Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Benarkah Ritual Voodoo Memicu Revolusi Haiti?

ilustrasi tarian ritual Voodoo Haiti (commons.wikimedia.org/Fritz Rudolf Loewa)
ilustrasi tarian ritual Voodoo Haiti (commons.wikimedia.org/Fritz Rudolf Loewa)
Intinya sih...
  • Musik memiliki kekuatan untuk menyatukan kelompok masyarakat, seperti yang terjadi dalam Revolusi Haiti pada 1791.
  • Revolusi Haiti dipicu oleh ritual Vodou atau Voodoo yang dipimpin oleh pendeta perempuan Cécile Fatiman dan pendeta laki-laki Dutty Boukman.
  • Ritual Vodou di Bois Caïman memicu semangat para budak untuk memberontak, menghancurkan perkebunan, dan memulai revolusi melawan penjajahan Prancis.

Mungkin kamu belum tahu kalau musik ternyata bisa membawa pengaruh besar bagi suatu negara. Musik bahkan membawa kekuatan bagi sekelompok masyarakat. Percaya tidak percaya, ini benar adanya. Pasalnya, musik bisa melampaui bahasa, bahkan ke tingkat yang di luar logika atau mistis.

Menurut psikologi modern sendiri, ritme, nada, irama, dan sebagainya digunakan manusia untuk mengasah keterampilan kognitif, bahasa, sosial, serta emosionalnya, sebagaimana yang diulas Psychology Today. Kekuatan suara atau musik ini mampu mengikat kelompok, terutama dalam konteks ritual, contohnya saja dalam sebuah konser atau kebaktian gereja.

Nah, kali ini, kita akan membahas tentang peran musik dan tarian yang membantu tercipta sebuah revolusi di pulau kecil. Kelompok ini bisa bersatu meski mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda. Mereka bisa bersatu karena memiliki penderitaan yang sama, yaitu sama-sama diperbudak. Inilah yang terjadi selama era penjajahan yang merajalela di Amerika pada 1500-an hingga 1800-an. Laki-laki dan perempuan dari berbagai suku Afrika Barat dibawa ke wilayah baru untuk diperbudak. Namun, mereka bersatu dalam ritual Vodou atau Voodoo hingga mencetuskan Revolusi Haiti pada 1791.

Bagaimana sejarahnya? Untuk menjawab rasa penasaranmu, simak penjelasannya berikut. Simak sampai akhir agar kamu tidak melewatkan informasinya sedikit pun, ya.

1. Revolusi Haiti dimulai karena adanya penjajahan dan perbudakan

ilustrasi pelabuhan di Pulau Saint-Domingue (commons.wikimedia.org/Jeanne Françoise)
ilustrasi pelabuhan di Pulau Saint-Domingue (commons.wikimedia.org/Jeanne Françoise)

Nah, untuk memahami apa itu Revolusi Haiti, kita harus ulik lagi sejarah dan campur tangan kolonial atau penjajah di Karibia yang secara praktis menguasai seluruh Benua Amerika pada akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Pasalnya, setelah Christopher Columbus mendarat di Bahama pada 1492, Spanyol hanya butuh waktu 6 tahun untuk mendirikan koloni di Republik Dominika modern pada 1498. Ibu kotanya dijuluki Santo Domingo, yang saat ini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO berkat sejarah dan arsitekturnya. 

Republik Dominika dan Haiti, yang saat ini berdiri, menempati pulau yang sama. Pulau tersebut bernama Hispaniola pada abad ke-15. Haiti sendiri menempati sepertiga bagian barat pulau tersebut. Sementara, Republik Dominika terletak di dua pertiga bagian di sebelah timur pulau. Namun, hingga 1697, semua wilayah di pulau tersebut menjadi milik Spanyol.

Perjanjian Ryswick atau Rijswijk, yang dirancang oleh Inggris dan Prancis, dimaksudkan untuk membagi Hispaniola menjadi negara-negaranya saat ini pada akhir Perang Raja William, yang terjadi pada 1689 hingga 1697. Untuk sementara waktu, perjanjian ini memang meredakan serangkaian konflik yang terjadi dan perampasan tanah yang tak ada hentinya di wilayah tersebut, seperti yang diuraikan Britannica.

Prancis, yang sekarang memiliki sepertiga wilayah Hispaniola, mengganti nama Santo Domingo menjadi Saint-Domingue. Selama sekitar 100 tahun berikutnya, Saint-Domingue berkembang menjadi pemukiman terkaya di Amerika karena menjadi penghasil gula, kopi, dan tanaman nila serta kapas. Nah, seperti koloni-koloni pada umumnya, barang-barang tersebut diproduksi dan dikerjakan oleh tenaga kerja budak.

