, budaya, dan para korban, yang sering kali merupakan kelompok etnis dan agama minoritas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amelia Solekha
EditorAmelia Solekha
Follow Us