Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Dampak Perubahan Iklim terhadap Kehidupan di Laut Dalam?

karang di laut dalam
karang di laut dalam (commons.wikimedia.org/NOAA Office of Ocean Exploration and Research, Deep-Sea Symphony: Exploring the Musicians Seamounts)
Intinya sih...
  • Kedalaman lautan mencapai 10.935 kilometer, dengan ekosistem yang berbeda di setiap lapisannya.
  • Zona sinar matahari hanya mencakup 2-3 persen lautan, tapi memiliki peran penting dalam rantai makanan laut dan produksi oksigen.
  • Zona senja rentan terhadap perubahan iklim, mengalami penurunan populasi ikan dan karbon dioksida yang diserap.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Perubahan iklim, sebagai topik perdebatan netizen, agaknya tak kunjung usai. Kita tahu bahwa Bumi mengalami perubahan suhu. Suhu Bumi pada tahun 2100 bahkan diperkirakan akan mencapai titik tertinggi yang sama seperti 5 juta tahun yang lalu, sebagaimana yang dijelaskan Climate Science.

Peningkatan suhu tersebut tentunya punya konsekuensi yang besar bagi setiap aspek kehidupan, lho. Meskipun begitu, banyak orang yang hanya fokus dengan dampak besar dan dahsyatnya saja, seperti naiknya permukaan air laut. Padahal, perubahan iklim juga berdampak hingga ke dasar laut, nih.

Lautan Bumi terdiri dari ekosistem yang padat sekaligus rapuh, dengan sebab dan akibat yang saling terkait. Lebih banyak karbon dioksida (CO²) di atmosfer berarti lebih banyak CO² di lautan. Hal ini ternyata bisa mengasamkan lautan dan membuat kehidupan laut sekarat, khususnya organisme bercangkang.

Hal ini dan lautan yang semakin memanas ternyata memengaruhi segalanya, mulai dari plankton terkecil hingga paus terbesar. Penangkapan ikan yang berlebihan dan pembuangan limbah laut juga memperparah masalah yang teramat rumit ini. Terumbu karang juga mengalami pukulan paling berat dan sekarat di seluruh dunia, menurut Program Lingkungan PBB. Namun, tempat tergelap dan terdingin di laut pun akan segera mengalami nasib buruk yang sama. Berikut ini kita akan membahas efek perubahan iklim terhadap kehidupan di laut dalam.

1. Ada berapa lapisan kedalaman lautan?

ilustrasi lapisan kedalaman laut
ilustrasi lapisan kedalaman laut (commons.wikimedia.org/Awakening Conscience)

Untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap lautan, kita harus tahu dulu tentang kedalaman lautan. National Ocean Service (NOS) menyatakan bahwa rata-rata kedalaman lautan—dengan memperhitungkan bagian terdangkal dan terdalamnya—adalah sekitar 3,7 kilometer. Di dasar Palung Mariana terdapat titik terdalam lautan yang disebut Challenger Deep, dengan kedalaman 10.935 kilometer. Sebagai perbandingan, kedalaman tersebut sekitar 2.133 meter lebih dalam dari ketinggian Gunung Everest.

Lautan sendiri menutupi 70 persen permukaan Bumi. Namun, manusia baru menjelajahi sekitar 20 persennya saja. Bahkan hanya 35 persen wilayah pesisir di seluruh AS yang mampu dipetakan, dan itu pun menggunakan peralatan sonar modern, bukan eksplorasi langsung.

Seperti yang dijelaskan Vox, para ilmuwan membagi lautan menjadi beberapa lapisan kedalaman, tergantung pada seberapa dalam cahaya bisa menembus. Lapisan paling atas dan paling terang disebut zona sinar matahari atau zona fotik, yang membentang dari permukaan hingga kedalaman 200 meter. Di bawahnya terdapat zona senja atau zona mesopelagik yang keruh, kebiruan, dan remang-remang, yang membentang dari kedalaman 200 hingga 1.000 meter.

Di bawahnya lagi terdapat zona tengah malam atau zona batipelagik yang gelap dan tanpa cahaya, membentang dari kedalaman 1.000 hingga 4.000 meter. Di bawahnya terdapat zona abisal dan hadal yang mencapai kedalaman hingga 11.000 meter. Nah, masing-masing zona ini memiliki ekosistemnya sendiri yang berinteraksi satu sama lain, lho.