2. Strata ekonomi yang berbasis perbudakan

lukisan pasar di Saint-Domingue (commons.wikimedia.org/Agostino Brunias)
lukisan pasar di Saint-Domingue (commons.wikimedia.org/Agostino Brunias)

Pada 1780-an, daratan kecil Saint-Domingue mempertahankan dua pertiga penuh dari investasi asing Prancis. Setiap tahunnya, lebih dari 700 kapal singgah di sepanjang rute perdagangan di pulau tersebut. Bisnis besar ini tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja.

Akhirnya, para penjajah ini mendatangkan berbagai suku Afrika Barat untuk diperbudak. Budak laki-laki maupun perempuan ini dipekerjakan untuk menjadi petani. Oleh sebab itu, banyak hutan di pulau tersebut yang ditebang untuk dijadikan lahan pertanian. Di sisi lain, para investor dan pemilik lahan pertanian terus menuntut agar para budak diperbanyak. Yap, apalagi tujuannya kalau bukan untuk mencari keuntungan yang lebih besar. 

Populasi koloni sendiri dibedakan menurut ras dan strata ekonominya. Selama abad ke-18, status seperti ini justru terstruktur. Strata tertinggi ada grands blancs, yang berarti orang kulit putih yang sejahtera secara ekonomi. Mereka biasanya seorang saudagar dan pemilik tanah berpangkat tinggi, bahkan seorang anggota keluarga bangsawan dari Prancis.

Di bawah grands blancs, ada petits blancs. Mereka adalah orang kulit putih dengan ekonomi menengah. Strata sosial ini biasanya ditempati seorang pengawas perkebunan dan pengrajin. Lalu, ada blancs menants yang meliputi buruh dan petani. Di bawahnya lagi, ada affranchis yang merupakan orang yang bebas, yakni ras campuran antara Eropa dan Afrika.

Pada 1789, koloni Saint-Domingue berkembang pesat. Populasi affranchis bahkan menyentuh angka 556 ribu orang. Sayangnya, 500 ribu dari mereka diperbudak. Mayoritas perbudakan sebesar itu tentunya menciptakan tradisi yang akan membentuk fondasi Vodou atau Voodoo.

3. Revolusi Haiti dimulai dari ritual Vodou

ilustrasi pembakaran Cape French saat kaum kulit hitam membantai orang kulit putih pada Revolusi Haiti (commons.wikimedia.org/Unknown author)
ilustrasi pembakaran Cape French saat kaum kulit hitam membantai orang kulit putih pada Revolusi Haiti (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Vodou atau Voodoo sangat penting bagi orang-orang yang diperbudak di wilayah yang nantinya menjadi negara bernama Haiti. Mereka bersatu dalam kesatuan, menjaga hubungan mereka dengan rumah asli mereka yang hilang, dan semangat untuk menggerakkan pemberontakan terhadap otoritas yang tidak adil. Bahkan, saat ini, seperti yang dikutip The Guardian, 70 persen warga Haiti adalah Katolik, 30 persennya Protestan, dan 100 persennya menganut kepercayaan Vodou. 

Mayoritas warga Haiti melakukan ritual Vodou sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, khususnya tarian khas dan keadaan transnya. Perlu dicatat, nih, Vodou bukanlah agama bawaan dari suku-suku Afrika Barat yang dibawa ke Karibia. Adapun, anggota suku yang dibawa ke Saint-Domingue tidak memiliki garis keturunan yang sama, bahkan bahasa yang sama, selain dari bahasa mereka yang umum saat itu, Kreol Haiti (berasal dari bahasa Prancis). Vodou adalah serangkaian praktik atau ritual yang berasal dari perbudakan kolonial dan diaspora Afrika multietnis.

Pada akhir 1700-an, warga Saint-Domingue yang diperbudak sangat muak dengan sistem penjajahan di wilayah tersebut. Bahkan, pemilik tanah dan elite masyarakatnya pun ingin merdeka dari Prancis. Namun, mereka punya alasan yang berbeda, yaitu ingin mengendalikan ekonomi Saint-Domingue dengan jangkauan yang lebih besar dan luas lagi, seperti yang dijelaskan English Heritage. Ironisnya, pemberontakan ini justru diilhami oleh Revolusi Prancis yang berakhir pada 1790.

