Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Fakta Desa Hahoe, Jejak Budaya Korea yang Abadi Sejak Dinasti Joseon

Desa Hahoe di Korea
Desa Hahoe, Korea Selatan (commons.wikimedia.org/Bernard Gagnon)
Intinya sih...
  • Desa Hahoe adalah museum hidup yang terus dihuni Klan Ryu selama 600 tahun, menjadikannya salah satu komunitas keluarga tertua dan paling lestari di Korea.
  • Arsitektur hanok Desa Hahoe menjaga hierarki sosial Joseon dengan tatanan rumah bangsawan yang besar dan mewah serta rumah rakyat biasa yang sederhana.
  • Desa Hahoe mempertahankan dua seni pertunjukan takbenda yang kontras, yaitu Tarian topeng (Hahoe Byeolsin Gut Talnori) dan Seonyu Julbul Nori atau Permainan Api Garis Tali.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau bicara Korea Selatan, pikiran kita sering tertuju pada K-Pop, drama, dan teknologi modern. Tapi di balik hiruk pikuk itu, ada permata budaya yang seolah menolak berubah. Namanya Desa Hahoe di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara, tempat warisan Dinasti Joseon (1392–1910) masih hidup, bukan sekadar pajangan museum.

Berjalan di Desa Hahoe terasa seperti melompat kembali 600 tahun ke masa lalu. Dari tata ruang geomantik, rumah Hanok tradisional, hingga ritual budaya, semuanya tetap lestari. Penasaran apa yang membuatnya begitu istimewa? Mari kita simak fakta-fakta berikut ini!

1. Desa Hahoe adalah museum hidup yang terus dihuni Klan Ryu selama 600 tahun

Desa Hahoe di Korea
Desa Hahoe, Korea Selatan (commons.wikimedia.org/Own work)

Desa Hahoe bukanlah situs sejarah yang hanya berisi reruntuhan. Sebaliknya, desa ini merupakan komunitas hidup yang terus dijaga oleh keturunan pendirinya. Dilansir laman I Visit Korea, sejak didirikan pada abad ke-15, Desa Hahoe masih dihuni oleh keturunan klan Ryu, menjadikannya salah satu komunitas keluarga tertua dan paling lestari di Korea.

Hal ini membuat Desa Hahoe bukan sekadar situs bersejarah, melainkan contoh nyata keberlanjutan budaya melalui pemukiman yang hidup dan terus bertahan selama ratusan tahun. Kehidupan di desa ini merefleksikan tradisi, struktur sosial, dan adat leluhur yang kental.

Keberadaan warga asli yang masih tinggal menjadikan Desa Hahoe layaknya museum hidup, di mana pengunjung bisa memahami cara hidup masyarakat bangsawan zaman Joseon yang tetap melestarikan adat dan nilai-nilai komunitas tertutup ini.

2. Arsitektur hanok yang menjaga hierarki sosial Joseon

Desa Hahoe di Korea
Perbandingan rumah bangsawan dan rumah rakyat biasa di Desa Hahoe, Korea Selatan (commons.wikimedia.org/Raki_Man)

Perjalanan melalui lorong-lorong Desa Hahoe seolah membawa kita masuk ke ilustrasi nyata hierarki sosial era Joseon. Dilansir laman Architecture on the Road, setiap rumah dan bangunan di desa ini dirancang sesuai dengan tatanan sosial pada masa Dinasti Joseon. Anggota keluarga bangsawan dan pelayan hidup berdampingan, tetapi dengan perbedaan struktur bangunan yang jelas.

Rumah bangsawan biasanya lebih besar dan mewah, sementara rumah pelayan lebih sederhana. Namun, keduanya tetap ditata sesuai dengan status sosial masing-masing. Desa ini terkenal dengan rumah-rumah bangsawan klan Ryu yang besar dengan atap genteng (Giwa-jib) di bagian tengah, dikelilingi oleh rumah rakyat biasa yang beratap jerami (Choga-jib).

Penataan arsitektur ini bukan hanya soal estetika, melainkan juga cerminan struktur sosial yang khas di Hahoe. Kaum bangsawan yang merupakan sarjana Konfusianisme menempati pusat spiritual sekaligus geografis, sedangkan rakyat biasa tinggal di sekelilingnya untuk mendukung kebutuhan pertanian dan kehidupan sehari-hari. Meski ada pemisahan kelas, tata ruang yang terpelihara menunjukkan adanya rasa komunitas yang kuat di antara keduanya.

3. Pewarisan dua seni pertunjukan takbenda yang kontras

Desa Hahoe di Korea
Tarian topeng atau Hahoe Byeolsin Gut Talnori (commons.wikimedia.org/Republic of Korea)

Kehidupan budaya di Desa Hahoe sangat kaya, ditandai dengan pelestarian dua bentuk seni pertunjukan yang bertolak belakang. Dilansir laman Earth Vagabonds, satu sisi menampilkan kritik sosial yang berani, sementara sisi lainnya menonjolkan keanggunan.

Tarian topeng (Hahoe Byeolsin Gut Talnori) sarat dengan kritik sosial dan cerita rakyat yang disampaikan lewat humor serta sindiran tajam kepada kaum bangsawan (Yangban). Pertunjukan ini menjadi bagian dari ritual sekaligus hiburan masyarakat desa yang diwariskan turun-temurun hingga kini.

Di sisi lain, kaum bangsawan memiliki ritual mereka sendiri, yaitu Seonyu Julbul Nori atau Permainan Api Garis Tali, yang merupakan permainan kembang api bubuk mesiu yang dijatuhkan dari tebing. Dalam perayaan estetis ini, para sarjana berkumpul di perahu di Sungai Nakdong, melantunkan puisi, dan menyaksikan efek "hujan kembang api" yang indah. Kontras antara satir rakyat jelata dan seni puitis para elit menggambarkan keragaman budaya Joseon yang masih terjaga di Hahoe.

4. Prinsip Geomansi (Pungsu-jiri) yang menciptakan lokasi keberuntungan abadi

Desa Hahoe di Korea
Desa Hahoe di kelilingi oleh sungai Nakdong (commons.wikimedia.org/Robert)

Pemilihan lokasi Desa Hahoe sangat dipengaruhi oleh prinsip geomansi Korea yang dikenal sebagai Pungsu-jiri, yakni seni memilih tanah dan tata letak secara harmonis dengan alam demi keberuntungan dan keseimbangan.

Dilansir laman Architecture on the Road, desa ini sengaja dibangun di lekukan Sungai Nakdong dengan perlindungan pegunungan di sekelilingnya, menyesuaikan filosofi baesanimsu yang dipercaya membawa keberuntungan serta keselamatan bagi penghuninya.

Prinsip Pungsu-jiri inilah yang menempatkan Hahoe di posisi terlindung, dikelilingi pegunungan berhutan dan menghadap ke Sungai Nakdong yang berliku mengitarinya. Tak heran, nama “Hahoe” berarti "desa yang dikelilingi oleh air." Pilihan lokasi ini diyakini memberi nutrisi fisik sekaligus spiritual, membuat desa tetap makmur, aman dari bencana, dan menjadi salah satu kunci keabadian Hahoe.

Dengan pesona dan nilai budaya yang terjaga, Desa Hahoe mengajak siapa saja untuk belajar tentang sejarah sekaligus cara hidup harmonis dalam tradisi. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, menjaga identitas kebudayaan Korea tetap utuh di tengah perubahan zaman.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us

Latest in Science

See More

4 Fakta Desa Hahoe, Jejak Budaya Korea yang Abadi Sejak Dinasti Joseon

26 Sep 2025, 21:49 WIBScience