2. Keanekaragaman dan uniknya kehidupan laut dalam

potret fitoplankton
fitoplankton (commons.wikimedia.org/University of Rhode Island/Stephanie Anderson)

Woods Hole Oceanographic Institution menjelaskan bahwa zona sinar matahari hanya mencakup 2 hingga 3 persen lautan dunia. Namun, lautan paling atas ini berisi banyak hewan laut dan fitur yang dapat dikenali manusia, seperti terumbu karang dan fitoplankton. Fitoplankton, alias mikroalga, adalah mikroorganisme bawah air yang menghasilkan tanaman seperti klorofil.

Fitoplankton sendiri membutuhkan sinar matahari untuk hidup, dan mengandung sejumlah nutrisi. Fitoplankton juga merupakan bagian paling penting dari seluruh rantai makanan laut, karena merupakan komponen paling bawah. Fitoplankton biasanya dimakan oleh hewan laut yang lebih besar. Selain itu, fitoplankton juga menghasilkan sekitar setengah dari semua oksigen Bumi. Jadi sederhananya gini, jika perubahan iklim membuat fitoplankton menuju kepunahan, maka manusia berada dalam masalah besar.

Di samping itu, lapisan terbawah lautan merupakan wilayah yang bergolak, bertekanan sangat tinggi, dan memiliki kondisi lingkungan ekstrem. Lapisan ini juga memiliki palung raksasa, ventilasi termal, lempeng tektonik yang dapat bergeser, dan merupakan rumah bagi makhluk hidup yang tidak ditemukan di tempat lain di Bumi. Makhluk hidup di bagian terdalam lautan tidak pernah menyentuh sinar matahari. Mereka bergantung pada getaran dan bioluminesensi—bagian tubuh yang bercahaya secara kimiawi untuk berkomunikasi.

Oleh sebab itu, makhluk hidup di bawah laut terdalam itu sangat tangguh. Mereka mengonsumsi materi berbasis karbon yang turun dari lapisan atas dan mengendap di dasar laut. Perubahan iklim dapat mengubah aliran material ke dasar laut terdalam Bumi dan menghancurkan ekosistem.

3. Zona senja akan jadi area yang paling terdampak perubahan iklim

bulu babi di zona senja
bulu babi di zona senja (commons.wikimedia.org/NOAA Okeanos Explorer)

Zona senja merupakan lapisan lautan yang menarik perhatian para peneliti dalam beberapa tahun terakhir, mengingat zona ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Zona senja atau juga yang dikenal dengan nama ilmiahnya, zona mesopelagik, terdapat makhluk hidup yang mulai menggunakan bioluminesensi untuk berkomunikasi. Zona ini juga dihuni beragam hiu, ikan, dan hewan lain di lingkungan yang kaya nutrisi.

Sebuah makalah tahun 2014 yang diterbitkan dalam jurnal Nature berjudul "Large Mesopelagic Fishes Biomass and Trophic Efficiency in the Open Ocean," yang ditulis Xabier Irigoien, menunjukkan bahwa zona senja menampung hingga 10 kali lebih banyak ikan ketimbang yang diasumsikan para peneliti sebelumnya. Zona senja, yang diapit zona sinar matahari dan zona tengah malam ini rupanya mengalami perubahan di kedua wilayah tersebut. Materi mati dan produk limbah melayang ke zona senja, hingga menyediakan makanan bagi kehidupan laut.

Selain itu, zona senja menjadi semacam perangkap karbon. Jadi, karbon dioksida yang masuk ke sana tidak bisa naik kembali. Faktanya, zona senja punya peran terbesar di Bumi dalam hal pengangkutan dan penyimpanan karbon dioksida, karena makhluk yang bermigrasi melalui wilayah tersebut membawa 2 hingga 6 miliar metrik ton karbon dioksida setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, semua mobil di planet ini menghasilkan sekitar 3,6 miliar metrik ton karbon dioksida setiap tahun. Dan seperti yang dijelaskan oleh para ilmuwan di Vox, semua kehidupan di zona senja berisiko musnah akibat perubahan iklim

4. Perubahan iklim bisa membuat zona senja punah

ubur-ubur yang ditemukan di zona senja
ubur-ubur yang ditemukan di zona senja (commons.wikimedia.org/Twilight Zone Expedition Team 2007/NOAA Photo Library)