Pada Agustus 1791, rencana pemberontakan mulai dijalankan. Namun, ritual Vodou yang memicu revolusi dan mengilhami semua yang terlibat. Ritual ini dipimpin oleh pendeta perempuan (mambo) Cécile Fatiman dan pendeta laki-laki (oungan) Dutty Boukman.

4. Dua pendeta Vodou memanggil roh Erzulie Dantor

ilustrasi tarian ritual Voodoo Haiti (commons.wikimedia.org/Fritz Rudolf Loewa)
ilustrasi tarian ritual Voodoo Haiti (commons.wikimedia.org/Fritz Rudolf Loewa)

Ritual Vodou atau Voodoo yang dimaksud berlangsung di sebuah pertemuan rahasia para budak yang disebut Bois Caïman. Pertemuan ini diadakan di Hougan Sydney pada malam 14 Agustus di hutan dekat rumah Dutty Boukman. Boukman, yang merupakan oungan, memulai ritual tersebut dengan pidato yang membangkitkan semangat para budak.

Cécile Fatiman, yang merupakan mambo, berusaha agar tubuhnya dirasuki oleh roh Dewa Vodou atau Lwa yang menjadi perantara antara manusia dan dewa pencipta tertinggi. Fatiman berusaha agar tubuhnya dirasuki oleh Erzulie Dantor, roh berbahaya yang suka minum darah. Seekor babi kemungkinan juga dikorbankan dalam ritual tersebut.

Vodou sendiri sangat menekankan musik dan tarian. Selain itu, Lwa juga memiliki kepribadian yang unik dan menyangkut berbagai aspek, seperti musik, tarian, dan benda-benda yang menarik mereka. Praktisi Vodou juga menggunakan gambar atau simbol vèvè yang digunakan untuk memanggil Lwa.

Sementara itu, mambo yang merupakan kontak antara duniawi dan yang ilahi menggunakan kerincingan yang disebut ason. Ritual semacam ini yang membuat para budak di Saint-Domingue berani untuk melakukan revolusi. Dalam beberapa minggu, lebih dari 100 ribu orang turun ke jalan. Mereka memulai revolusi ini dengan menghancurkan ratusan perkebunan, seperti yang dinyatakan Colonial Williamsburg Foundation.

5. Berdirinya negara kulit hitam pertama di luar Afrika

ilustrasi Toussaint Louverture bertemu Thomas Maitland pada 30 Maret 1798 (commons.wikimedia.org/François Grenier de Saint-MartinJean-François Villain
ilustrasi Toussaint Louverture bertemu Thomas Maitland pada 30 Maret 1798 (commons.wikimedia.org/François Grenier de Saint-MartinJean-François Villain

Ketika banyak perkebunan dan pemukim kulit putih yang dibakar, pemerintah Prancis di seberang lautan mulai mencari tahu apa yang sedang terjadi. Nah, pertemuan di Bois Caïman sekitar 6 bulan yang lalu ternyata yang membantu memicu revolusi Haiti. Akibatnya, Prancis menghapuskan diskriminasi rasial di antara warga negara bebas pada 4 April 1792. Namun, ini tidak cukup. Warga Haiti masih terus memperjuangkan kemerdekaan mereka hingga 1804.

Tokoh paling terkenal selama revolusi ini adalah François-Dominique Toussaint L'Ouverture atau yang disebut sebagai Bapak Haiti. Toussaint lahir dalam perbudakan di Saint-Domingue, tetapi latar belakangnya tidak diketahui secara pasti. Namun, Toussaint dididik oleh ayah baptisnya, Pierre Baptiste, yang mengajarinya bahasa Prancis dan filsafat Pencerahan yang membuatnya terpacu untuk melakukan Revolusi Prancis. Toussaint menggunakan nama belakang L'Ouverture, yang berarti pembukaan. Nama ini disandangnya pada 1793.

Ketika revolusi meletus, Toussaint tidak menonjolkan dirinya di lapangan. Toussaint adalah seorang pemikir taktis. Ia mengadu kekuatan kolonial dengan strategi militernya. Sayangnya, Toussaint ditangkap oleh Napoleon Bonaparte pada 1802. Toussaint meninggal di penjara pada 1803, setahun sebelum Haiti secara resmi memperoleh kemerdekaannya pada 1804.

Keberhasilan Revolusi Haiti menjadikan Haiti sebagai negara kulit hitam pertama di luar Afrika. Selain itu, Haiti juga menjadi negara kolonial kedua di Amerika yang memperoleh kemerdekaannya. Hingga hari ini, pertemuan di Bois Caïman dengan ritual Vodou masih menjadi lambang identitas dan kebebasan di Haiti.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us