Woods Hole Oceanic Institution membahas lebih mendalam tentang dampak perubahan iklim terhadap zona senja, dan tentang pentingnya zona senja dalam menjaga keseimbangan kehidupan di permukaan laut. Sebagian besar pengaruh zona senja terhadap penyerapan karbon dioksida berasal dari migrasi makhluk hidup di dalamnya. Migrasi dalam hal ini berarti, migrasi hewan laut harian menuju permukaan dan kemudian kembali ke kedalaman. Ingat, ya, zona senja mencakup rentang yang luas antara suhu yang lebih hangat dan lebih terang di bagian atas, hingga lebih gelap dan lebih dingin di bagian bawahnya.

Makhluk hidup di zona senja itu sendiri adalah ikan bristlemouth dan anglerfish remaja, belut pelikan, berbagai spesies cumi-cumi, dan lainnya. Hewan-hewan laut ini mengumpulkan karbon dioksida dalam bentuk materi yang mengapung turun dari permukaan. Mereka berenang ke atas pada siang hari, dan surut pada malam hari, makan di sepanjang perjalanan dan secara fisik menelan karbon dioksida. Namun, apa pun yang tidak mereka tangkap akan terus mengapung (jatuh) ke bawah, mungkin sampai ke dasar laut.

Penelitian menunjukkan bahwa zona senja tidak selalu baik. Masa-masa yang lebih hangat dalam sejarah Bumi, membuat zona senja hampa tanpa kehidupan, bahkan bakteri, karena materi membusuk lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Dalam laporan The Guardian, peneliti pascadoktoral di University of Exeter, Katherine Crichton, mengatakan, "Kecuali kita segera mengurangi emisi gas rumah kaca, hal ini dapat menyebabkan hilangnya atau punahnya sebagian besar kehidupan di zona senja dalam 150 tahun, dengan dampak yang berlangsung hingga ribuan tahun setelahnya."

5. Perubahan iklim terhadap lautan sama berbahayanya dengan yang terjadi di daratan

laut di Kepulauan Marshall
laut di Kepulauan Marshall (commons.wikimedia.org/Christopher Michel)

Ancaman perubahan iklim terhadap lapisan terdalam lautan sungguh tidak bisa dipandang sebelah mata, seperti hilangnya es di permukaan Bumi. Menyusutnya lapisan es berarti berkurangnya es yang memantulkan sinar matahari. Ini bisa menyebabkan atmosfer Bumi memanas lebih cepat. Hal yang sama berlaku untuk kerusakan lautan, terutama pada zona senja. Peningkatan suhu membunuh kehidupan di zona senja. Itu berarti, berkurangnya karbon dioksida yang diserap, yang membunuh lebih banyak kehidupan, dan seterusnya.

Para ilmuwan yang prihatin sedang berupaya sebaik mungkin untuk mengumpulkan bukti tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan laut, serta menginformasikan temuan mereka kepada publik. Dalam laporan CNN, Luiz A Rocha dari California Academy of Sciences menunjukkan bahwa zona senja berisiko dua kali lipat karena sulit dipelajari. Lebih lanjut, ia menegaskan kembali bahwa melindungi lautan adalah masalah mengatasi perubahan iklim secara keseluruhan, bukan hanya menargetkan lautan.

"Kawasan perlindungan laut sangat tidak masuk akal karena dampak yang memengaruhinya bersifat global," kata Luiz A Rocha. "Yang benar-benar kita butuhkan adalah menghentikan, atau setidaknya memperlambat, laju perubahan tinggi yang kita alami terhadap iklim planet kita."

Kita tahu bahwa mulai tahun 1850, tepat ketika Revolusi Industri mencapai puncaknya, suhu Bumi mulai mengalami kenaikan. Data menunjukkan bahwa tahun 2014 hingga 2024 merupakan tahun terpanas dalam sejarah, lapor Climate.gov. Nah, tahun 2025 sendiri menjadi tahun terpanas kedua atau ketiga yang pernah tercatat. Mengingat perubahan iklim sangat terasa di abad ini, masihkah kita berdiam diri sambil menunggu kehancurannya? Yuk, lakukan perubahan kecil, untuk hidup yang lebih baik di masa depan! Demi kelestarian lautan kita juga.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Fakta Green Bearded Helmetcrest, Burung Berjenggot dari Kolombia

01 Nov 2025, 11:49 WIBScience